Kesalahan yang dibuat di masa lalu adalah perbaikan di masa mendatang, tapi kesalahan di masa mendatang merupakan aib di masa lalu
Di hari libur, semua menjadi lebih berantakan. Tak ada kesibukan atau satu aktivitas di rumah yang bisa mengalihkan ku dari semua masalah, aku memang selalu begini. Terlalu bodoh memikirkan hal yang bisa membuat ku sedikit nyaman. Ah, betapa sialnya aku. Suasana dirumah sungguh tak mengenakan hati, keluarga yang saling tak peduli ditambah jalanan desa yang sepi karena hari libur sungguh bisa membunuh seorang yang sedang frustasi. Aku memang sengaja bangun siang setiap hari libur, tak berniat melakukan sesuatu yang rajin seperti orang luaran. Tak berniat pula, pergi ke suatu tempat untuk menghibur diri. Aku hanya akan tetap di rumah saja, tanpa melakukan apapun dan mengunci kamar. Mungkin memang terkesan menyebalkan bagi sebagian orang, tapi apa pula peduli mereka apabila ketika aku memulai aktivitas justru semakin banyak luka yang meremukkan diriku. Ah, aku menarik kembali selimut tipis untuk menutupi seluruh tubuh hingga kewajahku. Berniat kembali tidur sebelum salah satu orang rumah memanggilku untuk melakukan sesuatu.
"Afza " baru saja aku selesai menutupi diri dengan selimut, suara panggilan nama membuatku membuka mata dengan kesal. Menyingkirkan selimut dengan segera dan beranjak keluar sebelum kalimat lain keluar dari mulut ibuku.
" Mau kemana ? " Tanya ibu, memperhatikan langkah cepatku keluar kamar.
" Mau mandi, makan, habis itu ngerjain tugas "
" Afza tidur lagi aja gapapa, Ibu sama adik-adik mu mau pergi ke rumah paman. Pulang sore, kamu jaga diri sama nenek dirumah " mendengarnya aku sedikit tersenyum, tak berniat menjawab dan langsung masuk kamar. Kembali pada aktivitas yang tertunda.
"Kalau mau makan, lauk yang di meja dipanasin dulu ya. Nanti nenek dikasih tahu. Ibu pergi " setelahnya Ibuku tak lagi bersuara, aku sedikit bahagia karena gangguan di rumah semakin berkurang. Aku bahagia bisa membahagiakan diriku dengan cara berdiam diri dirumah seperti ini. Ah, mengingatkan kepada satu hal menyakitkan di masa lalu.
*Flashback e
" Ibu aku pergi sama tetangga sebelah. Pulang sore ! " Teriakku di ambang pintu rumah, dengan tergesa aku mengambil kunci motor dan berlari. Bergegas menuju rumah tetangga yang berjarak 200 meter dari rumahku. Kami berencana pergi ke pantai hari ini, bersama-sama. Banyak teman dan suasana akan sangat menyenangkan, pikirku. Ini adalah kali pertama aku ke pantai bersama teman-teman. Menghabiskan waktu dengan berceloteh, bercanda dan melakukan sesuatu yang menyenangkan bersama. Walau umur mereka terlampau lebih tua dariku, aku tetap bahagia. Setidaknya aku masih punya teman yang mau mengajakku bahagia bersama.
" Af, kamu disini dulu ya jagain tas kita. Kita mau ke pesisir sebelah sana sebentar. Nanti gantian " setelah berucap mereka langsung berlari bersamaan, tanpa persetujuanku. Aku sendiri, bersama tumpukan tas-tas wanita dan sampah-sampah makanan ringan. Jarakku terlalu jauh untuk menikmati ombak, aku sungguh bosan. Suasana pantai sungguh sepi walaupun hari libur, mungkin karena pantai yang kami kunjungi belum terlalu dikenal masyarakat. Aku tak bisa menahan inginku, karena keadaan kurasa cukup aman. Aku memutuskan untuk mendekat ke pantai untuk menikmati ombak, tak terlalu jauh dari lokasi tas agar aku bisa tetap mengawasi barang. Aku terlalu hanyut dengan suasana indah lautan, hingga para gerombolan sudah kembali ke tempat barang kami.
" Afza ! Siapa yang jaga barang kami kalau kamu disitu ?! " Suara hentakan salah seorang dari mereka membuyarkan imajinasi ku, sontak aku langsung berlari ke tempat barang.
" Coba kalian cek, ada barang yang hilang ga ? Aduh, semoga ga ada ya " ucapnya sembari menggeledah tasnya sendiri dengan terburu-buru. Aku hanya mengamati ketakutan.
" Handphone ! Handphone sama dompet ku ga ada ! " Salah seorang gadis menjerit histeris sambil membuka seluruh celah tasnya. Aku semakin ketakutan, namun tetap diam. Tak ada yang harus kulakukan saat ini, aku sungguh mati gaya.
"Kamu kan kami kasih tanggung jawab jaga barang ! Kenapa malah kesana ?! Hah ? Ngapain kesana ?! Kamu mau tanggung jawab ga karena barang temen kami hilang ?! " Suara marah nya sungguh menakutkan, aku panas dingin. Sungguh tak tau yang harus dilakukan selain menangis.
" Ini gimana Af, aku bakal dimarahin kalo handphone sama dompetku hilang. Gimana ?!! " Gadis yang kehilangan barangnya menggoncang tubuhku dengan keras, yang lainnya menatap dan terus bergumam menyalahkan.
" Maa, maaf kak. Aku tadi kesana cuma mau lihat ombak sebentar, aku ga jauh-jauh dari barang kalian supaya masih bisa ngawasin. Maaf kak, aku terlalu ceroboh. Maaf " aku menangis dengan sedu, sungguh sangat ketakutan. Tapi yang lebih menyakitkan, tak ada satupun dari manusia yang mengerumuniku berusaha menenangkan atau setidaknya memegang tangan menguatkan.
" Kita gapapa kalo barang kamu yang hilang, tapi ini barang orang lain Af. Gimana ini ?! " Masih berkesan sangat marah, ucapnya sungguh semakin membuatku takut.
" Aku ganti dengan uang tabungan kak, nanti sampe dirumah aku langsung kasih uangnya. Maaf "
" Oke, sekarang kita pulang "
Kami pun langsung pulang tanpa mengganti baju dan membereskan tempat, sampai dirumah aku langsung mengambil semua uang tabungan. Memberikannya kepada orang yang kehilangan barangnya, walau begitu masih tersisa ketakutan dalam diriku. Setelahnya, aku diam dan ambruk di kamar. Tak ada dari satu pun orang rumah yang tau bagaimana takutnya aku, meringkuk dan menangis seorang diri. Terus berpikir dan menyalahkan diri bahwa sebaiknya aku tetap dirumah saja, berdiam diri dirumah tanpa ada seorang pun yang tau dan peduli. Kurasa itu akan membuatku lebih nyaman, aman dan bahagia. Ya, hidup dengan kesendirian akan lebih menyenangkan daripada seperti ini. Tak ada yang tau, peduli dan menyalahkan apapun yang aku lakukan. Ya, aku akan hidup sendiri.
*Flashback off
Aku membuka laptop, mencari file film favorit dan mengkliknya. Matakau berbinar tertuju pada judul drama yang belum sempat kutonton. Di meja belajar, aku hanya menonton film selama berjam-jam, tanpa memedulikan suasana sekitar. Aku hanya ingin membuat diriku lebih tenang, tanpa memikirkan sesuatu yang bisa membuat stress bahkan ketakutan.
"Ibu dan adik-adikmu kemana?" Nenek tiba-tiba membuka pintu kamarku, aku segera menghentikan film.
" Sedang pergi kerumah paman, lauk dan nasi ada di meja makan disuruh dipanasin dulu soalnya udah dari tadi pagi" aku menjawab seadanya seperti yang ibu sampaikan.
"Terus kenapa ga kamu panasin, dasar pemalas. Pasti dari tadi kamu cuma nonton film aja kan? Ah, memang anak durhaka!" Hatiku memanas, emosiku memuncak. Memikirkan bagaimana mudahnya nenekku mengutukku tanpa tau yang sebenarnya terjadi. Aku langsung beranjak, berjalan dengan cepat dan berani, melewatinya dan menuju dapur untuk melakukan sesuatu yang diisyaratkannya.
" Kan, memang kamu tuh ga bisa apa-apa kalau ga disuruh dulu" mataku hampir saja menjatuhkan air mata, tapi aku meyakinkan diri bahwa semuanya akan kembali baik seperti waktu yang telah lalu. Menarik napas kemudian melanjutkan pekerjaan.
"Loh kamu lagi mau makan jam segini?" Ibu sudah pulang, aku tak menjawab pertanyaannya. Khawatir akan terjadi keributan.
Setelah selesai memanasi sayur dan lauk aku kembali ke kamar. Mengunci pintu dan membuka file tugas untuk dikerjakan. Aku memang seperti ini, akan lebih mudah menyelesaikan hal yang sulit ketika sedang kesal atau marah. Ah, memang sangat munafik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheerless Stranger
Fiksi Remaja" Saya akan tetap begini, selalu menjadi saya walau orang lain kerap meninggalkan saya karena mengetahui bagaimana saya yang sesungguhnya. Saya tidak akan menjadi orang lain hanya untuk dikasihani dan agar orang tak berpaling dari saya " Ujar gadis...