Episode 7

10 4 1
                                    

WARNING!!! Episode kali ini mengandung kata-kata kasar dan adegan kekerasan fisik, seperti memukul, dan mencekik. Pembaca diharapkan bijak saat membaca

TERIMAKASIH, SELAMAT MEMBACA.

       Hari sudah mulai gelap, pandanganku mulai terbatas, aku tidak bisa melihat apa-apa.

BHUUUAAAK!!!

       "Aduh. Ya ampun, apa itu? Sepertinya aku baru saja melangkahi sesuatu." Aku tersandung sesuatu, lututku terasa perih, namun rasa perihnya tertutup oleh rasa penasaranku. Aku merogoh-rogoh tanah disekitarku, menemukan sesuatu. Rupanya itu senter dan untung saja masih berfungsi.

        "Apa itu, Ran? HAH? Senter? Di hutan lebat seperti ini kamu mendapatkan senter? Apakah masih berfungsi? Coba nyalakan." Fani terlalu banyak bertanya, aku tidak menjawab. Langsung menyodorkan senter kedepan lalu memencet tombolnya. Senter itu menyala.

         Alangkah terkejutnya aku, siapa yang menyangka, barusan aku tersandung mayat. Iya mayat. Kami mundur beberapa langkah, Yuma maju sendirian memastikan.

         "Hei, ini darah segar, mayat ini baru. Eh, Ran. Bisakah kau menyorot mayat ini dengan alat bercahaya yang kau pegang itu? Sepertinya aku menemukan sesuatu diantara pakaiannya" Yuma menunjuk senter ditanganku, aku mengangguk, lalu mengarahkan cahaya senter ke arah mayat itu. Yuma menemukan walkie talkie milik mayat itu, lalu ia memasukkannya dalam kantong.

          "Yuma bukankah lebih berbahaya jika Rani menyalakan sen..." Belum selesai Fani berbicara, terdengar suara tembakan menerobos semak-semak. Kami tertahan disana, aku lekas mematikan senter, kami bergerak tanpa suara, mencari tempat bersembunyi. Dibalik semak-semak, aku memperhatikan sekitar, begitu juga dengan yang lain. Kami membuka mata lebar-lebar, waspada. Fani sudah menarik tali busur sedari tadi, bersiap menembakkan anak panah. Kami diam ditempat selama beberapa menit, lalu Yuma mengajak kami mengendap-endap pergi dari sana.

         "Ada gundukan batu di depan, ayo kita kesana. Memeriksa siapa yang ada dihutan ini selain kita. Sangat tidak wajar jika suara tembakan tadi berasal dari tempat jauh kan? Aku yakin sekali, peluru itu memang diperuntukkan untuk kita." Aku menunjuk ke arah gundukan batu, kami menuju kesana, bersembunyi dibaliknya, mencari-cari siapa dalang dari penembakan tadi.

          Kami tidak berhenti mencari, ini sudah tiga puluh menit, tidak kunjung menemukan sesuatu. "Sepertinya tembakan itu memang berasal dari tempat jauh, Ran. Lagipula, kita mau apa jika menemukan penembaknya? Kita langsung pergi ke tujuan kita saja, pedesaan yang di bilang Yuma tadi, Bagaimana?" Rey menyerah,  mengajak kami kembali. Sebenarnya aku tidak setuju, aku masih penasaran apa motif mereka menembakkan peluru pada kami? Apa kami ketahuan telah kabur dari sel?

          Kami terpaksa harus melanjutkan perjalanan tanpa senter, gelap, akupun beberapa kali tersandung. Walaupun gelap, kami masih bisa melihat langit, pepohonannya tidak terlalu berdekatan, sehingga cahaya bulan masih bisa sedikit menyinari.

         Yuma menghentikan jalannya, menyuruh kami diam, bersembunyi. "Ada apa, Yuma? Kenapa kita sembunyi?" Erdin bertanya cemas, kami ikut mengawasi sekitar tapi kami tidak menemukan apapun. Yuma tetap diam, tatapannya fokus menyapu sekitar.

        "Kalian tidak sadar? Tadi ada segerombolan burung melintas berlawanan arah dengan kita, dan tiba-tiba saja hutan menjadi begitu sunyi. Pasti ada yang tidak beres di sekitar sini." Yuma berbisik, lalu kembali fokus.

        "Kenapa kalian jalan pelan sekali? Kalian takut? Cepat cari bocah itu, ia berhutang sesuatu pada kita. Heh dasar dongo, apa kalian mendengarku? Kubilang CEPAT! Dasar anak buah merepotkan. "

Wake Me Up (Buku pertama dalam serial ini)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang