5. Janji-janji

5 1 0
                                    

"Tak ada yang lebih sakit, daripada hati yang tersayat melihat orang yang disayangi tertimpa kejadian pahit. Kemudian, prasangka-prasangka datang tanpa permisi, tak mau pamit ."

Rhevan mengerjapkan mata, sengatan cahaya yang menusuk masuk manik matanya membuatnya ingin menangkap cahaya itu. Selama beberapa menit pandangannya masih kabur, selaput pudar masih mendominasi. Ketika Rhevan sudah bisa menangkap gambaran yang ada di depan matanya, ia kontan berseru.

Rosi. Dirinya sedang berdiri berhadapan dengan pria yang sebagian rambut dan jenggotnya telah beruban. Pria itu mengenakan pakaian serba putih dengan briefcase terjinjing di tangan kanannya. Rosi terperangah dengan seruan samar, parau dari orang yang tengah terbaring di ranjang, beberapa meter jaraknya dari mereka berdua.

Rosi menoleh ke arah sumber suara setelah seruan yang ke tiga dari Rhevan.

"Ampe tujuh, baru aku ke sana." Rosi mengacungkan telunjuknya ke arah Rhevan.

Sial! Ini beneran kagak bisa gerak, dong. Dia ngasih anestesi, ya? Rhevan hanya bisa menggerutu dalam hati.

"Ro ... SHI!"

"Ih, nggak sabaran banget, deh." Rosi yang sudah kesal, segera menuju ke arah Rhevan. Ia menyudahi percakapannya dengan sang dokter, sang dokter pun berlalu melintasi ambang pintu ditemani pembantu Rosi.

"Kau? Ini? Anestesi?"

"Ngomong yang bener dulu," ucap Rosi, sambil mengulurkan tangan, melekatkan telapak tangannya di dahi Rhevan, sedangkan mata Rhevan yang memerhatikan gerak tangan yang terulur itu, segera menutup ketika tangan itu tepat melekat di dahinya."Demammu masih tinggi, tidur lagi, ya."

Rhevan tak dapat berkutik, tubuhnya lemas, ia kembali menutup matanya.

Rosi memerhatikan orang yang sekarang telah terdiam, napasnya kembali stabil. Hanya saat-saat inilah dirinya bisa melihat seseorang yang telah dianggap seperti adik kecilnya sendiri itu bisa tenang. Kejadian ini merupakan kejadian yang amat langka yang pernah dilihat oleh Rosi. Ia tak bisa membayangkan hari-hari ketika bertukar kehidupan dengan anak laki-laki yang berada di hadapannya kini.

Rosi duduk di ranjang di sebelah Rhevan, ia memerhatikan bulu mata Rhevan yang panjang. "Cantik. Kapan-kapan aku dandanin, atau jadiin kamu pagar ayu, ya, Rhevanku." Rosi yang tengah memerhatikan Rhevan dengan dagu bertopang, sedikit terkekeh.

"Van?" Rosi kembali berseru pada Rhevan yang masih bergeming, "kalau aku sama dia, kamu bagaimana? Siapa yang akan menjagamu? Kamu susah makan, siapa yang akan memaksamu untuk makan?" Rosi mengalihkan pandangan ke langit-langit kamar itu, air mata sudah ingin tumpah, kelopak matanya tak kuat lagi membendung.

"Kamu sudah janji kan? Kamu janji bakal bareng sama aku terus, kamu janji akan mengajari anakku, kan?" Rosi menggigit sudut bibirnya, wajahnya sedikit berkerut, sedangkan air matanya sudah menganak sungai di pipinya. Ia tertunduk, air matanya jatuh ke seprai, sapuan tangannya tak bisa mengalahkan derai air matanya.

"Rhe—van."

Di dalam kamar yang lengang itu, hanya isak tangis dan sesegukan yang mengisi nyenyat kamar. Rosi tak kuasa menahan semuanya, semua rasa dan prasangka yang sewaktu-waktu bisa terjadi di antara mereka berdua.

Bertahun-tahun mereka bersama, Rhevan anak yang kuat bagi Rosi, dalam arti ia tak pernah ingin merepotkan orang lain, bahkan untuk sekadar bercerita tentang hari-harinya di sekolah. Rosi sudah nyaman dengan Rhevan berhubung orang tuanya juga sudah menganggap Rhevan sebagai anak kandung sendiri. Namun, saat Rhevan menduduki kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia lebih memilih tinggal di rumah kosong peninggalan orang tuanya yang letaknya tak jauh dari rumah Rosi.

Rumah itu sebenarnya adalah rumah kontrakan awal kedua orang tua Rhevan bernaung. Oleh karena bisnis orang tua Rhevan yang memuncak, dengan cepat keluarga Rhevan pindah ke tempat yang lebih baik. Beberapa tahun setelah pindah rumah, tepatnya ketika Rhevan lahir rumah kontrakan itu dan lingkungannya telah disulap oleh pengembang perumahan (Developer) menjadi perumahan elit. Kedua orang tua Rhevan yang mengetahui hal itu segera membeli salah satu rumah yang dirasa posisinya tepat dengan rumah kontrakan mereka dulu.

Akhirnya, dengan kesepakatan bersama kedua orang tua Rhevan membeli rumah itu sebagai aset dan sekarang menjadi tempat tinggal Rhevan.

***

Beberapa waktu berlalu, air mata Rosi telah mengering walaupun lamunannya masih melekat, ia tersadar ada tugas yang harus segera diselesaikannya. Rosi beranjak dari ranjang tempat Rhevan berbaring. Rosi merapikan selimut Rhevan dan melangkah menjauhinya, keluar dari kamar itu. Pintu yang sebelumnya dibukanya, kembali ditutup.

Rhevan membuka matanya, menatap langit-langit, lesat melirik ke arah pintu yang sudah tertutup itu. "Aku baik-baik aja, Ros. Aku ingat kok," ungkapnya dengan intonasi yang lirih dan suara yang masih parau.

RELEVAN [Teen-fict]Where stories live. Discover now