Dirigenku.

9 1 0
                                    

       Pagi yang cerah dengan awan stratus dan sirus yang berarak di angkasa. Warna biru langit yang khas memenuhi bumi dengan sangat elegan dan menyebarkan pesonanya lewat embun yang terbentuk pagi ini. Mentari pun bersinar tidak terlalu terang tapi tidak terlalu gelap sehingga hangat dirasakan oleh Lucia dan Lucio yang sedang belajar teknik mendirigen di akademi dengan baik. Lucia yang senang datang awal bersenandung sambil menuju ke kelasnya. Saat sampai, Lucia heran karena ada suatu kejadian spesial.
"Lho? Kertas musik ini kenapa ada di mejaku?"
"Oh itu, nanti kita juga akan diberikan kertas musik yang sama untuk kuis Lucia. Kebetulan kertas musikmu dibagikan duluan, enaknya... Itu ada namanya."
"Tapi siapa yang mengambilkannya?"
"Aku tidak tahu, tapi yang jelas baik sekali! Aku juga ingin..." Sahut temannya yang lain.
"Aneh sekali, tapi yasudahlah terima kasih untuk yang mengambilkan ini."
       Di sisi lain, Lucio yang memang selalu datang paling pertama alias menjadi teladan murid-murid lainnya telah mendapat julukan pangeran akademi karena kepribadiannya yang dewasa seperti pangeran. Lucio yang tadinya sedang membaca buku hanya melirik Lucia sekilas,lalu tersenyum simpul dengan tatapan hangatnya yang khas. Lucio memang dingin tapi murah senyum kepada sesama.
"Baiklah murid-murid! Kali ini kita akan belajar dari dasar untuk menjadi dirigen atau nama lainnya disebut konduktor."
"Iya Bu!"
"Di sini Ibu lihat sudah ada yang menjadi dirigen terkenal di usianya yang masih muda, dan itu adalah Lucio yang dijuluki 'Little Maestro' yang sudah banyak mendapat tawaran konser karena bakatnya. Mari berikan tepuk tangan apresiasi."
"Terima kasih Bu, tapi Lucia juga terkenal kok bukan hanya saya."
"Lucio ini suka merendah ya? Ibu tahu, mari kita berikan apresiasi pada Lucia juga karena dijuluki sebagai 'Little Maestra' di usianya yang juga masih muda sudah mendapat banyak tawaran konser!"
"Terima kasih Bu."
"Karena mereka berdua sudah membanggakan akademi kita, dipersilahkan Lucio untuk membagikan pengalamannya sebagai maestro termuda kepada teman-teman sekelasnya."
"Kenapa saya Bu? Bagaimana jika Lucia saja karena saya merasa kurang pantas mendapat kehormatan seperti itu."
"Hahaha, Lucio suka pada Lucia ya? Ibu sudah tahu dari kemarin."
"Bukan begitu Bu, saya sudah biasa saja kok sekarang."
"Benar Bu! Lucio suka pada Lucia tapi berlaku seperti pemuda dingin!" Teman-teman sekelas serempak meneriakan Lucio yang tampak malu dan memerah mukanya.
"Yasudah, kepada Lucio dipersilahkan untuk memberikan penuturannya ke depan."
"Baiklah Bu, saya merasa terhormat untuk memberikan pengalaman saya." Walaupun Lucio awalnya menolak, pada akhirnya pemuda dingin dan dewasa itu menerima perintah guru tersebut.
"Perkenalkan saya Lucio Lawliet akan memberikan pengalaman saya mengenai pekerjaan saya menjadi maestro termuda. Yang pertama syarat menjadi seorang dirigen atau konduktor adalah harus berwibawa, musikal, mempunyai pengetahuan musik, mempunyai imajinasi, sehat, dan tampak simpatik. Untuk memimpin orkestra yang anggotanya lebih dari 50 orang dibutuhkan tongkat dirigen atau yang biasa disebut baton yang panjangnya kurang dari 60 cm. Teknik mendirigen yang pertama posisi berdiri salah satu kaki sedikit maju, lalu gerak tangan kanan memberi tempo dan kiri memberikan dinamika. Hitungan pertama gerakan tangan ke bawah sedangkan terakhir ke atas. Terakhir ada yang disebut aba-aba jadi harus mengetahui tanda metrum lagu tersebut. Terima kasih atas perhatian teman-teman sekalian. Mohon maaf bila saya banyak salah."
"Berikan tepuk tangan yang meriah kepada Lucio yang memiliki banyak pengetahuan tentang teknik mendirigen sampai ke detailnya!"
"PROK! PROK! PROK!"
"Berikutnya Ibu akan mengajarkan seperti yang tadi Lucio sudah contohkan mengenai posisi kaki dan gerakan tangan, untuk baton harus dibiasakan pemakaiannya karena tak jarang anggota orkestranya lebih dari 50 orang. Tapi untuk sekarang, mari kita mulai dari posisi kaki dulu ya."
"Iya Bu!"
"Baik ayo mulai!"
       Sang guru mengarahkan murid-muridnya untuk berdiri dengan posisi kaki yang benar dimana salah satu kakinya sedikit maju seperti yang sudah diterangkan oleh Lucio. Hal ini dapat dengan mudah dikuasai oleh murid-murid karena hanya memajukan salah satu kaki saat berdiri bukanlah hal yang sulit. Yang jadi masalah adalah gerakan tangannya, karena sampai memiliki aba-aba dan mengatur tempo.
"Sekarang Ibu akan contohkan gerakan tangan seperti yang sudah dicontohkan oleh Lucio tadi, coba ikuti Ibu ya murid-murid!"
"Iya Bu!"
"Pertama gerakan ke bawah lalu ke atas dan coba ulangi 3 kali."
       Saat praktik untuk gerakan tangan banyak murid-murid kesulitan menggerakannya karena mereka masih bingung saat ke bawah itu kapan dan saat ke atas itu kapan. Padahal saat gerakan tangan pertama kali itu pasti awalnya ke bawah dulu. Banyak murid-murid yang melupakan hal itu, terlebih saat mencoba menggunakan baton, murid-murid kewalahan untuk memegangnya jadi sang guru memutuskan untuk bergantian melihat muridnya menggunakan baton dan tidak sekaligus muridnya yang memegangnya langsung.
       Akhirnya jam pelajaran berakhir dan murid-murid diperkenankan kembali dari akademi. Masing-masing sudah memiliki rencana sendiri, ada yang ingin pergi ke cafe dulu, ada yang ingin langsung kembali ke asrama, ada juga yang sibuk tapi masih menyempatkan diri mengobrol seperti Lucia, atau yang diam saja tersenyum lembut sambil membereskan buku-bukunya, siapa lagi kalau bukan Lucio yang merupakan pemuda shy shy cool?
"Lucia! Ayo kita ke cafe dulu yuk! Ada waffle ice cream strawberry macaron kesukaanmu lho!"
"Wah kedengarannya enak sekali! Aku dengar di cafe itu juga ada milkshake limited edition lho!"
"Hahaha Lucia si mood booster yang selalu ceria dengan infonya yang menarik ini bisa saja! Yuk coba!"
"Boleh saja tapi sepertinya Aku akan tetap memesan yang ada ice cream oreonya deh karena itu yang paling kusuka dan fix selalu kupesan hehe."
"Nona penggemar oreo memang beda ya! Aku tidak sabar ke cafe itu lagi!"
"Hahaha ada-ada saja nih bercandanya! Oreo memang enak!"
"Hei Lucia! Lihat ada yang memperhatikanmu."
"Hah? Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan Lucio! Lihat deh tatapan dan senyumnya yang lembut ke arah sini sambil membereskan bukunya! Dewasa sekali mencuri pandang sambil membereskan peralatannya dan bergegas. Memang Lucio telah menjadi pemuda idaman satu akademi karena kedewasaannya!"
"Wah betul juga ya?"
"Jangan-jangan pemuda dingin itu suka padamu Lucia! Bahkan Bu Guru sudah tahu dari kemarin-kemarin."
"Benarkah? Tapi Aku membatasi hanya sebagai teman saja."
"Tapi Lucio itu pangeran akademi lho Lucia. Pemuda dingin dengan kepribadian dewasa! Coba saja ajak ngobrol dia kalau tidak percaya!"
"Tidak sopan bukan?"
"Sudah ayo coba saja!"
"Yasudah."
       Lucia yang penasaran akan tingkah laku Lucio pun mendekati dan ingin mengajak Lucio mengobrol sebentar. Kemarin Lucio bilang ia sudah mengalah dan akan melupakan Lucia. Namun Lucia yakin rasa suka Lucio walaupun hanya sedikit tetap ada di hati Lucio. Lucia bimbang bagaimana menjelaskan pada kakaknya dan Lucio sendiri, jadi Lucia makin penasaran.
"Hai Lucio! Sedang apa?"
"Eh? Sedang membereskan buku-buku dan peralatan saja."
"Nampaknya Lucio terburu-buru ya, santai saja!"
"Terima kasih, Lucia."
"Aku penasaran Lucio kenapa bisa hebat sekali sampai ditunjuk guru untuk menjelaskan tentang pekerjaanmu sebagai maestro termuda! Itu hebat lho!"
"Bagiku Kau yang lebih hebat, Lucia."
"Hahaha biasa saja kok kalau Aku! Banyak yang bilang begitu."
"Sikapmu yang ceria itu menyenangkan."
"Wah terima kasih Lucio! Aku tersanjung lho dibilang begitu!"
"Lucia senang?"
"Iya, dewasa sekali ya Lucio sekarang tidak seperti dulu yang kukenal."
"Baguslah."
"Ok! Lain kali kita mengobrol lagi ya Lucio! Aku mau ke tempat teman-temanku lagi nih hehehe."
"Iya Lucia."
       Di sisi lain, Lucio yang dari tadi mencuri pandang ke arah Lucia kaget karena tiba-tiba diajak mengobrol oleh Lucia secara langsung. Sang pangeran akademi yang seringkali terlihat senyum shy shy cool sambil memperhatikan Lucia ini masih belum bisa menahan detak jantungnya yang tak karuan saat menatap gadis berparas bak bunga sakura ini. Apalagi keceriaannya.

Gawat! Dag dig dug detak jantungku masih belum bisa ku kontrol sepenuhnya! Meskipun sudah kukatakan untuk mengalah tapi tetap saja rasa ini masih ada...

       Lucio yang dengan dewasanya menahan diri dan mulai melupakan gadis yang berparas anggun bak bunga sakura ini merasakan sakit yang tak karuan. Di sisi lain memang Luciolah yang harusnya mengalah, tapi di satu sisi juga rasa yang menyelimuti Lucio didukung oleh teman-temannya dan belum bisa pemuda dingin itu hapuskan. Ironi.

DimensikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang