WARNING!!! Episode kali ini mengandung kata-kata kasar dan adegan kekerasan fisik, seperti memukul, dan mencekik. Pembaca diharapkan bijak saat membaca
TERIMAKASIH, SELAMAT MEMBACA.
DUAAR, DUAAR.
Dua peluru ia tembakkan ke tanah, menghalangiku jalan. Aku semakin tersenyum lebar.
"Apa kau seberani itu melawanku? Coba saja." Aku semakin mendekatinya, menunjukkan Belatiku padanya. Sepertinya aktingku berhasil, Chester bergetar ketakutan. Bahkan ia sampai terjatuh.
"HAH. Licik juga ya kamu, Ran. Sekarang lebih mudah mengatasinya. Ayo kita selesaikan dia hari ini." Yuma bangkit, lalu berdiri tegap di sampingku. Aku menatap Yuma, Selesaikan apa? Apa yang ia maksud adalah, melukai Chester? Aku kembali gemetar, tidak siap melihat satu orang lagi terluka. Aku beberapa kali menelan ludah.
Yuma sekali lagi melangkah mendekati Chester. Langkahnya percaya diri, bukan seperti Yuma yang aku kenal, lagi-lagi auranya berubah. Yang tadi seperti korban kekerasan, sekarang sudah seperti pelaku kejahatan. Benar-benar mengerikan.
"Tidak jangan dekati aku. Mundur sekarang juga. AKU BILANG MUNDUR!" Chester menodong-nodong kan revolver nya, menakut-nakuti. Yuma tidak menghiraukannya, ia terus mendekat. Chester merangkak mundur, hingga punggungnya menempel pada almari yang ku jatuhkan tadi.
"Katanya kau tidak segan menembak kami dengan revolver mu itu. Kenapa sekarang kau diam saja? Ayo tembak." Yuma menambahi. Mungkin dia sudah hilang akal atau bagaimana aku tidak mengerti.
"Baiklah kalau itu mau mu, makan ini." Chester menembakkan peluru, sayangnya peluru itu meleset, ia mencoba menembak lagi, namun tidak ada peluru tersisa. Ia hanya menarik pelatuk dari revolver kosong. Yuma tertawa terbahak-bahak.
"Mana pelurunya? Kok nggak ada yang kena? Nah sekarang giliran kita ya." Aku menambahi. Yuma menoleh ke arah ku.
"Biarkan saja, Ran. Dia suah tidak bisa apa-apa." Yuma kembali duduk diatas ranjangnya. Aku bersandar pada dinding. Chester masih terduduk di lantai. Hujan diluar semakin deras, menghalangi pandangan, suhu menurun, membuatku menggigil. Hari sudah mulai sore, hujan belum berhenti juga. Kami bertiga masih terjebak di markas kecil ini. Kami tidak bisa keluar, kami tidak boleh basah terkena air hujan, kalau tidak kami bisa terkena hipotermia.
Sudah berjam-jam kami berdiam dalam markas anak buah Austin. Semoga saja mereka tidak kembali kemari. Namun selang beberapa menit kemudian, hal yang aku hindari terjadi juga. Diluar terdengar suara kendaraan bermotor, mereka hendak menjemput Yuma, yang mereka tinggalkan tadi. Begitu Chester mengetahui ada yang datang, ia langsung berteriak-teriak minta tolong, menggedor pintu. Aku dan Yuma saling tatap, tidak ada jalan keluar lain. Tidak mungkin untuk keluar dari jendela, teralis jendela itu terpasang kokoh sekali, tidak ada alat untuk membukanya. Orang-orang diluar berusaha mendobrak pintu, tapi tidak bisa. Sepertinya almari itu benar-benar memblokir pintu.
"Chester mundur, menjauh-lah dari pintu, bersabarlah, aku akan cari cara." Aku kenal suara itu, suara menyebalkan itu keluar dari mulut yang tidak lain adalah George, ia yang menahan kami di markas besar para iblis ini. Chester tidak mau menjauh dari pintu, sebaliknya ia malah makin menempel pada pintu itu.
DHUAAAAR!!
Bom meledak, menghancurkan pintu dan tembok-tembok disekitarnya, Chester terkena ledakannya, nyawanya sudah tidak bisa diselamatkan. Aku tertahan, tidak percaya dengan yang barusan kulihat, begitu juga dengan Yuma. Mulutnya menganga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wake Me Up (Buku pertama dalam serial ini)
AdventureKami 4 orang siswa-siswi SMA tiba-tiba terlibat dalam peperangan. Awalnya kami hanya tersesat, namun setelah kejadian hari itu, semuanya berubah. Awan yang tadinya cerah berubah jadi gelap, wajah gembira berubah jadi suram. Ada sesuatu yang janggal...