3. Sebuah Nama

5 1 0
                                        

"Ha!" Rhevan tersentak.

Sita dan Cahaya ikut terperangah mendengar seruan Rhevan. Lain halnya dengan Cahaya yang berusaha tenang memosisikan dirinya, Sita justru menepuk lengan Rhevan spontan. Rhevan sedikit terkejut dengan apa yang dilakukan Sita terhadapnya.

Bukan main tenaganya, cewek ini benar-benar deh. Rhevan mengernyit ke arah Sita yang masih berkicau menasihati dirinya.

Dengan berat hati Rhevan menuruti permintaan Sita untuk mengantarkan gadis yang kurang dikenalnya ini. Bukan karena Rhevan tak ingin berbaur dengan teman sekelas yang sudah melewati satu semester itu. Namun, Rhevan memang cenderung fokus pada teman-teman dekatnya saja. Rhevan juga tak terlalu memerdulikan hubungan antara anak laki-laki dan anak perempuan di sekolah.

Meskipun begitu, tak jarang anak perempuan yang memperbincangkan dirinya. Bahkan sampai-sampai beberapa kali dirinya ketir-ketir menanggapi pernyataan suka dari lawan jenis. Hanya Sita yang dia anggap netral, hal ini karena dirinya sudah mengenal Sita sejak jenjang sekolah dasar.

Rhevan menaiki motor sportnya telebih dahulu lalu menyuruh gadis yang tengah mematung di depannya untuk naik. Rhevan berusaha tak acuh dengan kicauan yang terus bersaut di belakangnya.

"Bisa, nggak?"

Gadis yang berada di depan Rhevan hanya bergeming selama sepersekian detik mendengar pertanyaan Rhevan. Rhevan membuka kaca helmya dan gadis di hadapannya pun mengangguk lalu mencoba naik. Rhevan kembali menutup kaca helmnya dan memandang ke arah depan.

Ketika Rhevan mendengar suara rintihan, ia kontan bertanya pada sumber suara.

"Bisa, nggak?" Pertanyaan yang sama yang dilontarkan kali kedua.

Gadis itu hanya mengangguk, sedikit tergambar sebuah keragu-raguan pada gadis itu, Rhevan yang merasa tak enak segera turun dari motornya, menegakkan standard motor.

"Coba lihat." Rhevan mengatakan dengan intonasi yang sedikit menekan sampai-sampai Cahaya menduga bahwa cowok di hadapannya sekarang sedang kesal.

"Co-ba, lihat," kata Rhevan kembali, dengan intonasi yang sedikit lemas dan diayun.

Cahaya menjinjing roknya, sedikit demi sedikit. Rhevan memerhatikan kain rok itu sambil sesekali melirik ke arah Cahaya, tebersit di pikiran Rhevan bahwa gadis itu sedang menahan sakit—benar saja, dari luka yang tercetak di betis gadis itu sepertinya kulitnya teriris sesuatu ; seperti butiran aspal, hal lain adalah warna lebam biru keunguan.

"Lo abis berantem sama jalan?" Pertanyaan Rhevan membuat Cahaya terperangah, sedikit menarik bibirnya : menahan tawa.

"Jatuh ... saat main bola basket."

"Lapangan halus." Cahaya sedikit tercenung dengan kata-kata singkat yang diutarakan oleh Rhevan. Kata-kata itu membuat dirinya sedikit berpikir keras. Namun, di sepersekian menit ia berpikir, ia memahami apa yang diucapkan Rhevan terhadapnya.

"Jatuhnya saat mengejar bola yang lari ke halaman depan sekolah."

Mendengar pernyataan gadis itu Rhevan terkekeh. Ya, memang benar, halaman depan sekolah terbuat dari paving block yang ditata sedemikian rupa. Tidak heran kalau luka yang dihasilkan akan seperti itu.

"Sebentar." Rhevan mengambil sesuatu dalam tasnya—kotak putih kecil yang di dalamnya terdapat inhaler, obat anti masuk angin berbentuk sachet, dan obat luka juga sebungkus plester luka.

Rhevan mengambil obat luka dan mengambil plester serta sapu tangan yang biasa ia bawa ke mana-mana. Terkadang ia main-mainkan.

Saat Rhevan menuangkan obat luka ke sapu tangan, hendak membasuh luka Cahaya, gadis itu menjauhkan kakinya.

"Tenang aja, nggak sakit kok."

Lagi, Cahaya melakukan hal yang sama.

"Sapu tangan ini nggak buat upil gue," seronoh Rhevan, manik matanya kini bertubrukan dengan punya Cahaya. Namun, Cahaya hanya diam seribu bahasa, ia melempar pandangan ke lain arah.

"Nggak lucu, ya? Oke." Rhevan mulai membasuh luka Cahaya dengan sapu tangannya. Meskipun Rhevan melakukannya dengan amat hati-hati, Cahaya masih merasakan nyeri, dan perih yang menyengat. Rhevan melirik ke arah Cahaya, berdesis, seperti ikut mersakan sensasinya.

Lagi, Rhevan mencoba sedikit menekan sapu tangan yang telah tercetak cairan obat luka ke kaki Cahaya, kali ini ia menekan di luka goresan yang sedikit lebih parah dibandingkan yang lain. Melihat Rhevan bergeming membuat Cahaya merasa lebih canggung dari sebelumnya, akan tetapi mulutnya masih tercekat.

"Diem bae, ngomong apa sih." Suara dari Rhevan menggugah lamunan Cahaya.

"Nama?"

"Heh?" Cahaya berjengit, ia ragu dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh orang yang berada di hadapannya kini.

"Nama?"

"Ca—Caya, Cahaya Zenithia," kata Cahaya lirih. Namun, Rhevan masih mendengar suara Cahaya.

"Oh, gue Rhe."

"Rhe ... Rhe?"

Mendengar kata itu membuat Rhevan mengalihkan pandangan dari Cahaya.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, kata yang hilang bertahun-tahun ; hampir tenggelam ke dasar : terlupakan. Muncul kembali ke permukaan, bersamaan dengan orang asing.

RELEVAN [Teen-fict]Where stories live. Discover now