Bab 1 - Apa-Apaan Ini?

561 34 31
                                    

Masha

Sudah lima menit aku berdiri di hadapan pintu kayu bercat putih tulang ini. Sebagian dari diriku ingin masuk, mandi, dan mengganti kaus serta jeans-ku dengan piama, sebagian lainnya menahan tanganku membuka pintu. Di satu sisi aku merasa bodoh karena hanya bisa bergerak gelisah di depan pintu tempat tinggal sendiri, di sisi lain aku tidak ingin lagi merasakan kehampaan yang mencekikku seperti tadi siang.

Jam pintarku menunjukkan pukul 23.15. Tersadar bahwa salah satu dari Rale atau Asga seharusnya sebentar lagi sudah pulang—sehingga aku tidak akan sendirian lagi—aku akhirnya melangkah masuk.

Aku berjalan cepat melintasi ruang tamu yang sofa-sofa empuknya hampir tidak pernah diduduki. Nuansa putih tulang di setiap sudut rumah yang biasanya memberiku kehangatan, kini terasa dingin. Untuk sampai pada tangga yang akan membawaku ke kamar, aku harus melewati ruang tengah yang tampak sedikit lebih hidup karena barang-barang vlogging kami berserakan, tapi tetap saja aku bergidik karena mulai terimpit oleh kesenyapan yang terhampar di sekelilingku—lagi.

Siapa bilang kesunyian itu menenangkan? Kesunyian bisa sangat memekakkan telinga, mengembuskan ketakutan, hingga perlahan mengikis kewarasan seseorang. Aku harus cepat-cepat mandi lalu istirahat. Sayangnya rumah ini terlalu luas, perjalanan masuk ke kamar terasa seperti menyeberang dari ujung lapangan bola ke ujung satunya.

Tunggu. Langkahku sudah sampai anak tangga terakhir saat aku menyadari sesuatu. Perasaan sebelum pergi aku mematikan lampu-lampu ruangan. Kenapa sekarang menyala semua?

Detik berikutnya aku geleng-geleng kepala. Aku adalah pelupa kronis, bayanganku mematikan lampu tadi siang hanya ada di kepalaku saja.

Saat sedang membuka kunci kamar, aku tidak sadar tasku menyenggol vas-vas daun monstera yang kususun tinggi di sisi pintu kamar hingga jatuh. Bunyinya membelah keheningan dengan mengerikan. Aku memperbaiki posisinya—untung tidak pecah—sambil mengembuskan napas kesal. Kenapa sih untuk sampai di kamar saja susah sekali?

Begitu akhirnya sukses berada di dalam kamar, aku melempar tas ke kasur, mencolokkan ponselku yang mati total pada pengisi dayanya yang masih tertancap di stop kontak, lalu segera masuk ke kamar mandi. Aku sudah melepas semua pakaian dan sedang berkutat mencopot kait bra saat mendengar pintu kamarku dibuka dengan kasar, disusul dengan pintu kamar mandiku digedor-gedor.

"Dek! Lo di dalam?" Suara Rale. Dia terdengar gusar.

Lho, ada apa ini? "Iya, mau mandi nih gue," seruku."

BRAK! Tahu-tahu saja Rale meninju pintu kamar mandi, membuatku terlonjak. Apa-apaan dia?" HP lo mana?!" raungnya. Emosiku mulai tersulut. Maunya apa sih, baru datang sudah marah-marah begitu? "Masha!"

Aku sudah meraih jubah mandiku, ingin keluar dan mengonfrontasinya langsung. Tapi aku mendengar suara Asga. "Udah, Le. Biarin dia mandi dulu. Yang penting dia baik-baik aja kan."

Apa sih maksud mereka? "Kalau udah beres ke ruang tengah ya, Sha. Kami tunggu," lanjut Asga.

Setelah itu aku mendengar kedua cowok itu berangsur keluar lalu pintu kamarku ditutup. Hebat sekali. Aku baru pulang, supercapek, tidak tahu apa-apa, tiba-tiba saja dimarahi. Untuk balas dendam, aku yang tadinya hanya berniat mandi di bawah pancuran shower jadi ingin berlama-lama berendam di bathtub, biar mereka dongkol kelamaan menunggu.

Dan aku memang melakukannya. Begitu aku turun satu jam kemudian, Rale dan Asga sama-sama duduk bersandar di sofa ruang tengah, sibuk dengan ponsel masing-masing. Ekspresi Rale yang sudah masam, bertambah kecut begitu dia melihat kehadiranku.

"HP lo mana?" Dia mengulang pertanyaannya di atas tadi.

Aku mengacungkan ponsel yang kugenggam. "Kenapa nggak lo aktifin dari siang?"

Gashale: Welcome Back To Our Channel! [Akan Terbit Cetak di Elex Media]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang