6. Calon Mantu

632 74 12
                                    

"Eh, ada Aran. Reta, kenapa Aran nggak diajak masuk?"

Reta menyembunyikan wajahnya, berpaling ke arah lain. Jangan ditanya kenapa, Reta hanya sedikit, ah, entahlah. Rasanya kesal, marah juga sedih.

Aran melirik sebentar ke arah Reta sebelum akhirnya menjawab pertanyaan mama Reta. "Lagi ngobrol sebentar, Tan," balas Aran seraya memaksakan senyum. Memangnya Aran bisa tersenyum dengan tulus usai pertengkaran tadi.

Anina balas tersenyum hangat, lalu merangkul bahu putri satu-satunya. Sangat kontras ketika hanya berhadapan berdua. Reta tahu, mamanya hanya pencitraan saja.

"Ngobrolnya di dalam aja, ayo Aran!" ujarnya seraya berjalan sambil memeluk kedua bahu Areta. Terlihat seperti ibu yang begitu menyayangi anaknya. Tapi sayang, itu hanya kelihatannya. Hal yang selalu ingin menjadi suatu yang nyata bukan sekedar pencitraan belaka. Tak apa, sekali pun ada rasa sesak yang menjalar. Walau Reta harus mengorbankan sedikit perasaannya. Mungkin mama hanya bisa bersikap manis ketika ada Aran di dekat Reta.

Aran berjalan di belakang. Menatap punggung Reta dengan tatapan sayup-sayup. Reta pun terlihat melirik ke belakang sebentar, memastikan jika Aran benar-benar akan ikut masuk.

Sejuta kali Aran menyesal maka sakit hati yang dirasakan Reta akan terasa berjuta kali lipat lebih menyakitkan. Tapi inilah Aran. Ia tidak akan pernah bisa berbagi pasal Areta. Sedikit pun. Egois? Iya!

Reta, gadis itu berusaha menetralisir perasaannya. Ia sedang mencoba bersikap tenang menghadapi Aran.

"Cuci muka dulu, terus turun temenin Aran, ya?" bisiknya pelan. Reta jelas hanya mengangguk, menuruti perintah mama.

"Oh ya ampun, Reta! Kamu habis ngapain sih, kusem banget gini!" Anina yang tersadar akan sesuatu langsung mengomel, wanita itu menemukan warna kusam pada wajah Areta. Sukses, Aran yang terduduk di sofa mengalihkan pandang.

Cowok itu tersenyum dalam hati, pikirnya, interaksi ibu dan anak itu nampak lucu.

Sejujurnya itu hanya kepanasan, mungkin. Areta meraih ponselnya, berkaca lewat layar benda pipih itu. Kusam? Bagian mana? Kenapa mama heboh, padahal sang Empu nampak santai.

Anina buru-buru mengecek wajah Areta dengan teliti. Ingin memastikan bahwa tak ada cacat lagi selain warna kusam itu.

"Ck, udah buruan cuci muka dan pakai krim kamu! Bekas tamparan papa kamu harus segera samar. Gimana Aran mau bangga pacaran sama kamu kalau wajah kamu kusam begini." Anina membisikkan kalimatnya, kemudian agak meninggikannya di bagian satu kalimat terakhir.

Di tempatnya Aran hanya tersenyum kikuk. Jujur, kecantikan Reta bisa menjadi petaka besar yang kapan saja siap menjerat. Kulit mulus yang seolah tak memiliki celah cacat. Juga sikap Areta yang begitu lugu serta senyum manis yang begitu candu. Lelaki manapun pasti banyak yang menyukai gadis itu. Termasuk di SMA Andala. Jelas banyak yang menyukai Reta, baik yang bisa terlihat langsung maupun yang hanya bisa menjadi pengagum rahasia. Bersyukurnya, Aran lebih dulu memiliki Reta bahkan sebelum mereka masuk ke Andala.

Bahkan untuk sekedar menyapa saja mungkin mereka (para lelaki yang menyukai Reta) segan, sebab ada Aran di samping gadis itu. Sosok yang siap menghajar siapapun yang berani mendekati Reta barang sejengkal pun. Sudah menjadi rahasia umum. Kabar baik yang menjadi satu poin penting. Aran suka saat Areta tak bisa berbuat apa-apa di bawah kuasanya, selalu bisa Aran kendalikan.

Aran tampan sangat cocok memang jika disandingkan dengan Reta. Sayangnya, sikap mereka begitu kontras. Itu yang selalu Reta sebut sebagai definisi pasangan yang sesungguhnya. Beda untuk saling melengkapi.

"Ran, aku ke atas dulu," pamitnya pada Aran. Cowok itu mengangguk. Kepergian Areta disusul dengan hempasan tubuh Anina pada sofa single di sebelah calon menantunya duduk. Ya, Aran adalah calon mantu idaman dan satu-satunya laki-laki yang dirasa pantas untuk bersanding dengan putri cantiknya.

Luka untuk Luka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang