Prolog

2.3K 215 12
                                    

Ramalan adalah hal yang paling Draco tidak sukai. Dia benci ketika takdir seseorang ditentukan oleh khayalan kosong yang bahkan belum menjadi kenyataan tapi orang berbondong untuk mempercayainya. Hipokrit. Mereka percaya ramalan ketika itu memberitakan hal yang bagus, tapi ketika ramalan itu memberitahu hal negatif, maka mereka akan menolaknya dan mengatakan, “Tidak ada yang memprediksi takdir.”

Sayang, hal yang selalu dia pegang teguh itu ternyata tidak sejalan dengan Profesor yang dia anggap paling rasional di antara semua Profesor Hogwarts.

Snape membuat janji temu dengan dirinya saat akhir pekan di ruang keja Profesor Snape. Dia mengatakan bahwa dia menemukan satu penemuan hebat, dan Draco mendapatkan keistimewaan untuk jadi orang pertama yang bisa menguji penemuannya itu.

“Apa aku dijadikan kelinci percobaan?” tanya Draco.

Profesor Snape menggeleng, “Bukan. Kelinci percobaan berlaku jika temuanmu hanya memiliki 70% keberhasilan dan 30% lainnya adalah risiko. Tapi temuanku ini sudah sempurna.”

“Lalu mengapa kau memilih aku?” tanyanya lagi yang sudah memasuki ruang kerja Snape. Yang Draco lihat pertama kali adalah kuali yang mengepul, lalu ada Pensieve di pojok ruangan.

“Karena kau adalah siswaku yang paling rasional." Snape menutup pintu ruangannya dan menuntun Draco berdiri di hadapan Pensieve.

Draco menunduk melihat Pensieve yang memantulkan wajahnya. Dia masih tidak paham dengan apa yang Profesor Snape inginkan.

“Kau percaya kau bisa melihat masa depanmu?”

Draco tertawa. Dia membaui Profesor Snape karena sangat mungkin Profesornya ini tengah mabuk. Bisa-bisanya Profesor yang paling rasional ini mengatakan hal yang irasional. Sayangnya tak ada bau alkohol, "Kau tidak mabuk, jadi apa kau sedang hilang akal?"

Snape semakin bersemangat. Dia menuangkan ramuan di kualinya yang mengepul itu ke dalam botol ramuan kecil. "Aku sudah menakarnya." Sahutnya pada diri sendiri.

Draco mengerutkan dahi, dia ingin beranjak dari tempat itu tapi Snape menahannya. "Tetap berdiri disana." Desisnya dengan raut yang begitu serius.

"Apa kau sudah mencoba hal itu pada dirimu sendiri?"

"Tentu saja. Dan tenang aku tidak akan membunuhmu." Katanya seakan bisa membaca kekhawatiran Draco.

"Aku memang belum memiliki nama untuk ramuan ini, tapi ramuan ini sudah 100% berhasil. Aku menyempurnakannya sampai 7 tahun dan memang ini berhasil."

Profesor Snape lalu menuang ramuan bening itu ke dalam Pensieve. Pensieve yang semua tenang pun bergelombang hebat seperti air mendidih. "Dan untuk semakin memperjelas. Aku memilihmu karena kau yang paling rasional, aku ingin membuktikan bahwa ramuanku yang tak masuk akal secara logika ini berhasil dibuktikan oleh orang yang rasional."

"Ramuan apa ini?"

Draco merasakan ujung tongkat sihir Profesor Snape yang dingin di pelipis kanannya, lalu serabut putih keluar dari ujung tongkat itu, atau memang keluar dari pelipisnya, entahlah. Profesor Snape lalu menaruh hal itu ke dalam Pensieve.

"Ini ramuan untuk mengintip masa depan."

Draco menganga. "Apa? Aku rasa kau sudah benar-benar hilang akal."

Profesor Snape membantah. "Tidak. Aku serius. Ini mahakaryaku. Memang tidak rasional tapi terbukti. Percayalah."

Draco merasa waktunya terbuang sia-sia dengan menuruti Profesornya untuk bertemu di akhir pekan yang begitu cerah di luar sana. Seharusnya dia ada di luar, bukannya mendekam di ruang bawah tanah lembab dan gelap bersama Profesor yang sudah nyaris gila.

Draco tak punya pilihan lain untuk menuruti kemauan teman baik ayahnya ini. "Lalu apa yang harus aku lakukan?"

"Menangislah."

"APA?" Dia harus mencari cara untuk menyadarkan Profesornya yang bukan nyaris tapi sudah gila ini.

Profesor Snape memintanya untuk menangis? Menangis? Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia menangis, dan apa hubungannya menangis dengan masa depan?

"Air mata adalah sumber kemurnian. Dia bisa menandakan kesedihan dan kebahagian. Aku membutuhkan airmata untuk menyatukan koneksi ramuanku. Menangislah, pikirankan hal yang paling menyedihkan yang pernah kau alami."

Hal yang menyedihkan itu kau, Professor. Geramnya dalam hati. Dia memikirkan hal yang paling menyedihkan. Apa yang menyedihkan yang dia alami?

Tidak ada. Dia tidak punya ingatan menyedihkan.

"Aku tidak bisa menangis. Tidak ada hal yang membuatku sedih."

Profesor Snape mengambil tangannya lalu menusukan sesuatu di jari telunjuknya sehingga keluar beberapa tetes darah yang membuat keruh isi Pensieve. "Plan B. Memakai darah juga bisa."

"Tahan napasmu." Titah Snape yang lalu mendorong kepala Draco untuk masuk ke dalam Pensieve.

Draco membuka matanya. Dia meraka tubuhnya ditransfer ke tempat lain. Dia melihat kakinya yang berpijak di tanah. Terasa begitu nyata. Dia memandang sekelilingnya, dia ada di bangunan tua seperti Gereja. Ada beberapa kursi panjang yang sudah diisi orang yang sebagian Draco kenal, sebagian asing. Di hadapannya ada dua pasang orang yang hendak melakukan janji pernikahan. Walau hanya menampakkan punggung, tapi rambut pirang platina mencolok di depannya sudah dipastikan adalah dirinya sendiri.

Draco berjalan semakin dekat ke altar, dia penasaran siapa yang akan menjadi isterinya kelak. Dia berharap bukan Pansy atau Astoria, dua wanita itu terlalu berisik.

Perjanjian pernikahan terlaksana. Pasangan pengantin itu saling berhadapan dengan senyum yang sangat merekah saat mereka saling bertukar cincin. Si Pria berujar, "Aku sangat mencintaimu." Sedangkan si wanita membalasnya dengan, "aku tahu." Lalu mereka berciuman dan riuh tepuk tangan langsung memenuhi gedung itu.

Awalnya Draco yakin pria itu adalah dirinya tapi setelah melihat siapa yang bersanding dengannya di altar, dia tidak mau percaya pria itu adalah dirinya. Bagaimana mungkin dia menikah dengan Hermione Granger!!!

***

A/N :
Give me your thoughts about this one!!! If i get bunch of positive responses maybe I'll write the next chapter asap!! ^^

And as always, thank you for spending your precious time to read my fanfic.

Stay healthy dan be happy always.

My Love, My FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang