Musikku.

9 1 0
                                    

"Lho? Kertas musikku ini kenapa ada lagi di mejaku? Aneh..." Lucia yang esoknya datang awal juga pun telah mendapati kertas musiknya tersimpan rapi di atas mejanya. Ia yakin pasti ada seseorang yang sengaja datang lebih dahulu dan mengambilkannya. Tapi kenapa hanya miliknya yang selalu diambil?
"Oh itu mungkin ada yang suka padamu lalu memberikan perhatian lebih? Biasanya di cerita-cerita seperti itu. Romantis sekali!"
"Tapi kenapa hanya milikku?!"
"Entahlah, tapi yang jelas Aku juga ingin mendapat perhatian seperti itu. Sangat romantis dan manis." Temannya yang sering membaca novel menuturkan pendapatnya mengenai kejadian yang esoknya pun terjadi pada Lucia.
"Siapa pun yang menaruh kertas musik ini terima kasih."
Lucia bingung namun yang pasti salah satu diantara temannya ada yang memberinya perhatian lebih. Esoknya dan lusanya juga terjadi hal yang sama. Lucia menjadi tidak enak hati. Namun yang pasti, ia sangat berterima kasih. Sampai akhirnya...
"Permisi Bu, saya mau mengambil kertas musik milik Lucia Lawliet."
"Oh masuk saja, tiap hari Kau rajin ya mengambilkannya untuk gadis itu."
"Tidak juga, biasa saja Bu."
"Kertasnya ada di sebelah kanan Lucio, Ibu paham Kau suka padanya."
"Tidak Bu saya biasa saja."
"Tapi selalu datang paling pagi dan mengambil kertas musik untuk seorang gadis itu tindakan spesial lho! Ibu suka keteladananmu."
"Benarkah itu Bu? Terima kasih." Lucio yang dipuji seperti itu tersipu malu dan tersenyum simpul.
"Sama-sama, Lucio."
Saat keluar dari ruang guru sambil membawa kertas musik, Lucio berpapasan dengan Lucia yang datang lebih pagi dari kemarin. Gadis itu orang kedua yang datang. Lucia kaget karena ternyata Luciolah yang selama ini membawakan kertas musiknya. Ia mencegat Lucio.
"Bagaimana bisa diriku Kau yang membawakan kertas musikku setiap hari? Aku kaget."
"Apa itu mengganggumu Lucia?"
"Bukan mengganggu sih, tapi..."
"Hmm?"
"Tapi... Aku merasa spesial." Lucia menundukkan kepalanya dan malu lantaran sang pangeran akademi teladanlah yang membawa kertas musiknya. Ia berusaha tidak tersipu.
"Begini saja, banyak orang menembus dimensi dan melampaui ruang dan waktu untuk mengorbankan haknya dan peduli pada orang lain. Seperti birama 1/4, 2/4, 3/4, 4/4, 5/8, 6/8, 7/8, 9/8, dan 12/8. Polanya memiliki keteraturan."
"Tapi tindakan seperti itu membuatku terkejut bukan main, aku hanya ingin berterima kasih."
"Hmm, apa yang Kau maksud Lucia?" Sambil mengelus-elus belakang kepala dan merapikan rambutnya, kakinya ia silangkan salah satu supaya tidak gugup. Lucio yang menunjukkan ketertarikan pada Lucia mengalihkan pandangan dan pipinya memerah. Khas seorang pria yang sedang jatuh cinta.

Bagaimana ini? Deg! Jantungku masih belum mau bersahabat denganku. Menghadapi gadis anggun ini di pagi hari?! Deg... deg... deg... Sial!

"Maksudnya Aku berterima kasih karena sudah dibawakan kertas musik. Aku merasa senang." Lucia mengatakannya dengan malu.
"Lucia senang hanya dengan ini?"
"Iya, Aku senang."
"Baguslah, padahal ini hanya tindakan kecil bagiku."
"Apa maksudmu?"
"Ya, Aku bisa melakukan hal yang lebih spesial lagi untukmu Lucia."
