18. Kenyataan dan Belimbing Wuluh

371 38 22
                                    

Hari berikutnya masih sama, bahkan makin mengerikan bagi Reta. Bagaimana tidak? Dua orang itu terlihat makin mesra dengan perhatian-perhatian kecil yang Aran berikan untuk Gaby.

Sikap Aran masih sama terhadap Reta, datar juga dingin. Lalu, ketika menyambut Gaby wajah itu berbinar bahagia.

Apa Reta tak berani menyapa? Reta sudah melakukannya berkali-kali dan hasilnya nihil. Sia-sia, bukan? Iya, semua terasa sia-sia. Perjuangan Reta, jerit pahit, dan segala cara yang pernah ia lakukan untuk menjaga hubungannya dengan Aran dulu. Akan tetapi, Reta juga tidak akan mundur jika dipaksa mundur. Ia tidak mau perjuangan, kenangan, juga adanya persamaan hancur dengan sekali genggam ia rasakan menahan ya mungkin hanya sedikit lagi.

Areta mengembuskan napasnya sebelum akhirnya menyuapkan sesendok bubur ayam. Yah, setidaknya ia punya sedikit ketenangan setelah di parkiran tadi dibuat nyesek dengan kemesraan Aran dan Gaby. Seperti biasa, Aran dan Gaby yang berangkat bersama, lalu mereka akan saling merangkul hingga sampai di depan kelas Gaby. Menyakitkan, bukan? Akan tetapi, anehnya semakin getol Reta menghindar, mereka justru selalu mendekat ke arahnya. Sungguh Reta tidak tahu lagi. Tepat seperti kali ini, setelah susah payah Reta mencari ketenangan, mereka malah mendekat sedekat-dekatnya. Dua orang itu duduk tepat di meja sebelah Reta.

Reta hanya melirik kecil ke arah keduanya. "Ran, kamu pasti belum sarapan, 'kan, karena jemput aku sepagi ini?" Cukup perhatian dibandingkan hari-hari sebelumnya.

"Tunggu, aku-kamu? Jadi mereka sudah seintens itu dalam beberapa hari ini?" batin Reta. Ah, Reta jadi berpikiran jelek. Apa mungkin mereka sudah menjalin hubungan sebelum meledaknya amarah Aran siang itu? Reta bergeleng pelan, menepis hasil pemikirannya itu.

"Jadi, kamu mau sarapan apa? Bubur aja, ya?" Gaby berjalan menuju stand penjual bubur ayam di kantin tersebut.

Mendengar Gaby akan memesankan bubur wajah Aran setengah panik, tetapi sayang Gaby sudah beranjak. "Bu, bubur ayamnya dua, komp-"

"Tunggu, By. Aran enggak suka daun bawang sama kacang," ujar Reta refleks. Sontak saja, Gaby langsung menatap Reta tak suka, lalu ia beralih menatap Aran penuh tanya.

Ketika pandangan Reta dan Aran bertemu, Aran langsung melengos. "Gue suka kok, By!"

"Tapi, Ran. Terakhir kali kamu makan kacang, kulit kamu ruam dan bentol-bentol," ujar Reta lirih sekali, takut jika Aran marah.

Gaby menatap Aran ragu. "Beneran, Ran?" Di tempatnya Aran mendengkus. "Pesen soto Bu Lasmi aja!" cetus Aran kemudian. Sementara Reta bernapas sedikit lega, Gaby makin memandang sinis ke Arah Reta.

"Jangan seneng dulu, Ta. Lo mungkin emang lebih lama kenal dan bareng sama Aran sejauh ini, tapi lihat aja, gue bakal jadi wanita terakhir buat Aran. Satu-satunya wanita yang akan selalu buat Aran bahagia," ujarnya dalam hati.

🌻🌻🌻

Seharian, di sekolah hanya ada rasa sesak yang diterimanya. Aran dan Gaby makin intens, sedangkan kabar nilai ulangannya terjun. Jika biasanya Reta selalu dapat nilai sembilan atau sepuluh, kali ini ia harus menelan sedikit kecewa saat Pak Dedi selaku pengampu mapel fisika di kelasnya memberitahukan bahwa nilai fisikanya hanya tujuh setengah.

"Reta!" Di tengah lamunannya sambil menyusur koridor Andala, suara familiar menginterupsinya.

"Belimbing wuluh yang gue berongsong aman, 'kan?" Reta mengerjap lalu mengangguk pelan.

Bendul itu aneh. Dua minggu lalu, saat belimbing wuluh di samping rumahnya baru berbunga, sudah langsung dia bungkus dengan plastik bening wadah gorengan.

"Ta, lo pasti heran kenapa gue suka banget berongsongin belimbing wuluh di rumah lo? Jawabannya simple, sih, Ta. Kenyataan itu enggak cuma pahit, tapi juga kurang asem." Bendul terkekeh sesaat. "Kaya kenyataan yang ada sekarang, bener-bener kurang asem. Cewek yang gue suka malah diembat sama sahabat gue, kan, kurang asem." Reta tersenyum tipis. Ben yang baru sempat mencintai tapi belum sempat memiliki begitu kentara merasakan sakit, jika harus diadu dengan Reta, Ben jelas bukan apa-apa.

Setelah obrolan itu usai dengan putusan Ben yang akan memanen belimbing berongsongannya, cowok itu berlalu. Nasibnya pun tak jauh dari Reta. Kini, ia disuguhkan pemandangan memuakkan. Gaby yang sedari tadi pagi terus merangkul lengan Aran dan mungkin hanya akan lepas ketika jam pelajaran berlangsung.

Agaknya kembali ke kelas melewati lapangan bukanlah hal tepat. Sungguh, Ben ingin membekap mulut Aran dengan handuk yang Gaby gunakan untuk mengelap keringat Aran. Ben tersenyum miris. Dia menganggap Aran terlalu bodoh secepat itu berpaling dari Reta. Ben memilih undur diri daripada semakin merasa muak. Sungguh, jika ia jadi Reta, dia memilih mundur.

🌻🌻🌻

Manik kecokelatan itu bergerak mengikuti kepergian Aran dengan Gaby yang naik di atas boncengan sana sambil memeluk Aran mesra. Berulang kali ia harus menelan pahit tanpa ada penawar.

"Itu tadi pacar kamu? Kok bareng cewek lain?!" Suara khas lelaki itu mengalun pelan di telinga Reta. Dia menoleh, ternyata terdapat sebuah sepeda motor matic berwarna silver bersama pengendaranya berhenti tepat di depannya. Ia sedikit kaget dengan kedatangan Rivan kemari.

Reta tak berniat menjawab pertanyaan Rivan dan memang tahu dari mana jika itu pacar Reta? Ah, sebenernya Reta juga tidak tahu, status apa yang sedang dijalaninya bersama Aran saat ini. Mengalihkan topik, Reta bertanya, "Kak Rivan kenapa bisa ada di sini? Aku belum pernah kasih tahu Kakak kalau sekolahku di sini." Rivan membalasnya dengan senyuman.

"Hei, Reta, kamu pikir Kakak bodoh? Atribut sekolah segede gaban gitu, Kakak enggak baca dan lihat?" Areta beralih memandang lengan seragam sebelah kiri, juga dasi yang dikenakannya. Rivan benar, di sana tercetak jelas logo andalan SMA Andala.

"Tadi itu pacar kamu, 'kan? Kenapa bareng cewek lain?"

"Bukan ih, Kak Rivan sok tahu!" selorohnya, menyembunyikan fakta. Rivan lantas terkekeh. "Kalau bukan pacar, kenapa natap perginya dia, kaya natap enggak rela pacarnya boncengin cewek lain?"

"Oh, jangan bilang kamu iri dan pengin boncengan kaya gitu ya? Ayo sama Kak Rivan aja!"

Reta ikut terkekeh tapi selanjutnya sebal juga. "Kak Rivan cerewet, ayo pulang!" Reta merebut helm yang tersemat dan sengaja digantung di antara lengan Rivan, memakainya, lalu duduk di jok belakang.

"Loh, Ta, emang kapan aku bilang kalau Kakak ke sini mau jemput kamu dan kapan aku bilang kamu boleh duduk di situ?" sergah Rivan seraya menengok ke arah belakang, tempat di mana Reta duduk.

"Loh, tadi bukannya ...."

Wajah Reta yang semula setengah kesal langsung pudar, berganti dengan wajah bingung campur panik menuju malu. "Aduh, malu-maluin banget kamu, Ta." teriak Reta dalam hati.

Reta memegang pundak Rivan dengan kedua tangannya, berniat turun, tapi Rivan lebih dulu melajukan gas motornya dengan kecepatan sedang, tetapi itu mampu membuat Reta langsung spot jantung.

"Kita pulang!" seru Rivan begitu riang saat motornya ia lajukan. Reta langsung terduduk kembali di jok belakang dengan kedua tangan yang refleks memeluk tubuh Rivan dari belakang, persis seperti yang dilakukan Gaby terhadap Aran tadi. Nyaris ia jatuh dan dibuat bundas oleh halusnya jalan aspal depan gerbang Andala.

"Kak Rivan, nyebelin!" rajuk gadis itu. Jangan lupakan tabokan yang mendarat di bahu mahasiswa sosiologi semester 3 itu. Di depan situ, Rivan terbahak, mulutnya pun penuh kemasukan angin jalanan.

🌻🌻🌻

AN:

Hei sobat LUL, lama gak nyapa. Lama dr mana, beberapa hari yang lalu udah nyapa perasaan ya^^

Masih ada yang nungguin gak ya? cmiww^^

Tertanda,

maeskapisme x imdenna_

Luka untuk Luka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang