1. Cuz, ILY

1.8K 178 205
                                    

"Aran, fokus!"

Lamunan Aran buyar ketika sang Pelatih menegurnya. Teman satu tim Aran ikut memandanginya penuh intimidasi layaknya seorang pelaku kejahatan yang tengah diinterogasi. Dari tadi, Aran tidak fokus dengan pertandingan. Fokusnya seolah terpecah antara tribun dan lapangan. Bola yang dioper ke arahnya, selalu saja tidak bisa tak bisa Aran kuasai dan berakhir di kaki pemain lain atau bahkan tak jarang berhasil direbut lawan. Tak habis pikir, padahal cowok itu salah satu pemain yang selalu memiliki potensi untuk mencetak gol. Apa yang baru saja Aran lakukan mengecewakan pelatih.

Menit demi menit, emosi Aran hampir memuncak. Perempuan yang sudah berjanji akan datang untuk menyemangatinya, malah tidak ada di tribun. Itulah yang menyebabkan fokus Aran pecah. Reta, pertandingan sudah hampir setengah main, tetapi dia belum datang juga.

"Enggak guna banget jadi pacar!" umpat Aran di dalam hati.

"Aran, fokus!" Lagi, peringatan itu datang kepadanya, namun, bukan berasal dari sang pelatih melainkan dari teman satu timnya.

Aran mengumpat, ia bersumpah akan membuat Reta menyesal jika cewek itu benar-benar tidak datang menonton dan pertandingan ini berakhir kekalahan.

🌻🌻🌻

Reta berjalan tergesa-gesa menuju tempat di mana Aran dan kawan-kawannya bertanding. Karena menolong ibu-ibu yang keberatan membawa barang tadi, dirinya jadi terlambat untuk menonton pertandingan futsal yang berarti bagi Ara.

"Aduh," ringisnya ketika tak sengaja menendang batu, kemudian terjatuh. Lututnya berdarah, tetapi Reta menahan perihnya dan kembali melanjutkan langkahnya. Dia takut kalau Aran kecewa dengannya.

Sedikit lagi. Sedikit lagi Reta sampai di tempat itu. Namun, suara klakson dari belakang membuatnya urung untuk kembali melangkah.

"Reta, kakimu kenapa?" tanya Gaby-sahabat Reta satu-satunya.

Lantas Reta menceritakan semuanya kepada Gaby, sedang sahabatnya itu prihatin kepadanya. Sebab tak mau sahabatnya terluka lebih, Gaby menyuruh Reta naik ke atas motornya. Meski jaraknya sudah dekat, tetapi Gaby tetap mengantarkan Reta.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada Gaby, dengan sebotol air mineral di tangannya, Reta berjalan cepat ke dalam. Tak peduli lututnya masih perih, yang dia pikirkan ialah tentang Aran yang nantinya kecewa dengan dirinya.

Reta tersenyum, ketika melihat Aran berkumpul dengan teman-temannya. Syukurlah, pertandingan belum usai. Mungkin mereka masih beristirahat. Pikir Reta

Dia melambai ke arah Aran ketika kekasihnya itu melihat ke arahnya. Namun, Aran tak peduli. Aran malah memberi Reta tatapan tajam.

Khawatir dengan raut wajah Aran yang terkesan dingin, Reta berjalan ke arahnya. Belum jadi sampai di tempat Aran duduk, cowok itu sudah bangkit dan menegaskan, "Berhenti di situ!" Hal itu membuat teman-teman satu timnya menoleh ke arah Aran.

"A-aran, aku bawain kamu minum. Diminum, ya?" Dari jarak empat langkah dari Aran, Reta menyodorkan air mineral.

Aran berdiri, mendekati Reta yang tertunduk. "Ck, jadi pacar enggak guna banget, sih?" Aran berdecak menahan kesal.
"Ikut gue!" bisik Aran lirih namun penuh penekanan, ia menarik paksa tangan Reta.

"Aran, pelan-pelan. Lututku sakit," keluh Reta. Aran berhenti sejenak, ia turut membalikkan badan menghadap kekasihnya. "Urusan gue? Bukan," tandasnya begitu tak berperasaan. Kenapa rasanya sakit sekali, batin Reta.

Aran menyeretnya ke tempat sepi. Reta menatap Aran takut-takut, sedangkan Aran menatap Reta dengan tatapan mematikan.

"Lo punya otak buat memahami semua omongan gue kemarin kan, Ta? Gue minta lo buat dateng nontonin gue tanding futsal, duduk di tribun penonton, kasih gue semangat dan senyuman hangat lo ke gue. Tapi apa?!"

"Semudah itu kenapa lo persulit?!"

Kedua mata Reta mengerjap kala kalimat itu menyembur tepat di depan mukanya. Antara kaget dan takut, Reta semakin tertunduk.

"Aran, a-a-ku ...." Berulang kali gadis itu meremas jari jemarinya.

"Lo jadi pacar enggak ada manfaatnya banget, ya! Gue cuma nyuruh lo ke sini buat nyemangatin gue, buat nonton gue. Tapi cuma hal kaya gitu lo enggak bisa? Lo tuh bisanya apa, sih?!" ujar Aran dengan emosinya. Bukannya berhenti ketika Reta mengobarkan rasa takutnya, Aran justru semakin beringas.

Reta yg tertunduk dalam, tak habis pikir dengan sikap Aran yang malah menyalahkannya. "Jadi, pertandingan udah selesai, ya?" tanyanya dalam hati. Dia juga berpikir, kalau dia sudah mengecewakan Aran.

"Lo-" Baru saja dia akan mengatakan kalau tanpa Reta, dia tidak akan bisa fokus. Namun, gengsinya semakin di depan. Aran membuang muka ke arah lain, sebisa mungkin ia menahan emosi yang begitu membuncah di hatinya.

"Aran, aku nggak bermaksud. Tadi di jalan ada ibu-ibu kesulitan, jadi aku bantu sebentar."

"Dan lo lebih milih orang lain daripada pacar lo sendiri!"

Tidak begitu konsepnya. Aran memang penting, tapi melihat seorang ibu kesusahan, Reta tidak bisa menutup mata untuk pura-pura buta berujung tidak membantu.

"Oke, aku minta maaf. Tapi kamu nggak boleh ngelarang aku untuk bantu orang lain!"

Plak!

Satu tamparan keras untuk Reta. Selamat, Aran sudah membuat tanda di pipi kekasihnya sendiri. Lihatlah, dadanya tampak naik turun. Tangan melayang, terbukti bahwa sosok Aran sudah mencapai ambang batas sabarnya.

Usai melampiaskan amarahnya, ia membuang muka ke arah lain, komat-kamit, mengumpat dan mengabsen seluruh kalimat dan kata-kata kotor sedangkan Areta, tubuhnya meluruh di atas beton. Sambil memegangi pipinya yang terasa perih, diam-diam ia terisak.

"Ma-ma sa-kit ...." Sejurus kemudian rintihan itu berganti dengan suara isak pilu. Katakanlah Reta cengeng, namun, ia juga tidak bisa menampik kenyataan itu.

Dada Aran terasa sesak mendengar isakan tangis Reta. Oh astaga, apa yang baru saja Aran lakukan kepada Reta? Bisa-bisanya ia selalu menunjukkan kebiasaan buruknya ketika bersama Reta. Tapi, ia juga tidak bisa jika tidak kelepasan. Reta itu selalu saja membuat emosi Aran memuncak.

Cowok itu langsung meraih kedua bahu Areta, menuntun gadis itu agar masuk ke dalam dekapannya. Aran benar-benar tidak akan pernah bisa melihat Reta menangis. Tiap kali gadis itu menangis, Aran semakin merasa bersalah. Terlebih tangis gadis itu disebabkan oleh kelakuannya yang tak pernah bisa ia kendalikan.

"Reta, maaf," ujarnya lirih. Didekaplah Reta erat-erat dalam rengkuhannya. Aran selalu menyesal ketika berhasil membentak dan melukai gadis itu.

Di dalam dekapan Aran, Reta masih terisak. Selalu saja begini. Aran berhasil membuatnya kembali luluh, padahal dia hampir dibuat runtuh. Dia kembali mendekap Aran, erat. Bagaimana juga, dia tidak mau kehilangan, bahkan melepas Aran.

Aran melepas pelukannya. Dia memandangi mata Reta selama beberapa detik, kemudian dikecupnya kening Reta singkat. Aran juga berpikir, kenapa dia jadi seegois ini? Padahal, niat Reta tadi baik. Bukankah dia beruntung memiliki kekasih dengan hati yang baik?

"Reta, I'm sorry. I love you, only you, and forever you."

🌻🌻🌻

AN:

Yang nunggu, mana nih? Sini ngumpul, kita ngopi-ngopi.

Gimana part satu? Apa kalian emosi? Kalau kita sih gemes, ya Miq, soalnya nganu^^

Yang pengen hujat Aran, ada?

Satu kata buat part ini: ....?

Tertanda,

maeskapisme x imdenna_

Luka untuk Luka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang