"Oi, Ros, aku nggak ke rumah, ya, mau pulang aja. Mau tidur." Rhevan kontan mematikan sambungan telponnya secara sepihak. Ini adalah kebiasaanya, menelpon tanpa ingin dibalas. Di seberang sana Rosi hanya mengangkat tanpa melekatkan gawainya ke telinga.
Sayangnya, yang paling membuat Rosi selalu merasa tidak tenang adalah alasan Rhevan yang terdengar klise dan tak masuk akal. Namun Rosi enggan menelpon kembali, ia tahu benar jika ia melakukan hal demikian maka itu adalah sebuah kesia-siaan. Alhasil, ia hanya melanjutkan pekerjaannya di depan layar monitor.
Kemudian, terdengar dering yang berasal dari gawainya: ia melirik nomor yang tertera di latar ponselnya, sebelum ia menyambarnya dengan lekas.
"Ya, Halo." Rosi menampakkan wajah sedikit termenung, ia mendongak ke langit-langit, ber'hmm' ria sebelum akhirnya membalas perkataan yang berasal dari orang di seberang sana.
"Okay, no problem, i will go there!" Sambungan telpon pun diputusnya.
Sementara itu, Rhevan yang berjalan sendiri ke lokernya tiba-tiba berpapasan dengan seorang gadis yang sama, yang tadi pagi tak sengaja bertemu dengannya. Gadis itu mendekatinya, dengan wajah yang tersembunyi di balik rambutnya, ia sedikit menunduk.
Rhevan yang penasaran menengok, menurunkan kepalanya sedikit lebih rendah. Dengan lesat Rhevan berdiri tegap kembali.
"Maaf, bisa bicara dengaku sebentar?"
Rhevan mendengkus, kemudian berkacak pinggang, di sepersekian detik ia memalingkan wajahnya ke sisi lain, kemudian berbalik ke arah gadis yang sekarang tengah berdiri di hadapannya.
"Apa," jawabnya singkat.
Cahaya. Gadis yang sekatrang berdiri di depan Rhevan ini sedikit gemetar karena intonasi Rhevan yang sedikit menghentak, membuat dirinya menyangka Rhevan memang marah terhadapnya.
"Cepet." Lagi, kata itu membuat jantung Cahaya berdesir.
"Ka—kamu ngelakuin apa?"
"Hah? Maksudnya?"
"Lukaku, sembuh ketika aku pulang untuk membersihkannya, saat di jalan kau mengantarkannku juga luka itu tak terasa lagi."
"Bukan apa-apa," balas Rhevan sambil melangkah ingin pergi dari gadis itu, ketika sedang dalam perjalanan melintasi gadis itu, kontan sang gadis menggamit lengan Rhevan membuat ia terkesiap.
Cahaya kembali sadar dengan perbuatannya dan langsung melepaskan pegangannya dari lengan Rhevan.
"Ma—maaf, aku tak sengaja."
"Bye." Dengan santainya Rhevan melenggang meninggalkan gadis yang masih memerhatikan langkahnya.
Di sekian langkah Rhevan menjaraki gadis itu, ia membalikkan badannya. Saat Rhevan melihat gadis itu tengah menunduk, Rhevan menghembuskan napas lalu berkata, "Syukurlah, lo baik-baik aja, sekarang." Rhevan kembali melanjutkan langkahnya.
Di belakang Rhevan, gadis yang di permulaan Rhevan memulai kalimatnya menegapkan kepalanya, sekarang menyunggingkan senyum kala Rhevan menuntaskan kalimatnya. Meskipun dirinya tak tahu bagaimana lukanya bisa sembuh seketika, ia penasaran, tetapi enggan untuk menanyakannya kembali. Cahaya memilih mencari tahu sendiri atau biarkan orang yang menyelamatkannya itu menceritakannya sendiri, suatu hari nanti.
***
Ingatkah pada hari itu? Kamu menyelamatkanku dengan sapu tangan biru yang masih tergenggam padaku kini, entah sampai kapan, ku memberanikan diri untuk mengembalikannya padamu.
YOU ARE READING
RELEVAN [Teen-fict]
Teen FictionRhevan adalah seorang anak remaja yang ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak kecil. Sesuatu keanehan mencuat dalam dirinya, ia mampu membagi sesuatu yang berasal dari dalam tubuhnya. Rosi disebut-sebut sebagai pengasuh Rhevan adalah seorang mahasi...