Langitku.

8 1 0
                                    

Lembayung senja yang perlahan terlihat oleh Lucio menawarkan kelelahan yang tampak di wajahnya. Mentari yang terbenam membuat pemuda itu diam sejenak dan menikmati keindahannya. Ia sedang berada di ladang gandum dengan gemerlap cahaya kunang-kunang yang baru tiba dari hutan. Keinginannya untuk bertemu dengan Lucia pemuda itu tahan sebentar lagi. Memang Lucio senang sekali akan bagian dari dirinya yang selalu mendukung dan mempertahankan harga dirinya menyadari rasa cinta milik pemuda dingin ini. Tapi ia juga senang karena kakaknya yang lembut sudah lama mengharapkan rasa cinta gadis manis berparas bak bunga sakura ini akhirnya dimengerti oleh adiknya sendiri. Lega tapi juga rasa sayang karena harus mengalah pemuda dingin itu rasakan pahitnya. Tapi bagaimana pun juga itulah yang terbaik. Membiarkan Kak Lein bahagia dengan Lucia. Rasa sayang Lucio pada Lucia juga perlahan akan hilang. Begitulah pikirnya. Pemuda shy shy cool ini lebih mendewasakan dirinya padahal umurnya masih sepantaran dengan Lucia. Ia merasa kakaknyalah yang berhak bahagia dengan Lucia sang adik kandungnya sendiri. Dilema dalam kasus brother complex seperti ini memang seringkali dirasakan oleh orang yang sepantar dengan gadis yang disukai. Meski begitu, saat matahari terbenam dan langit mulai menunjukkan galaksinya Lucio tetap beranjak menemui Lucia. Menatap lurus ke arah langit seraya tak ingin menyesali keputusannya tetap berada di samping Lucia meskipun perasaan sukanya terhapuskan. Langit yang indah hari ini. Jingga dan biru. Lucia yang baru saja dari tempat konser terburu-buru ingin menghampiri kakaknya. Tapi ia teringat akan janji dengan Lucio. Gadis manis nan anggun ini pun bergegas ke ladang gandum tempat Lucio juga berjalan menghampiri Lucia. Saat sampai di sana Lucia kaget karena melihat pemuda dingin itu sedang menyiapkan kata-kata dengan menggenggam kertas musik dengan gentle-nya. Lucia tersipu, tapi gadis itu memberanikan diri untuk bertanya pada bagian dari dirinya sendiri. Karena senyuman gentle yang terpasang di bibir Lucio.
"Umm... Lucio? Sedang apa di sini?"
"Aku sedang menyiapkan kata-kata. Tidak lebih dari itu."
"Oh kukira Lucio sedang melamun. Aku senang Kamu masih di sini."
"Apa Aku mengganggumu Lucia?"
"Tidak sama sekali Lucio."
"Heee... Terima kasih Lucia."
"Sama-sama Lucio, ngomong-ngomong belakangan ini kita jarang bertemu ya?"
"Iya Lucia, karena itu selamat ya Kakakmu sudah lama mengharapkanmu. Aku tidak bisa merusak hubungan kalian jadi Aku mengerti dan perasaanku padamu tolong dihapuskan saja Lucia."
"Hah? Lucio bagaimana Kamu mengetahuinya padahal Aku yang merahasiakannya supaya Kakakku mengerti tentang perasaannya."
"Aku paham betul tentang brother complex Lucia, Akulah yang harusnya mengalah karena cinta tak bisa dipaksakan dan ditahan sekuat mungkin, Kakakmu dulu menderita sekali karena menahan rasa cintanya. Terlihat jelas dari rona wajahnya."
"Tapi Kamu dewasa sekali Lucio. Padahal Aku juga tahu Kamu ada rasa padaku, tapi Kamu malah memilih mengalah karena Kakakku lebih mati-matian menahan perasaannya sendiri padaku. Aku mengerti. Terima kasih telah sempat menyukaiku walau sedikit Lucio."
"Sekarang Aku akan mulai menghapuskan perasaanku padamu diriku. Walau perih tapi tak apa."
"Benarkah itu?"
"Iya, Aku sudah membulatkan tekad untuk mengalah dari Kak Lein."
"Jadi itu maksud janji kita bertemu di sini? Langitnya indah ya!"
"Benar sekali, langit hari ini benar-benar indah."
"Andaikan saja Aku membawa kertas musik pasti membacanya di sini memiliki nuansa yang baik."
"Kamu mau meminjamnya Lucia?"
Pemuda dingin dan gentle itu perlahan memberikan lembaran kertas musiknya kepada gadis anggun berparas bunga sakura itu. Senyuman tipis dari sang pemuda membuat gadis itu tak yakin apakah ia bisa meminjamnya atau tidak, tapi yang jelas sikap dan pembawaan pemuda dingin yang dewasa itu membuat pandangan sang gadis berubah 180°. Lucia tak mengganggap Lucio seorang pemuda sepantar yang memiliki rasa padanya, akan tetapi lebih seperti pria gentle yang dingin namun lembut seperti pangeran.
"Bolehkah Aku meminjamnya sebentar Lucio?"
"Tentu saja."
"Aku tersanjung karena Kamu sudah berubah secepat ini Lucio. Kamu sangat dewasa sekarang padahal umur kita sepantar."
"Tidak juga, biasa saja."
Pemuda dingin itu lanjut memandang langit. Warna jingga yang perlahan memudar berganti dengan hamparan bintang-bintang. Rasi bintang yang terbayang di tengah hamparan langit malam mulai bisa ditangkap oleh mata. Scorpio, Leo, Cancer, Gemini, Virgo, Sagitarius, dan rasi bintang lainnya menghiasi keindahan langit malam ini. Apakah ada yang tahu rahasia langit? Itu tidak mungkin karena hanya yang Mahakuasa saja yang dapat mengetahuinya. Meskipun begitu taburan bintang di atas langit yang indah melengkapi kisah cinta seorang pemuda dingin yang memutuskan untuk menghapus rasa cintanya demi kakak kandung yang sudah lama memendam rasa pada adik kandungnya sendiri. Ironi memang, tapi bagaimana pun juga, perasaan cinta yang sudah lama dipendam lama-kelamaan akan meluap dan meledak-ledak juga. Jadi pemuda dingin itu peduli pada kakaknya dan mundur secara terhormat untuk melepaskan gadis yang satu-satunya ia cintai. Sungguh tindakan yang mengejutkan jika dilihat dari berbagai pihak. Namun, keputusan pemuda dingin ini patut diacungi jempol karena tingkat kedewasaannya yang sudah melebihi umurnya. Sambil terus menatap langit malam yang dipenuhi bintang, pemuda dingin itu tersenyum tulus. Baginya langit malam dan ladang gandum adalah tempat yang damai. Sangat rasional jika pemuda dingin itu lebih menjauhi gadis yang ia cintai untuk sementara. Lagipula mereka sudah jarang bertemu. Lucio berdehem. Menghempaskan napasnya karena dingin menusuk tulang. Rasi bintang yang dilihatnya sungguh indah untuk dinikmati. Kembali, langit malam telah menghibur dan mengobati hati sang pemuda yang sangat dingin.

DimensikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang