"Kalau begitu, kenapa masih mau bersamaku?! Kenapa tidak menggugat cerai, atau membunuhku saja?!"
Prang!
Suara Anina disertai pecahan kaca, menggema sampai ke luar, membuat seorang gadis yang berdiri di depan rumah orang tua Reta merinding. Namun, dikesampingkannya rasa takut itu, pikirannya berganti kepada sahabatnya. Bagaimana kondisi Reta di dalam? Apakah dia baik-baik saja? Ah, baik dari mananya?
Gaby menelan ludahnya susah payah. Tangan kanannya terangkat, hendak mengetuk pintu. Namun, sejenak kemudian dia menghentikan pergerakannya. Dia lupa kalau di rumah ini ada bel.
Ditekannya tombol yang ada di sebelah kanan pintu rumah itu, sembari sedikit gemetaran, Gaby menanti respons dari dalam.
Sedangkan, di dalam sana, Anina dan Fernan berhenti dari aktivitasnya masing-masing. Mereka saling bertukar tatapan kebencian, lantas Anina mendecih dan meninggalkan suaminya di sana. Dia memilih membukakan pintu untuk orang, yang belum diketahui siapa dia.
"Oh, Gaby? Mau ketemu sama Reta?" tanya Anina tepat sasaran.
Gaby mengangguk ragu. Dia tersenyum samar, lalu menjawab, "I-iya, Tan. Gaby boleh ketemu sama Reta, kan?"
Anina tampak berpikir sejenak. Dia jadi teringat putrinya, yang sempat terkena imbas pertengkarannya dengan suaminya. Setitik dari hatinya, dia merasa bersalah dan ingin memeluk Reta. Namun, mayoritas isi hatinya menolak keras. Anina kembali menampilkan sisi egoisnya. Menurutnya, Reta pantas mendapatkan ini. Setimpal dengan perlakuan yang Anina dapatkan dari orang tuanya dulu.
"Boleh. Silakan masuk. Reta ada di kamar. Oh iya, sekalian ingatkan Reta melakukan rutinitasnya, ya. Tante mau keluar sebentar," pesan Anina. Setelah mengatakan itu, Anina berlalu dari hadapan Gaby.
Gaby mengembuskan napasnya lega. Dia menggelengkan kepalanya. Dilangkahkan kakinya masuk ke rumah orang tua Reta. Dia melihat isi rumah Reta yang cukup berantakan. Pecahan kaca di mana-mana. Hiasan berbentuk ukiran kayu, tergeletak sembarangan di lantai.
Reta, kamu kuat banget.
Dengan hati-hati, Gaby menaiki anak tangga satu per satu. Sesampainya di depan kamar Reta, dia berhenti sejenak. Menatap kotak makanan di tangan kirinya. Dia tersenyum kemudian.
Sebelum dia mengetuk pintu kamar Reta, samar-samar didengarnya tangis dari dalam kamar Reta. Gaby sudah menduga, pasti hal itu terjadi lagi.
"Reta, aku Gaby. Boleh masuk?"
Sepuluh, dua puluh detik tidak ada sahutan sama sekali. Karena tidak ingin Reta kenapa-napa, akhirnya Gaby langsung membuka pintu kamar Reta dan menemukan Reta yang mendekap lututnya di samping ranjang, sembari menangis.
Pintu kamar Reta, Gaby tutup. Dia menatap iba sahabat yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri. Lantas, dia mendekati Reta dan membawanya ke dekapannya. Reta terisak di sana. Hal ini sudah biasa, berulang kali.
"Udah, ada aku," bisik Gaby. Dia berusaha menenangkan Reta. "Perlu aku telepon Aran?" Meski sedikit ragu, Gaby menawarkan kepada Reta.
Reta menggeleng. "Enggak. Jangan," balas Reta dengan suara paraunya. Dia masih berada di pelukan Gaby.
Setelah merasa sedikit lega, mereka berdua berbaring di atas kasur. Menatap langit-langit kamar Reta yang hanya berwarna putih.
"Mama sama papa, kapan, ya, peduli sama aku?" Reta bertanya. Baik itu kepada dirinya sendiri, dan kepada Gaby yang berbaring di sebelahnya. "Mereka peduli sama kamu, Reta."
"Peduli, Gab? Peduli macam apa kalau akhirnya membuatku sakit?" Air mata Reta kembali menetes. "Aku sayang sama mereka, tapi ... sepertinya mereka hanya memikirkan dirinya sendiri," lanjutnya.
Gaby menatap sahabatnya itu dari samping, kemudian tersenyum dan berkata, "Mereka sayang sama kamu. Aku pikir caranya aja yang kurang tepat. Dan, hei! Di sini, masih ada aku sama Aran, yang tentunya sayang sama kamu, Reta."
🌻🌻🌻
Di atas motor itu, Reta memeluk Aran dari belakang. Menikmati aroma tubuh Aran yang sangat khas dan mudah dikenalinya. Sesekali mereka saling bertatapan lewat spion dan tersenyum. Selalu, selalu seperti ini setiap pagi berangkat sekolah.
"Semalam kenapa enggak ngabarin aku?" tanya Aran, saat mereka menemui lampu merah. "Ah, maaf. Semalam ada urusan yang enggak bisa ditinggal. Jangan marah, ya?" balas Reta sedikit takut.
Aran mengangguk dan kembali melajukan motornya. Jalanan Ibu Kota pagi hari memang sedikit macet. Untuk menjaga kekasihnya, Aran rela mengendarai motor dengan kecepatan rendah dan panas-panasan. Ya, demi Reta.
Ada yang Reta pikirkan ketika mereka hendak sampai di sekolah. Dia ingin menceritakan kejadian semalam kepada Aran. Akan tetapi, dia takut hal itu malah akan membuat Aran marah. Bagaimana kalau Aran menyadari dia tadi berbohong? Reta tidak mau Aran kecewa kepadanya. Hanya Aran dan Gaby yang benar-benar ada untuknya.
"Mau sarapan bareng?" tawar Aran, sembari membantu Reta melepaskan helm. "Memangnya kamu belum sarapan, Ran?"
Aran menggeleng. "Tadi, sih, bibi udah nyiapin makanan. Tapi dari semalam, aku udah ngerencanain buat sarapan bareng sama kamu. Yah, tapi kalau kamu enggak mau, ya, udah." Dia menggandeng tangan Reta. Membuat murid-murid yang melewati mereka sempat iri. Reta cantik, Aran tampan. Para siswa iri, apalagi para siswi, potek di tempat.
"Aku mau, Ran."
"Beneran? Tapi ...."
"Tapi apa?"
"Suapin aku, ya, Ta?"
"Aku suapin pake sekop mau?" tawar Reta terdengar jenaka. Aran melotot tajam ke arah kekasihnya itu. Sedetik kemudian Reta nyengir sembari mencubit pipi Aran gemas, tidak memikirkan jika nanti Aran justru murka. "Bercanda." Begitu ujarnya.
Aran menghentikan langkahnya, otomatis, Reta yang berada dalam gandengannya ikut berhenti. Cukup intens Aran menatap Areta, hal yang membuat Areta menelan ludah susah payah. Ia takut membangunkan singa di pagi hari.
"Mau pake sendok atau sekop asal kamu yang nyuapin pasti aku mau."
Aran meraup kembali tangan Areta ke dalam genggamannya, mengecup punggung tangan itu sekilas lalu tersenyum ke arah Areta, sebelumnya akhirnya melanjutkan langkah mereka.
🌻🌻🌻
AN:
Gimana part ini? Kalian baper? Gumushh sama Aran atau Reta?
Mampus kalian uring-uringan lagi pasti, kan?^^
Buat satu minggu ini, mungkin LUL akan di-update 3 atau 4 part saja dengan kisaran update 2 hari sekali. Kalian paham maksudku, kan?
Oh iya, jangan lupa share ke temen-temen kalian, ya, kalau kalian suka cerita ini. Ajakin baca LUL. Racunin borr! wkwk
Salam,
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka untuk Luka [END]
Fiksi Remaja••• Writing challenge with Aarunya Media ••• Aran mencintai Reta, sangat, dan itu baik. Tapi, caranya mencintai Reta sangatlah tidak sehat, banyak mengekang dan seolah memerangkap Reta, kadang dia itu semacam psikopat. Jadi, itu dikatakan cinta atau...