Episode 10

3 1 0
                                    

    

     "CIEEEEEE, itu tadi apa? Kenapa dia sangat-sangat meng-khawatirkan mu?" Astaga aku lupa, kalau dikamar ini tidak hanya ada aku dan Fani, namun ada teman kelasku juga.

      "Tunggu, apa kau mendengar percakapan kita tadi? Kau tidak menguping kan?" Fani bertanya memastikan, akan bahaya jika dia tahu sesuatu, mereka akan membuat gossip, dan gossip itu akan menyebar dengan cepat.

       "Tidak, suara kalian terlalu kecil, aku tidak bisa mendengar apapun, jangan khawatir." Dia kembali sibuk dengan gadgetnya. Aku merasa sedikit lega, tapi juga masih curiga. Tapi ya sudahlah, lagi pula dia tidak akan paham apa yang kami bicarakan. Aku kembali menyeruput teh yang masih panas, rasanya menyegarkan.

         "Sudah larut. Kita harus tidur, badanku lelah sekali, setelah kejadian mengerikan tadi. Selamat malam, Fani. Semoga mimpi mu indah." Aku menarik selimut, memperbaiki posisi bantal, siap tertidur. Fani masih duduk di ranjang ku, meminum tehnya yang sedari tadi masih ia tiup-tiup.

         Hari ini waktu terasa lambat, mungkin karena banyak sekali peristiwa yang terjadi hari ini. Aku susah tidur, masih terbayang-bayang kejadian tadi siang, juga kejadian memalukan tadi pagi. Aku menyesal mengatakan itu pada Waro.

           Kepala ku tidak membiarkanku tidur, ini sudah lewat tengah malam. Aku masih terbayang-bayang. Fani sudah tertidur sedari puluhan menit yang lalu, ia mendengkur keras sekali. Tapi begitulah Fani yang ku kenal. Dan akhirnya setelah sekian lama menunggu, aku mengantuk juga, aku tertidur pulas sekali.

          Aku terbangun di  pagi buta, haus. Aku menuju ke dapur di lantai bawah untuk mengambil segelas air putih.

          "Wah, Rani sudah bangun? Sedang apa disini." Aku menoleh ke sumber suara. Rupanya itu Erdin, dia dengan kaus putihnya mendekat.

          "Ah, aku hanya mengambil segelas air putih, tenggorokan ku terasa kering sekali. Kau kemari ingin minum kan? Gunakan saja gelasku." Aku mengulurkan gelasku padanya usai menegak seluruh air dalam gelas.  Ada yang janggal, terasa deja vu, kejadian ini pernah terjadi sebelumnya, aku mencoba mengingat-ingat.
 
             "Ada apa, Ran? Kau melamun sejak tadi. Sepertinya melamun adalah hobi baru mu ya." Erdin menepuk bahuku, lamunanku pecah, lalu Erdin tertawa kecil. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Sejak kapan Erdin tahu aku sering melamun? Apa dia selalu memperhatikan ku? Ah, sudahlah aku tidak boleh ge-er. Bisa jadi kebiasaan buruk ini memang sudah disadari oleh teman sekelas, dan itu hal yang normal.

         "WARO TUNGGU!!!" Terdengar suara Dian berteriak di luar, aku dan Erdin saling tatap, lalu berlari keluar.

         Terlihat Waro dan tentaranya berhenti di tengah lapangan, mereka sudah siap berangkat. Mereka bahkan sudah menunggangi kuda, Dian berlari ke arahnya, aku dan Erdin ikut mendekat.
  
           "Waro, lukamu masih belum sembuh, tunggulah sebentar lagi." Dian masih terengah-engah usai berlari dengan kecepatan tinggi.
  
            "Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Aku juga harus segera kembali ke perkampungan, untuk berjaga-jaga." Waro menjawabnya.

             "Setidaknya bawalah bekal yang sudah ku siapkan. Ada perban dan obat oles juga didalamnya, kau juga perlu beristirahat dijalan, bagaimana jika kondisi mu semakin parah? Bukannya kau berjanji padaku untuk membawa Yuma kembali. Kau tidak bisa menjemput Yuma dengan kondisi badan seperti itu." Dian memberikan sekotak perbekalan.

            "Tidak usah, tidak apa. Aku baik-baik saja. Percayalah." Waro menggeleng.

            "Ambil saja, Waro. Dian sudah mempersiapkannya untukmu, untuk kali ini terima saja." Aku angkat bicara, meyakinkan, Erdin ikut menambahi. Dian mengangguk, menyuruh Waro membawanya. Dua tentara itu pun tidak mau kalah, mereka juga meyakinkan Waro untuk menerimanya. Sebagai antisipasi jika dijalan terjadi sesuatu pada Waro.

Wake Me Up (Buku pertama dalam serial ini)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang