1 Oktober 2020
••••••••••🌻Happpy Reading🌻••••••••••
"Ran, tunggu!"
Sesosok manusia yang sedari tadi Reta teriaki itu sama sekali tidak berhenti, apalagi untuk sekadar menoleh. Sampai pita suara Reta terputus sekalipun agaknya Aran enggan menoleh. Sikap Aran yang seperti ini membuatnya was-was.
Apa Aran kecewa karena kemarin menolak ajakan cowok itu?
Kemarin, seharian tak ada panggilan atau pesan masuk yang Aran kirim untuk untuknya. Sampai malam sekalipun. Hari-hari sebelumnya yang sudah merupakan kebiasaan, mereka akan menghabiskan waktu menjelang tidur dengan pesan singkat atau bahkan video call. Saat ia mencoba menelepon pun sama sekali tidak dijawab.
Jadi, apa alasan Aran menghindar?
Punggung tegap itu hilang di balik tembok, yang tinggal tertangkap indera hanya sayup-sayup suara tawa cowok itu bersama teman-teman tim futsalnya. Reta mendesah kecewa, dengan langkah lesu ia berbalik arah menuju kelasnya.
"Reta!"
Tepat ketika satu langkah kaki itu menapak lantai koridor, Reta kembali memutar badan. Harap-harap Aran yang memanggil, pupus sudah. Di depan sana, ada Ben dengan wajah cerahnya tersenyum. Andai Aran yang menyambutnya dengan senyum cerah itu.
"Kenapa, Ben?" Seulas senyum paksa itu lolos dari bibir Areta. Menyadari kejanggalan, Ben langsung memasang wajah tanya, senyumnya ikut luntur.
"You okay, kan, Ta?" Ben bertanya balik membuat Reta cengengesan, ketahuilah, itu hanya untuk menutupi senyum palsunya tadi.
"Enggak apa-apa, kok. Kenapa manggil?"
Wajah cengengesan khas Ben kembali menghiasi. Setelah menarik napas sesaat dan mengembuskan kembali, ia berujar, "Bantuin gue buat kasih kejutan buat Gaby, dong, Ta?" Raut wajah Areta berubah, salah satu alisnya pun terangkat. "Maksudnya kejutan? Ulang tahun Gaby, kan, udah lewat. Oh, atau Ben suka sama Gaby, ya?" godanya kemudian. Ben hanya menahan senyum sambil menggaruk kepala.
Melihat respons Ben yang terlihat malu-malu, juga lambatnya jawaban yang Ben berikan, dari sini Reta bisa menyimpulkan.
"Apa yang bisa aku bantu, Ben?" Senyum Ben merekah saat menatap wajah Areta.
"Malam ini gue mau nembak dia, bantu giring Gaby ke tempat yang udah ditentuin. Mau, kan, Ta?"
Reta manggut-manggut. "Kamu udah yakin Gaby suka sama kamu, kan, Ben? Soalnya aku enggak mau kalau Gaby nanti justru marah sama kamu dan berimbas ke persahabatan kalian."
"Makanya jangan bucin mulu sama Aran, elo jadi enggak tahu kalau gue sama Gaby sering jalan."
Reta meringis, ia lantas tersenyum miris. Sesibuk apa sebenarnya sampai ia tidak tahu tentang percintaan sahabatnya sendiri. Apa bisa disebut sebagai sahabat yang baik?
🌻🌻🌻
Jam pelajaran terakhir, berakhir ketika dering panjang bel menggema di Andala. Jika hari-hari kemarin Aran menantinya di depan kelas, kali ini Reta harus menerima saat cowok itu bahkan tak muncul sekalipun di hadapannya. Rupanya Aran benar-benar marah padanya.
Sendiri, adalah ketakutan bagi Reta. Jika Aran tidak ada di sampingnya, biasanya akan ada Gaby. Akan tetapi, hari ini tak ada Aran, juga sahabatnya. Yah, mungkin Reta saja yang terlalu bergantung pada orang lain, sehingga ketakutan besar itu selalu muncul di saat seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka untuk Luka [END]
Teen Fiction••• Writing challenge with Aarunya Media ••• Aran mencintai Reta, sangat, dan itu baik. Tapi, caranya mencintai Reta sangatlah tidak sehat, banyak mengekang dan seolah memerangkap Reta, kadang dia itu semacam psikopat. Jadi, itu dikatakan cinta atau...