WARNING!!! Episode kali ini mengandung kekerasan fisik, seperti memukul, dan mencekik. Pembaca diharapkan bijak saat membaca
TERIMAKASIH, SELAMAT MEMBACA.
"CARI MEREKA HINGGA KETEMU, BAWA BOCAH-BOCAH ITU HIDUP-HIDUP." Terdengar suara seseorang dari puluhan meter. Fani terbangun sendiri, kami terkejut. Itu adalah para penjaga yang tadi yang kami lumpuhkan, mereka ada tiga orang, membawa senjata tumpul, dan senapan, mencari pelaku yang membuat pingsan tadi. Itu adalah kami.
Kami bersembunyi dibalik semak, sedangkan Fani pergi menjauh seorang diri, ia tahu apa yang dilakukannya. Memanah dari jauh.
"SYUUT, SYUUT, SYUUT". Ketiga anak panah itu melesat, dua diantaranya mengenai orang-orang itu, mereka ambruk seketika. Satu sisanya langsung waspada, menodongkan senapannya, mencari-cari. Aku bisa melihatnya, Fani gemetaran usai melontarkan anak panah, ini pertama kalinya ia melukai seseorang, sebelumnya ia selalu dididik ayah dan ibunya untuk menghargai dan menghormati siapapun, apapun yang terjadi. Tapi baru saja ia melukai seseorang dan itu membuatnya ketakutan.
Saking gemetarnya, Fani jatuh terduduk dan membuat semak-semak bersuara. Pria itu lantas mengarahkan senapannya ke arah tempat Fani bersembunyi, Ia mendekat, siap menembak. "Hei, anak bocah. Aku tidak akan segan lagi padamu, Begitu aku melihatmu, akan ku tarik pelatuk ini tepat di kepalamu." Pria itu menakut-nakuti, terus mendekati.
Kami tidak bisa membantu, jika kami nekat, kami akan membahayakan diri juga nantinya. Erdin sudah berkali-kali menembakkan kerikil ke semak-semak lainnya, berharap pria itu akan terkecoh. Tapi pria itu tidak terusik sama sekali, mungkin ia sudah yakin dengan yang ia lihat. Pria itu sudah semakin dekat dengan Fani, aku gemetar, hampir menangis rasanya ingin berteriak tapi aku tidak boleh melakukannya.
Kami berusaha untuk tidak membuat suara, Erdin menutup dan menggenggam walkie talkie-nya dengan erat agar tidak bersuara.
Tinggal beberapa langkah lagi, pria itu akan dapat melihat Fani dengan jelas. Sebelum itu terjadi, aku memikirkan cara nekat satu-satunya yang bisa menyelamatkan sahabatku itu. Aku menggenggam belati di tangan kananku menghadapkannya keatas, bersiap melompat dari semak-semak, lalu menikam pria itu dari belakang. Belum genap aku menyiapkan diri, Yuma dengan tubuh gagah miliknya melesat lebih dulu, gerakannya tangkas. Ia menjatuhkan senapan yang digenggam pria itu, lalu menendang senapan itu jauh-jauh. Kini pria itu tidak bersenjata, mereka akan bertarung jarak dekat, aku semakin bingung apa yang harus ku perbuat. Aku juga tidak bisa menghampiri Fani, pria itu akan mengetahui keberadaan Fani dan bisa saja membahayakannya.
Rey merogoh ke tanah, ia menemukan belati milik Yuma, "Astaga, kenapa juga Yuma bisa menjatuhkan belatinya. Ceroboh sekali dia. Bagaimana Yuma akan mengalahkan pria berbadan gorila seperti itu? Adu jotos?" Bisik Rey.
Yuma yang berdiri berhadapan dengan pria itu sesekali merogoh pinggangnya, ia mencari-cari belatinya. Rey mengangkat belatinya tinggi-tinggi, Yuma meliriknya lantas mengeluarkan suara seperti orang kesal. Ia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dada, mengepal, siap melawan dengan tangan kosong.
Yuma dan pria itu mulai beradu tinju, aku terus menghitung-hitung siapa yang akan menang. Badan pria itu besar, mungkin dari segi kekuatan ia lebih unggul, tapi gerakannya lambat. Sedangkan Yuma, badannya kurus tapi tidak kurus kerontang, gerakannya cepat dan ia gesit. Mereka seperti harimau yang berebut daerah kekuasaan, tinjuan mendarat dimana-mana. Hal yang aku takutkan terjadi, Yuma jatuh tersungkur akibat pukulan maut yang di lepaskan lawannya. Ia meringkuk memegangi ulu hatinya, tidak mampu untuk berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wake Me Up (Buku pertama dalam serial ini)
AdventureKami 4 orang siswa-siswi SMA tiba-tiba terlibat dalam peperangan. Awalnya kami hanya tersesat, namun setelah kejadian hari itu, semuanya berubah. Awan yang tadinya cerah berubah jadi gelap, wajah gembira berubah jadi suram. Ada sesuatu yang janggal...