22. Menaruh Hati

369 40 16
                                    

••••••••••🌻 Happy Reading 🌻••••••••••

Dua pelajar SMA itu sejak tadi berjalan keluar mencari jalan raya, tetapi gang-gang sempit ini terasa seperti labirin tak berujung, sebab sejak tadi mereka tak kunjung menemukan jalan keluar setelah beberapa kali melangkahkan kaki.

"Perasaan, kita dari tadi cuma muter-muter," seloroh Reta. Gadis itu berhenti, memandang sekitarnya yang nampak sama.

"Ta, kayanya kita nyasar deh." Reta melotot sementara Ben masih menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari jalan di mana tadi ia datang.

Senja telah tampak, langit jingga perlahan berubah gelap. Kelam, seperti nasib Reta. Gadis itu mendesah pelan dengan harap-harap cemas.

"Eh, itu jalan raya, Ta!" seru Ben begitu heboh. Reta ikut menoleh ke mana arah telunjuk Ben terarah. Tepat di sebelah kiri, padahal keduanya sudah memutar hingga telapak kaki terasa kebas, dan ajaibnya pintu keluar gang baru nampak ketika mereka telah berputar sebanyak lima kali.  

"Ben, ngatain kamu bego boleh enggak, sih?" selorohnya, membuat Ben yang tengah jingkrak-jingkrak heboh menghentikan aktivitasnya, lalu menoleh ke arah Reta dengan wajah polosnya.

"Hah, tadi bilang apa, Ta?" tanya Ben. Antara budek dan kurang dengar, rasa-rasanya itu sama saja.

Dasar Bendul!

"Enggak, tadi aku cuma bilang mau pulang, karena pasti dicariin mama." Ben baru sadar akan satu hal. "Eh, Ta, gue tadi bilang ke Tante Anina, kalau lo diculik!"

"Aduh, Ben!" Reta langsung menggebuk punggung Ben dengan tas sekolahnya. Kesal, jelas. Mamanya pasti akan heboh, dan jika sampai terdengar Fernan, habislah riwayat Reta. Mereka pasti bertengkar untuk saling menyalahkan. Ya, Reta paham betul akan hal itu.

Reta meringis pelan usai puas menggebuk Ben, pergelangan tangannya tiba-tiba terasa perih. Dirasa Reta tidak lagi ngamuk, Ben langsung beringsut, menoleh ke arah Reta. Melihat gadis itu kesakitan Ben langsung panik.

"Ta, kenapa?"

"Tanganku perih, juga sakit."

Ben meraih tangan Reta, melihat jika kedua pergelangan tangan itu tampak lecet juga memar kebiruan. Rupanya ikatan yang diberikan penculik itu sangat kencang hingga pergelangan tangan Areta sedikit berdarah. Secara inisiatif, ia langsung memetik daun yodium yang kebetulan tumbuh tak jauh dari tempat mereka, lalu ia melepas dasinya dan memotongnya menjadi dua untuk dijadikan perban alternatif.

"Ta, maaf, ya." Reta yang semula khuysuk memperhatikan Ben yang tengah melingkarkan dasi di pergelangan tangannya lantas mengangkat kepala, demi bisa melihat wajah Ben.

"Maaf, gue enggak bisa ambil Gaby dari Aran supaya buat dia bisa balik lagi sama elo. Setelah kejadian tadi, gue nyerah buat perjuangin Gaby."

Jika sejauh ini Ben sudah memilih mundur, lalu apakah Reta juga akan mundur?

Sakit hati Ben mungkin memang tak sebanding dengan sakit hatinya Reta, tetapi hari ini Ben sudah bertekad. Sungguh, baru sampai sini saja Ben sudah menyerah, lalu terbuat dari apa sebenarnya hati Reta hingga bisa bertahan dengan berkali-kali lipat rasa sakit yang ia terima?

"Kita pulang!" ujar Reta final. Ia tak mau ikut terlarut dengan topik sensitif yang dibawakan Ben.

Keduanya tiba di pintu gang, dengan kepala Ben yang celingak-celinguk.

"Motor gue!" ujarnya begitu frustasi.

"Sipit, lo ngumpet di mana?" Ben tengah mencari motor tapi, seperti seorang yang mencari kucingnya yang hilang.

"Ya Allah, si sipit nyicil sekali lagi habis itu lunas, jangan kasih Ben sama cobaan berat ini!" Tangannya menengadah, memohon ampun.

Ben yang malang. Reta melakukan hal sama, ikut bantu mencari motor matic milik Ben. Ia ikut cemas, sebab itu artinya, mereka akan pulang lebih lambat dari yang dibayangkan.

"Kamu, taruh motor di mana?"

"Di sini, Ta, persis di sini!" ujar Ben, sambil menunjuk tempat motornya terparkir.

"Ben, setelah aku pikir, tempat ini kayanya gudang kriminal. Pertama, markas penculikan, lalu maling, jangan-jangan setelah ini para penjual organ manusia yang menghadang kita." Ben langsung lari menyusuri jalan raya, tak lupa menggandeng tangan Reta. Bahaya, anak orang, bisa-bisa jika terjadi hal buruk ia menjadi sasaran empuk untuk disalahkan.

"Heh kalian!" Suara asing menginterupsi, dan itu membuat mereka kaget bukan kepalang. Napas masih tersengal-sengal tetapi justru dibuat terkejut. Valid, manusia lemah jantung on the way, menemui Malaikat Maut.

"Om Wisma, maafin Ben yang kadang korupsi ikan pindang goreng di meja!" pekik Ben nyaring, bahkan ia tengah bersembunyi sambil memegang bahu Reta erat. Gadis yang dijadikan tempat Ben sembunyi menutup telinga.

"Reta?" Gadis itu tersadar, saat suara tak asing itu menyapa. Bisa tebak siapa? Itu Rivan dengan mobil Panti.

"Kak Rivan?

"Kalian masih pake seragam sekolah, ngapain jam segini di tempat kaya gini?" tanya Rivan lagi.

"Kita tadi diculik dan mau dijual organ tubuhnya. Tolongin, Mas!" Rivan memandang teman Reta.

"Masuk!"

🌻🌻🌻

"Reta, kamu enggak kenapa-kenapa, 'kan?" Anina langsung menyambut heboh begitu Reta bersama Rivan tiba di depan pintu. Wanita itu mengamati tubuh serta wajah Reta. Lecet di pergelangan tangan, lalu wajahnya sangat kusam.

Anina beralih menatap pemuda yang bersama Reta. Harapannya pupus. Ketika mendapat telepon jika putrinya diculik oleh salah satu sahabat Reta, Anina jelas panik. Ia menelepon Aran berkali-kali demi mendapatkan titik cerah, sayangnya teleponnya kali ini tak mendapat jawaban. Lalu ketika pintu utama diketuk, ia pikir putrinya pulang bersama calon mantu—Aran, tetapi sayangnya malah diantar orang ketiga.

Tak hanya rasa sedikit kecewa dengan bukan Aran yang datang membawa Reta. Namun,  Anina terlanjur kecewa berat. Ia merasa dipermainkan oleh bocah ingusan bernama Aran. Rupanya hubungan putrinya dengan Aran benar-benar terlanjut buruk, sampai kejadian sebesar ini menimpa Reta, Aran sama sekali tak menampakkan diri.

"Maaf salah menilai kamu, Rivan. Tapi Tante minta tolong, jaga Reta untuk saat ini. Seseorang tempat Tante memasrahkan Reta, sudah terlanjur membuat saya kecewa dan semoga ucapan Reta tentang kamu yang lebih baik dari orang itu adalah benar. Supaya Tante juga enggak akan kecewa untuk kedua kalinya."

Kalimat itu terus terngiang di kepala Rivan. Usai Reta berpamitan membersihkan diri,  Rivan diinterogasi banyak pertanyaan oleh Anina. Otaknya mendadak gagal menangkap maksud dari Anina. "Menjaga" dalam konotasi apa yang diminta Anina?

••••••••••🌻🌻🌻•••••••••

AN:

Apa kalian mencium sesuatu, kawan-kawan?😃

Tunggu update selanjutnya, ya💙

Tertanda,

maeskapisme x imdenna_

Luka untuk Luka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang