e p i l o g & a letter from Eron

913 139 99
                                    

This epilog holds 3800+ words

Pengen ngucapn terimakasih banyak-banyak

Aku sayang kalian banget💗💗



💐💫💌








Aku memandang lurus pada telaga hijau yang membentang asri di depanku. Begitu sejuk dan sunyi yang menenangkan. Hanya ada kicauan burung serta suara dengkuran kodok tengah bercengkrama menikmati keindahan dari uluran tangan Tuhan di atas hiruk pikuknya dunia ini. Suasana di sini cukup membantuku menenangkan pikiran, sampai-sampai aku merasa ada kekuatan spiritual yang merasuki tubuhku. Aku nggak pernah merasa setenang dan sedamai ini.

Suara percikan air kadangkala terdengar ketika ikan-ikan berusaha menggapai daratan untuk menyapaku dari singgasana mereka, seakan berkata 'hai! Aku bisa melihat senyuman manismu dari sini.' Tapi kurasa bukanlah aku insan yang mereka sapa, melainkan peri kecil berupa gumpalan sebesar labu kuning yang meringkuk memeluk lututnya di dalam perutku. Senyumku mengembang semakin lebar, detik kemudian aku merasakan sebuah tendangan kuat dari dalam. Membuatku cepat-cepat membawa tanganku untuk mengelusnya, memberikan kasih sayang seperti yang biasa kulakukan ketika jantungku berdebar kuat merasakan cintanya. Sepertinya dia juga ingin menyapa dan berkenalan dengan ikan koi yang indah itu.

"Hai, koyi! Malaikatku notis kamu!"

Iya, koyi.. Begitulah julukan untuk mereka yang sempat kudiskusikan bersama peri kecilku di bangku kayu ini. Lucu, kan?

Sudah duapuluh satu minggu berlalu sejak hari itu, hari di mana seluruh kekecewaan mengudara mengiringi setiap langkahku. Ya, kehadiran peri kecilku memang berkekuatan tinggi. Dia memukul hampir seluruh orang disekitarku menjadi tidak berdaya dan menyerah pada kenyataan.

Tapi itu bukan salahnya, itu salahku, salah kami. Dan aku sama sekali nggak pernah menganggapnya sebagai sebuah kecelakaan.

Memangnya ada kecelakaan yang membuatku menjadi berbeda dan merasa menjadi seorang wanita seutuhnya?

Seiring usapan lembut di atas lapisan perutku dan belaian angin yang menerpa wajah juga gaun katun hijau sage bermotif bunga bakung gunung yang kukenakan. Aku kembali mengingat apa-apa saja yang telah tertulis di lembaran-lembaran cerita hidupku.

Hari terakhirku di sekolah... Saat itu Phoebe menangis kecewa setelah menarik hasil testpack yang menunjukkan dua garis pink dari tanganku. Aku juga menangisㅡkecewa, namun rasa sesal lebih mendominasiku. Aku menyesal baru mengetahui keberadaannya detik itu yang ternyata sudah menemaniku selama dua bulan lamanya. Kukira aku hanya merasa imunku semakin merendah karena jadwal belajar yang papah berikan terlalu mencekikku. Ternyata, ada kehidupan baru yang diam-diam meminjam perutku untuk menjadi tempatnya bermetamorfosis.

Di hari itu juga, selepas kepulanganku dari rumah Phoebe, Papah pulang ke rumah hanya untuk menyeretku ke rumah sakit. Aku ketakutan setengah mati, karena kupikir papah sudah tau apa yang terjadi. Namun yang membuatku bingung sekaligus sedih adalah papah hanya menyinggungku tentang pertemuannya dengan Eron saat kami berada di mobil. Dan apa yang kudengar waktu itu benar-benar membuat seluruh organ tubuhku tak berfungsi, tak terkecuali otakku yang nggak bisa mencerna semua itu dalam satu waktu.

Papah bilang Eron terjangkit gonore atau kencing nanah dan positif menggunakan sabu.

Tapi papah nggak mau bilang kemana dia bawa Eron. Airmataku nggak bisa berhenti mengalir sampai kita tiba di rumah sakit. Lalu Papah segera menyuruhku untuk memeriksa alat vital bersama salah satu dokter wanita, teman dekatnya. Papah merasa lega karena nggak terdapat penyakit apapun di daerah kewanitaanku karena untungnya dia dan mamah selalu memberiku nutrisi yang tepat termasuk seperti tahu, tempe, edamame, yogurt, dan alpukat untuk mencegah terserang vaginitis dari berhubungan intim, namun aku tau hidupnya hancur seketika saat Dokter Maria mengatakan bahwa aku positif hamil. Papah terguncang hebat, bahkan dia harus mendudukkan dirinya yang melemah dan menangis sejadi-jadinya di lantai. Saat itu aku nggak tau harus apa karena aku sama hancurnya. Melihat papah seperti itu membuatku ingin hilang secara menguap dari muka bumi detik itu juga. Tapi aku cuma bisa nangis sementara Dokter Maria berusaha untuk menenangkan kami berdua.

YOU BROKE ME FIRST {♡}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang