4. Limbung

6 1 0
                                        

"Aku ingin kau mengetahui, setidaknya sedikit mengerti. Hati ini telah kosong selama bertahun-tahun. Tak ada yang bisa digali, pun tak ada yang bisa mengisi. Jadi, mengapa aku harus berlama-lama di sini?

Jika kau memberikanku satu permintaan. Maka aku akan meminta : tolong, berikan aku tujuan, maka aku akan hidup seribu tahun lagi di dunia ini."

II

Di perjalanan menuju rumah Rosi, Rhevan melihat banyak orang yang berkerumun. Beberapa orang menepikan korban beserta motor yang telah ringsek. Korban adalah sepasang suami-istri, sang suami sedang berdebat dengan si pengendara mobil yang menabrak mereka berdua, sedangkan sang istri tengah tergolek di pinggir jalan yang sebagian orang juga tengah mengeruminya.

"Saya tidak peduli. Saya harus membawa istri saya ke rumah sakit. Siapa saja tolong panggilkan ambulans," kata sang suami yang diselimuti rasa panik, suaranya parau, keringat mengucur dari pelipisnya.

"Cepat panggil ambulans, kau harus bertanggungjawab atas semua ini," tukasnya kepada sang pemilik mobil yang tergagap panik.

Rhevan tak terlalu memerdulikan dua orang yang sedang berdebat dan sekelompok orang yang berusaha menengahi keduanya. Baginya, ikut campur dengan urusan seperti itu hanya buang tenaga, lebih baik mencari cara yang lebih efektif ketimbang adu mulut yang malah menghabiskan banyak waktu. 

Rhevan melihat sang istri yang masih tergolek, wajah sang istri tampak pucat. Rhevan segera mendekatinya, ketika jarak yang memisahkan antara dirinya dengan seorang wanita paruh baya yang masih tergolek itu tertebas, ia meletakkan jarinya di pusat nadi tubuh yang tergolek itu. Ia terperangah, denyutnya sangat lemah. Di sepersekian detik pandangannya mengarah kepada sang suami yang masih berdebat hebat dengan si pengendara mobil.

Tak ada pilihan, Rhevan berkata dalam hati.

Rhevan memejamkan mata, memegang pusat nadi di pergelangan tangan tubuh perempuan paruh baya itu. Beberapa detik kemudian, napasnya mulai berembus, perempuan itu membuka matanya perlahan lalu memanggil sang suami. Sang suami yang mendengar samar suara istrinya kontan mendekat. Rhevan beranjak, lekas-lekas berlari menuju motornya yang terparkir sembarang di tepi jalan. Kemudian, ia melajukan motornya, meninggalkan kerumunan.

***

Rhevan sampai di rumah Rosi yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya. Dengan malas ia membuka pintu lalu masuk. Rosi adalah teman masa kecil Rhevan ; lebih seperti pengasuh. Mereka sudah biasa tinggal sendiri, Rhevan mengunjungi rumah Rosi lantaran Rosi yang meminta, sedangkan Rosi lebih banyak ke rumah Rhevan sekadar iseng atau tanpa alasan. Umur Rosi dan Rhevan selisih empat hingga lima tahun dan Rosi sedang mengenyam pendidikan pascasarjana.

Rhevan melihat Rosi yang tengah berada di depan layar monitornya, tangannya lihai menggerakkan tetikus, Rosi yang mendengar suara langkah Rhevan kontan menegur dan menyuruh Rhevan untuk berada di dekatnya.

"Apa?" tanya Rhevan singkat.

"Lama," ketus Rosi pada Rhevan.

"Ya, maaf, aku kan ngaret, kayak baru pertama kenal aja." Rhevan menyengir, bibirnya yang tipis tertarik, menampakkan susunaan giginya yang rapi dan putih.

"Bentar, mau ngambil minum dulu. Haus." Rhevan berbalik ke arah pantry yang terletak di seberang meja kerja tempat Rosi berada. Pantry itu agak tertutup oleh bookshelf dan display rack.

Rhevan yang masih berjalan dengan meneguk botol berisi air mineral berjalan mendekati Rosi.

"Berhenti melakukan 'hal itu' lagi." Mendengar hal itu, Rhevan tersentak, tesedak, terbatuk-batuk. Rhevan membasuh air yang tak sengaja mengalir melalui celah bibir dengan kain jaket yang menutupi punggung tangannya.

"Kenapa?"

Rhevan menaruh botol yang sedari tadi dipegangnya ke meja di belakang komputer depan Rosi berada.

"Berbahaya! Kau semakin melemah, jika begini terus umurmu akan semakin pendek," tegas Rosi.

"Kenapa? Tak ada alasan lagi untukku berlama-lama di sini," jawab Rhevan enteng, "aku mau ke perpus, seminggu lagi ulangan Bu Sis, dia akan memberikan ulangan khusus lagi untukku karena meracau di kelasnya." Rhevan membalikkan badan, melenggang, menjauhi Rosi.

"Woi, Rhevan!" seruan Rosi tak dipedulikan, hingga beberapa langkah yang ditempuh saat menjaraki Rosi, dentuman hebat datang di kepalanya, Rhevan mengerutkan muka, mulutnya menganga menahan sengatan yang tak tertahankan yang sekarang menguasai isi kepalanya sebelum akhirnya limbung.

"Rhevan?!"

RELEVAN [Teen-fict]Where stories live. Discover now