Hari menjelang maghrib, itu berarti waktunya Aisyah, Umi Maryam serta Nala menutup toko kue. Toko kue ini memang buka dari jam 8 hingga hari menjelang maghrib, sedangkan malam mereka sengaja tidak membuka toko kue itu. Itu karena Umi Maryam yang ingin juga menghabiskan waktu bersama keluarga pada malam hari, Abinya Aisyah pun juga tidak mengambil jadwal ceramah saat dimalam hari. Paling jika iya, itu hanya sesekali saja disela waktu sibuknya. Meskipun sibuk dengan toko kue, Umi Maryam lantas tak melupakan kewajibannya sebagai seorang Ibu serta istri yang baik bagi anak serta suaminya dan hal itu membuat Aisyah kagum dan ingin sekali mencontoh kegesitan Uminya dalam membagi waktu.
Aisyah juga ingin hidup bahagia bersama orang yang dicintainya sama seperti hubungan pernikahan Umi dan Abinya yang selalu saja berjalan harmonis meskipun hidup dalam berkecukupan, kebahagiaan itu akan datang jika kita merasa cukup atas rezeki yang telah Allah berikan. Pernah mendengar sebuah arti yang menyatakan bahwa 'Allah akan menambah nikmat jika kita pandai bersyukur, sebaliknya adzabnya sangat pedih bagi orang-orang yang tak pandai bersyukur atas nikmat yang telah Dia berikan.' sepenggal arti surah itulah yang kedua orangtuanya tanamkan padanya dan Kabir. Mereka begitu bersyukur karena bisa terlahir dari rahim seorang wanita penyabar juga shalihah seperti Umi Maryam juga dari seorang laki-laki terbaik yang Allah jadikan sebagai Abi mereka.
"Alhamdulillah, sudah selesai. Kamu bisa pulang lebih dulu Nala, rumahmu kan paling jauh dari kami." Umi Maryam berkata demikian ketika mereka telah selesai menutup toko.
"Iya Umi, kalau begitu Nala pamit ya? Mbak gue duluan ya? Assalamualaikum." Nala memakai helmnya kemudian menaiki motornya.
"Waalaikumsalam."
"Hati-hati jangan ngebut bawanya," ucap Umi Maryam ketika Nala sudah menjalankan motor matic-nya.
Rumah Nala memang sedikit lebih jauh dari sini sehingga harus menggunakan motor agar sampai kesini, sedangkan rumah Umi Maryam dan Aisyah hanya berjarak beberapa puluh meter dari sini sehingga mereka lebih memilih berjalan kaki saja. Setelah membereskan semuanya dan mengunci pintu toko, Aisyah dan Umi menyusuri jalan yang sedikit lengang oleh kendaraan. Dua orang berbeda usia itu berjalan sambil mengobrolkan tentang banyaknya pelanggan toko tadi, Aisyah lebih memilih tak menceritakan pertemuannya dengan salah seorang pelanggan yang sepertinya kewarasannya sudah hilang entah kemana. Siapa lagi kalau bukan si pria gila yang Aisyah maksud yang tak lain adalah Pandu, bahkan dia menggeleng ketika mengingat kegilaan pria itu tadi.
"Assalamualaikum," ucap Aisyah dan Umi Maryam berbarengan begitu memasuki rumah.
"Waalaikumsalam." Abi Aisyah yang bernama Lukman keluar dari kamar lengkap dengan baju koko serta peci putihnya, sepertinya dia akan pergi ke masjid.
"Eh kalian sudah pulang? Kebetulan sekali Abi dan Kabir akan pergi ke masjid, kami pulangnya sepertinya agak malam ya? Karena ada acara pengajian disalah satu rumah teman Abi." Abi Lukman berkata ketika melihat Kabir keluar dari kamarnya dengan penampilan yang sama dengannya.
Meskipun usia Kabir masih tergolong sangat kecil tapi Abi Lukman kerap kali mengajak putranya itu untuk ikut pengajian bersamanya, dia ingin agar putranya bisa seperti dirinya yang bisa mengerti ilmu agama. Sehebat apapun ilmu dunia tetaplah ilmu agama yang paling hebat dan paling dibutuhkan selama menjalani hidup terutama saat diakhirat nanti, sering-sering mengajak putranya ikut pengajian membuat Kabir sedikit demi sedikit mengerti tentang pengajaran yang dia jelaskan. Tak hanya melalui pengajian saja, bahkan Abi Lukman juga secara khusus mengajarkan Kabir saat ada waktu luang.
Saat kecil Aisyah pun diperlakukan sama seperti Kabir saat ini, Abi Lukman juga sering mengajak Aisyah pergi ke pengajiannya juga mengajarinya secara khusus. Tak mengherankan jika terkadang ada yang meminta Aisyah mengajari salah seorang anak mengajari iqra ataupun Al-Qur'an padahal Aisyah sama sekali tak membuka kelas mengajari, biasanya yang memintanya kebanyakan tetangga mereka sehingga Aisyah tak enak hati jika sampai menolak. Tidak baik menghalangi seseorang yang ingin belajar tentang ilmu agama, bukankah berbagi ilmu itu juga mendatangkan banyak pahala?
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Aisyah
SpiritualKehilangan sebuah diary bagaikan kehilangan bagian dari hidup seorang Aisyah Vitriana seorang gadis berusia 20 tahun yang bekerja membantu Ibunya mengurus sebuah toko kue milik keluarga. Tiba-tiba datang seorang pria bernama Panduwinata Bramasta yan...