"Hahaha tidak usah begitu santai saja! Aku senang kok."
"Suatu kehormatan bagiku, Lucia."
"Anak teladan memang beda ya!" Lucia tersenyum semangat dan menatap Lucio jernih. Namun, Lucio segera memalingkan muka dan menutupi wajahnya.
"Lucio? Kau kenapa?"

Ya ampun! Aku tidak bisa menjawab pertanyaan gadis anggun ini. Deg! Mengapa jantungku masih kacau? Deg... deg... Gawat mukaku memerah.

"..."
"Lucio sakit?"
"A-Aku hanya mengelap mukaku yang berkeringat."
"Oh syukurlah Kau tak apa."
"Mengenai jadwal konser hari ini Aku harus buru-buru, Lucia. Maaf jika kita tidak bisa pulang bersama."
"Tenang saja, Aku bisa pulang sendiri kok! Lucio makin sibuk ya."
Lucio yang masih menutupi wajahnya mengangguk pelan dan segera berjalan ke arah meja Lucia untuk memberikan kertasnya. Lalu, pemuda dingin itu mengeluarkan buku dan mulai menulis, ia menulis not lagu. Belakangan ini pangeran akademi yang teladan ini senang menulis not lagu. Lalu saat jam pelajaran usai dan Lucia juga ingin bersiap pulang dari tempat konsernya, di tengah hujan, dibalik pintu utama gedung konser, telah berdiri seorang pemuda gentle yang lembut sambil membaca buku rumus. Kakaknya Lucia sedang bersiap menghadapi olimpiade berikutnya. Dengan topi terbaliknya, ia sudah dikenal sebagai juara bertahan di banyak olimpiade. Kali ini jenis olimpiade matematika. Dengan payung beningnya, sang kakak setia menunggu Lucia sambil membolak-balik buku rumus, benar-benar jenius. Banyak temannya yang kalah.
"Wah hujan deras! Bagaimana Aku pulang nih... Berlari saja deh."
"Sudah kuduga selalu saja Kau lupa membawa payung, Dik."
"Kakak? Mengapa Kakak di sini? Sudah kubilang Aku bisa pulang sendiri. Bagaimana kalau menggangu olimpiade Kakak nanti?"
"Tenang saja, terakhir Kakak sudah bilang akan menunggumu sampai hujan reda Dik!"
"Tapi Aku merasa aneh. Waktu itu Aku tidak bisa datang ke kelulusan Kakak. Sekarang mengganggu olimpiade Kakak. Adik yang buruk."
"Tak apa, bagaimana pun juga Kakak akan menunggu sampai hujan reda. Lagipula Kau bisa memanggil Kakak dengan nama saja kalau canggung Dik. Itu lebih baik."
"Tidak canggung kok, Kak!"
"Yasudah, ini."
"Biskuit dan susu coklat lagi? Kakak sengaja membawanya ya?"
"Susu coklatnya masih hangat kok, iya Kakak biasa membawanya karena adikku ini suka lapar habis konser selesai dan waktu kecil Kau suka sekali makan ini."
"Terima kasih Kak."
"Kenapa Dik? Kau murung hari ini. Tidak seperti biasanya."
"Eh? Terlihat begitu ya?"
"Iya Dik, ikut Kakak yuk ke cafe milik teman Kakak. Mood-mu mungkin akan membaik jika ke sana."
"Kakak lembut sekali sih."
"Hahaha, apa sebegitunya Dik?"
"Iya Kak, kelembutan Kakak, sangat kurindukan."
"Dik, mengertilah sedikit."
"Baiklah, Aku akan mencoba mengerti Kak."
Tidak lama kemudian, mereka telah sampai di cafe milik teman Kakaknya Lucia. Yang aneh dari cafe ini kalau malam hari adalah isinya pasangan semua. Bahkan Lucia sempat dianggap pacar kakaknya oleh teman kakaknya.
"Pacarmu Lein?"
"Hahaha bukan, Dia adikku."
"Oh, kalau begitu selamat menikmati cafe ini. Ada menu baru lho!"
"Wah benarkah? Mantap friend!"
"Silahkan ambil kursi di tempat yang Kau suka, Lein."
"Terima kasih banyak, man."
Karena yang datang pasangan semua, Lucia mulai canggung. Apalagi kalau Lucia mengetahui kabar kalau kakaknya menderita brother complex dan terus menahannya supaya adiknya merasa nyaman berada di dekat kakaknya. Sudah lama adiknya menyadari bahwa kakaknya terlalu menahan diri ketika berinteraksi dengan adiknya karena rasa suka yang ia tahan sekuat tenaga. Akibatnya, hubungan mereka kurang harmonis. Walaupun Kak Lein orang yang lembut, dulu tak jarang mereka bertengkar karena Kak Lein ingin menutupi rasa sukanya pada Lucia. Dan saat pasangan yang datang mulai banyak, mereka sudah selesai makan. Tapi Kak Lein masih beristirahat dan ingin mengobrol sebentar dengan temannya. Saat itu Lucia bimbang.
"Kakak, boleh Aku bertanya sesuatu?"
"Tanyakan saja Lucia."
"Tapi ini menyangkut hal yang sedikit vulgar Kak."
"Memangnya kenapa? Kita sudah dewasa kan?"
"Be-begini, apa Kakak memiliki niat untuk melakukan seperti yang biasa orang p-pacaran atau para pasangan lakukan ke-kepadaku? Karena k-kita disangka seperti pacaran. Misalnya berciuman?" Dengan rona merah di pipi dan mata cookies Lucia memandang kakaknya penuh tanda tanya. Ia merindukan kelembutan kakaknya sehingga sampai menanyakan hal seperti itu.
"Ya ampun Dik, Kau habis ditolak?"
"Bukan begitu Kak, cuma pemuda yang kusuka masih agak dingin padaku, Aku hanya-"
"Hehehe tentang Lucio ya?"
"Jangan menggodaku Kak! Sekarang bukan saat yang tepat untuk bercanda!"
"Tapi buktinya Kau sempat tertawa tadi Dik! Hmffft!"
"Hahaha, Dik, tidak mungkin Kakak melakukan hal seperti itu kan? Lagipula kita ini saudara kandung." Sang kakak meneruskan kata-katanya.
"Iya ya Kak. Maaf."
"Memang Kakak ini menderita brother complex, tapi tidak mungkin Kakak memperlakukanmu sebagai pacar. Sangat tidak terhormat Dik."
"Tapi Aku sering melihat Kakak menahan diri sampai kesakitan."
"Lucia, Kau... Melihatnya?" Tiba-tiba wajah sang kakak menjadi sangat serius. Kak Lein paham akan rasa simpati Lucia yang ingin membuat kakaknya lebih baik sampai sembuh. Adiknya ini bahkan rela dijadikan pelampiasan, tapi karena kelembutan kakaknya, rasa cinta yang membuncah dalam dada kakaknya ini masih bisa ia tahan sekuat mungkin. Tapi tetap saja...
"Iya, Aku sering melihat Kakak merintih dan kesakitan."
"Ya semisal Kau melihat itu lagi, lupakan saja Dik."
"Tapi itu membuat Kakak semakin kasar dan sering bertengkar denganku."
"Ternyata... Kau menyadarinya ya Dik?"
"Iya Kak, ada apa sih Kak sebenarnya? Cerita saja."
"Kau tahu Dik, apa yang Kakak rasakan ini tidak diderita oleh orang kebanyakan. Jujur saja, saat melihatmu saja dada Kakak terasa panas dan jantung Kakak berdetak lebih cepat. Itu membuat Kakak merintih dan kesakitan."
"Sangat parah Kak..."
"Kakak sudah coba ke dokter dan katanya "Anda tidak perlu terlalu menahan diri untuk mencintai adik Anda." Tapi Kakak takut berlebihan dalam menyayangimu Dik."
"Apakah Aku bisa membantu Kakak setidaknya supaya lebih baik? Padahal di sekeliling Kakak banyak teman yang cantik dan supel. Apa Kakak separah itukah?"
"Mau bagaimana lagi? Akhirnya Kakak berakhir dengan mengalihkan perhatian mencari beasiswa dan mengikuti banyak olimpiade Dik."
"Tapi aku ingin menolong Kakak..."
"Hahaha, dokter bilang tidak terlalu menahan diri tapi darimananya kalau sekarang saja Kakak ingin memegang tanganmu, seperti waktu kecil dulu. Nostalgia."
"Boleh kok Kak, kalau itu bisa membuat Kakak lebih baik."
"Kau serius Dik? Brother complex itu kelainan yang cukup parah lho! Bisa saja Kakak menginginkan lebih darimu. Itu tidak mau Kakak lakukan. Bagi Kakak lebih baik menderita saja tapi Kau tidak takut pada Kakak."
"Setidaknya biarkan Aku mengulurkan tanganku sedikit untuk menolong Kak Lein..."
"Benar ya? Kakak sudah memperingatkan akibatnya lho!"
"Dokter saja bilang begitu Kak. Lagipula, memang banyak yang tertarik padaku jadi Aku sedikit merasa bersalah."
"Tunggu dulu, hanya satu pertanyaan saja, apa Kau takut pada Kakak Dik?"
"Tidak Kak, Aku malah kasihan pada Kakak. Aku merindukan kelembutanmu Kak."
"Baiklah kalau begitu, maaf kalau Kakak kasar padamu. Tapi Kakak akan memperlakukanmu selembut mungkin."
Perlahan uluran tangan Lucia diterima oleh Kak Lein. Dada yang mulai memanas dan detak jantung yang berdetak 2 kali lebih cepat mulai pemuda gentle itu rasakan. Tangan yang besar dan hangat menggenggam tangan kecil Lucia dengan sangat lembut. Rasanya nyaman. Saat berjalan menyusuri jalan pulang, Kak Lein hanya menunduk dan pasrah saja digandeng oleh Lucia yang tersenyum simpul memberi arahan jalan pulang. Dengan topi terbaliknya yang terus ia pegang supaya tidak meminta lebih pada Lucia, Kak Lein terus menahan diri supaya brother complex-nya bisa membaik. Dan benar saja, sampai di rumah, Kak Lein memiliki perkembangan yang positif akan kesembuhannya. Dengan sangat perlahan ia melepas tangan mungil Lucia. Lalu menatap adiknya intens dengan senyum lembut di bibirnya.
Keesokan harinya Kak Lein mengikuti olimpiade dengan cekatan dan tangkas. Si jenius itu lagi-lagi berhasil memperoleh medali emas. Karena kejeniusannya juga ia mendapatkan bimbingan dari profesor di usianya yang terbilang muda. Sang kakak senang bukan kepalang dan bersyukur. Namun, yang jadi masalah adalah adiknya yang masih belum mengerti akan kelainannya. Lucia sering memakai baju seksi di rumah karena kepanasan dan itu tidak baik.
"Dik, Kakak mendapat medali emas lagi di olimpiade kali ini. Sebagai gantinya Kakak ingin mengajakmu-"
"Wah! Aku bersyukur Kakak menang lagi! Kakak hebat!"
"Hahaha iya, tapi Kakak sudah memperingatkan supaya tidak memakai baju seksi kan? Tolong ganti. Kakak terganggu."
"Tapi ini di rumah dan Aku kepanasan Kak! Ini musim panas."
"Maaf tapi tolong diganti ya."
"Bisakah Kakak lebih lembut lagi? Aku ingin menggantinya kalau Kakak sedikiiit saja lebih lembut lagi."
"Tapi itu normal bagi pria, Kau menantang orang jenius Dik?"
"Iya, Aku menantang Kakak! Habisnya ini kan di rumah dan musim panas. Masa tidak boleh..."
"Jangan menguji kesabaran Kakak."
"Iya lebih lembut seperti itu Kak, terima kasih."
"Diam, Kau mau lebih lembut lagi Dik? Kesabaran Kakak sudah habis sekarang."
"Kakak?"
"Diam, Kau mau lebih lembut lagi Dik?" Sang kakak mulai mengelus-elus rambut adiknya yang wangi sampo sakura.
"..."
"Diam, Kau maukah untuk lebih lembut lagi Dik?"
"..." Sang adik diam seribu bahasa.
"Diam, maukah Kau untuk Kakak memperlakukanmu lebih lembut lagi Dik?" Setelah mengelus rambutnya, sang kakak mulai menyentuh pipi adiknya dengan sangat lembut. Lalu menatapnya sendu sambil lanjut mengelus-elus pipi sang adik.
"Maaf kakak hanya mengulang satu pertanyaan saja, apakah Kau takut pada Kakak kalau nafsu Kakak mulai muncul? Inilah yang disebut brother complex. Jangan sekali-kali menantang orang jenius."
"Aku tidak takut Kak."
"Kalau begitu baguslah, apa Kau mau lebih lembut lagi selanjutnya?"
"Maaf tapi Aku merindukan Kakak yang lembutnya seperti ini."
"Apa Kamu tahu sesuatu, Lucia?" Cara Kak Lein memanggil namanya membuat Lucia tercekat.
"Maksudnya Kak?"
"Jangan paksa Kakak mengatakannya secara langsung."
"Tapi maaf Aku tidak mengerti Kak."
"Kakak suka padamu Dik."
"Hah? Jadi itu yang Kakak maksud."
"Ya, tentang hawa nafsu, Kakak bahkan menghapalkan posisi seks khusus brother complex sebagai ganti kelainan yang Kakak derita ini. Bagi Kakak kamu itu masih kecil Dik. Jadi tolong diamlah."
"..."
"Maaf kalau Kakak tidak sopan padamu Dik." Perlahan Kak Lein melepaskan jaketnya yang tipis lalu melingkarkannya di pundak Lucia. Setelah itu menyibakkan rambut panjangnya ke kanan dan mengepangnya. Setelah itu lanjut menata rambut Lucia dan memberikannya jepit yang elegan.
"Begini lebih baik. Sekarang apakah Kau masih mau lebih lembut Dik?"
"Sudah cukup Kak, kenapa Kakak sampai mempelajari hal itu segala? terima kasih." Lucia menangis tersedu-sedu.
"Karena Kakak harus bisa mengimbangi kelainan yang Kakak derita supaya orang yang ada di sekitar Kakak merasa nyaman."
"Maaf telah menantang Kakak. Aku mau ganti baju sekarang."
"Terima kasih Dik, mengertilah sedikit, karena Kakak mau mengajakmu jalan-jalan."
"Aku kaget Kak Lein bisa terus dan terus lebih lembut lagi."
"Imajinasi pria itu liar Dik. Kakak sudah sejak lama mempelajarinya."
"Tapi seberapa lembut Kak Lein? Aku tidak tahu. Padahal Kakak sendiri."
"Bagi Kakak, selama Kamu tidak takut pada Kakak tidak masalah. Kakak akan memperlakukanmu selembut mungkin."
"Terima kasih Kak." Lucia yang sudah berganti baju menjadi lebih sopan pun mukanya merah padam.
"Apa Kau masih ingin lebih lembut lagi Dik?"
"Tidak Kak, bagiku cukup."
"Sekarang Kakak yang ingin memperlakukanmu lebih lembut lagi. Diamlah." Sang kakak mulai menggendong adiknya dengan cara menyamping dan memangkunya di kursi sambil bersiap-siap. Lalu memakaikan sepatu sang adik.
"Memangnya Aku anak kecil Kak?"
"Kan tadi Kakak sudah bilang, bagi Kakak, kamu itu masih sangat kecil Dik. Di usiamu yang masih segini."
"Tapi Aku bisa sendiri Kak."
"Hahaha, sudah ayo kita pergi!"
Setelah asik bermain di taman fantasi, Kak Lein dan Lucia beristirahat sejenak. Lalu Kak Lein seperti melihat siluet orang yang ia kenal. Dengan topi terbaliknya yang khas Kak Lein ingin mendatangi orang tersebut. Rupanya taman bermain ini dekat dengan gedung konser tempat Lucia biasanya.
"Dik, Kakak tinggal dulu ya sebentar. Ada keperluan."
"Tapi nanti bagaimana denganku Kak?"
"Tenang saja, Kakak hanya sebentar."
"Yasudah iya Kak."
Saat sampai di tempat tujuan sang Kakak, seorang pemuda dingin yang sedang duduk di tangga gedung konser tempat Lucia biasanya menjadi maestra terdengar menangis sesegukan. Rupanya itu Lucio, sang pangeran akademi yang tak kuasa menahan air matanya.
"Apa sebegitu sakitnya?"
"Hah?! Kak... Lein?"
"Maaf tapi Kakak mengagetkanmu ya Lucio, Kamu ditolak Lucia?"
"Ya kurang lebih seperti itulah, Aku harus mengalah dan melupakan Lucia. Dan selamat ya Kak Lein yang lebih pantas bersama Lucia walaupun bukan pacaran atau lebih."
"Kamu... Cemburu dengan Kakak?" Kak Lein memilih kata dengan hati-hati, tak ingin menyakiti Lucio.
"Iya Kak, berapa pun rasa ini dilupakan, kenangan manis tentang awal menyatakan perasaan dan mengalah itu menyakitkan." Sambil sesegukan Lucio menyelesaikan kalimatnya.
"Begini saja, anggaplah kita ini saingan cinta dan ingin berdamai satu sama lain. Kenapa Kamu mau mengalah Lucio? Usiamu kan lebih muda, harusnya Kakak kan?"
"Habisnya Aku tahu perasaan Kakak yang lebih dalam pada Lucia. Saat di taman bermain Aku melihat kebersamaan kalian jadi cemburu."
"Hahaha, kalau begitu ini untukmu. Jangan cepat putus asa ya! Terkadang Kakak pun mengantisipasi supaya kelainan yang Kakak derita tidak membuat orang lain cemburu." Kak Lein memberikan topi terbaliknya pada Lucio yang kemudian ia pakaikan di kepala Lucio.
"Benarkah ini untukku Kak? Terima kasih. Selamat ya karena Kakak menang olimpiade baru-baru ini."
"Sama-sama Lucio. Begitu dong baru namanya pria. Semangat man!"
"Iya Kak, benar juga."
"Sudah ya Kakak mau kembali-"
"BRUKKK!"
Suara seseorang yang jatuh membuat pejalan kaki yang kebetulan lewat situ pun panik. Jalanan lengang. Lucio yang panik pun segera membawa Kak Lein ke rumah sakit. Sampai di sana tidak lupa ia menelepon Lucia. Gadis anggun bak bunga sakura ini histeris.
"Kakak! Kenapa tidak mau mengikuti kata dokter! Aku... Aku... Hiks..."
"Tenang Lucia..." Lucio pun menenangkan Lucia dan membelikannya minuman hangat.
"Penyakit apa yang diderita Kakakku Dok?"
"Kelelahan karena terlalu menahan diri oleh suatu alasan, ini bagian yang sudah lebih parah dari brother complex. Padahal berkat dukunganmu kemarin Lein menjadi lebih baik, sekarang kondisinya kritis."
"Bagaimana ini Dok?"
"Tunggulah sampai Lein sadar, kalau belum sadar juga dalam waktu yang lama, Dokter ragu kalau Lein masih bisa hidup."
"Hah?! Bagaimana bisa?"
"Kelainan ini sudah lama diderita olehnya, harap bersabar karena tekanan dalam dirinya selalu melawan, sekian."
"Dok, tunggu Dok! Hiks..."
"Yang tabah ya Lucia, Aku turut prihatin. Padahal baru tadi Kak Lein menyemangatiku..." Lucio yang menyesal telah cemburu pada Kak Lein menyemangati Lucia.
"Padahal pembawaannya selalu semangat... Hiks... Dan juga kepribadiannya bisa terus melembut dan lebih lembut lagi... Hiks..."
"Baiklah, apa perlu kutunggu Lucia?"
"Tidak usah Lucio, bisa tolong tinggalkan Aku sendiri?"
"Setidaknya, walaupun Aku mengganggumu, tolong ambilah ini." Lucio mengeluarkan kertas musik yang senantiasa ia tulis setiap pagi akhir-akhir ini. Kertas itu berisi not balok dengan judul "Love." Pangeran akademi itu dengan dewasanya telah mengeluarkan perjanjian damai. Lucia yang menerimanya merasa terhibur walau sedikit.
"Kalau Kakakmu siuman tolong beritahu kalau Aku berhutang budi padanya ya Lucia, Kakakmu memberikan topi ini padaku."
"Iya Lucio, terima kasih karena setidaknya Aku masih bisa membaca kertas musik dan lagumu bagus."
"Aku pulang ya Lucia."
"Hati-hati Lucio."
Setelah menunggu dengan waktu yang lama, Lucia yang sibuk membaca kertas musik sambil menjaga Kak Lein masih khawatir. Akhirnya, gadis anggun berparas cantik bak bunga sakura itu mulai menyanyikan lagu milik Lucio. Lalu keajaiban terjadi dengan sangat mengejutkan dan mengharukan.
"Dimana Aku?"
"Syukurlah Kakak sudah sadar! Kakak ada di rumah sakit sekarang."
"Oh kalau begitu, Kakak sudah bilang kan hidup Kakak tidak lama lagi. Kesabaran Kakak sudah habis."
"Tapi Kak, harus tetap optimis, hiks."
"Ada yang hidup dan ada yang mati Lucia, Kakak sudah kritis."
"Setidaknya, adakah yang secepatnya bisa kulakukan supaya Kakak tidak kritis lagi? Hiks..."
"Bagaimana ya? Dari dulu Kakak hanya ingin memelukmu."
"Itu saja? Kakak waktu itu sampai membelai dan menggendongku. Lembut sekali. Hiks... Hiks..."
"Hahaha memang seperti itu terapinya, kalau diteruskan sangat tidak sopan sekali Kakak Dik."
"Baiklah kalau itu bisa membuat Kakak lebih baik, hiks..."
Kak Lein perlahan mulai mengelus rambut dan pipi Lucia, lalu mendekapnya erat penuh kelembutan dan kasih sayang. Deru napas yang terdengar dari telinga Lucia terasa berat sekali. Sambil terus menangis, Lucia melirik kakaknya. Sang kakak hanya tersenyum pilu, air mata si jenius itu mulai berjatuhan.
"Lembut kan?"
"Kakak? Kenapa? Hiks..."
"Tenang saja Lucia, karena kesabaran Kakak sudah habis. Kamu juga kesakitan ya?"
"Kalau selembut ini, Aku juga suka padamu Kak Hiks... Hiks..."
"Biarkan Kakak... Mendekapmu sebentar... Mencintaimu dalam diam... Memberikan kehangatan..." Air mata yang berjatuhan mulai dirasakan oleh tubuh Lucia, ia merinding, suara Kakaknya serak. Seakan-akan inilah masa sekarat Kakaknya.
"Kakak, jangan mati!"
"Mau bagaimana lagi Dik, Kakak sudah tidak kuat."
"Tolong dekap Aku lebih kuat Kak! Aku memaksa."
"Baiklah kalau Kamu memaksa Dik." Dekapan kakaknya makin kuat, tangisannya mulai menjadi. Dalam masa-masa sekaratnya ini, segala hal tentang hidup dari lahir hingga dewasa akan diperlihatkan seperti film. Sang Kakak tidak ingin adiknya sedih. Walaupun sudah diputar kenangan hidup milik Kakaknya, pemuda gentle itu bersikeras bercerita. Lembut sekali.
"Dulu Kakak ingat menggandengmu setiap pulang sekolah... Kamu ingat tidak?"
"Sudah cukup Kak, jangan bercerita lagi, huwaaa!"
"Lalu saat suaramu serak dan Kakak membuatkan lemon madu, Kamu ingat?"
"Tolong berhenti Kak!"
"Atau saat Kamu kehilangan pelangimu lalu Kakak buatkan coklat panas dengan wangi menggoda? Yang itu pasti Kamu ingat."
"Maaf Kak, cukup sudah ceritanya."
"Hahaha serius sekali sih Dik? Santai saja, selama kamu tidak takut ini tidak apa-apa."
"Tapi ini bukan saatnya bercerita Kak! Bukankah Kakak menderita? Ada pesan dari Lucio katanya ia berhutang budi pada Kakak."
"Tolong izinkan... Kakak... memberikan... nasihat terakhir Dik..."
"Tidak mau Kak!"
"Jaga... orangtua ya. Hiks... hiks..."
"Baiklah Kak."
Sang kakak memeluk Lucia dengan penuh rasa hangat. Dekapannya yang dalam dan bertambah erat membuat kelembutan yang dirasakan sang adik mengalir keluar dari tubuhnya. Kejadian itu berlangsung singkat dan setelah dekapan hangat penuh arti itu dilepaskan sangat perlahan oleh kakaknya aura hidupnya mulai membaik dan menyegarkan Kakaknya. Masa kritis Kak Lein langsung hilang dan tangisan adiknya pun berhenti. Memang hanya itulah satu-satunya keinginan dari seorang jenius brother complex yang terlalu ditahan sampai sangat parah.
"Benar kan? Maaf telah menyakitimu Dik, maukah Kau untuk diperlakukan lebih lembut dari ini?"
"Iya Kak, bagaimana bisa hanya dengan satu pelukan hangat Kakak jadi membaik seperti ini?"
"Kakak hanya, berpikir untuk memberikan kasih sayang. Itu saja."
"Begitu ya Kak?"
"Diam, mau lebih lembut lagikah Dik?"
"..."
"Mau lebih lembut lagi seperti ini?" Sang Kakak mulai membelai rambut sang adik lagi, kemudian mencium keningnya dengan penuh rasa sayang dan menempelkan kening sang Kakak dengan Lucia seraya mengecek apakah sang adik demam atau tidak. Lalu mengelus-elus punggung adiknya. Sang kakak membisikkan kata-kata manis untuk membujuk adiknya yang baru selesai menangis. Inilah saat-saat romantis yang dibawakan sang kakak. Benar-benar lembut, dewasa, dan energik. Sinar matanya yang hangat ditambah senyum tipis Kak Lein saat menatap Lucia membuat hati adiknya meleleh.
"Apa Kamu puas sekarang Dik?" Sang Kakak membisikkannya dengan selembut mungkin.
"Ya Kak, Aku puas."
"Syukurlah, jangan menangis lagi ya." Sambil membisikkan kata-kata ini, sang kakak tertidur dan keadaannya bisa disembuhkan sampai 100% normal. Nasihat dan bujukan yang diberikan kakaknya telah mencairkan hati sang adik yang kurang mengerti sopan santun. Si jenius dengan ciri khas topi terbaliknya itu memang memiliki kesan menyenangkan, aktif, energik, lembut, dan dewasa. Tidak bosan-bosan sang kakak memperingatkan adiknya yang kurang sopan. Adiknya pun bisa tergerak karenanya. Walaupun memiliki kelainan brother complex, si jenius ini mendapatkan banyak medali dan beasiswa keluar negeri, tak lupa bimbingan dari profesor. Hal yang bisa diambil adalah, kelainan tidak membuatmu jatuh melainkan bangkit untuk segudang prestasi. Si jenius yang amat lembut ini merupakan salah satu penderita kelainan brother complex yang berhasil bersinar. Karena itu, tolonglah orang dengan kasus yang sama juga supaya tidak putus asa karena belum tentu kepribadiannya sama. Terima kasih.






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DimensikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang