Chapter 17

95 13 9
                                    

Haloo 😅
Maaf atas lamanya update dari diriku 🙇

Hope you enjoy
.
.
.

Neji meringis saat kapas yang dibubuhi alkohol itu menyentuh luka yang sebelumnya dibersihkan oleh Tenten. Beberapa memar di kulitnya diolesi salep yang menurut iklan ampuh menyembuhkan memar. Di sebelahnya, terdapat wadah dengan kapas berhiaskan kroma merah karena darah dari lukanya.

Selepas dari kedai milik Sasuke, Neji mengikuti Tenten menuju jalan setapak yang agak menanjak yang berada di sisi seberang bangunan kedai. Jalan itu sempit dan butuh beberapa menit untuk mereka sampai ke sebuah hunian sederhana di belakang gedung pertunjukan kota. Awalnya Neji heran dengan bangunan sederhana yang kontras dengan gedung megah yang sering dijadikan musisi terkenal menunjukkan karyanya pada masyarakat. Ketika dia ajukan tanya pada si gadis panda apakah dia tinggal di belakang gedung itu, Tenten hanya mengangguk seraya merogoh sakunya dan mengeluarkan kunci yang membawa mereka masuk.

Mereka menempati ruang yang dipenuhi sofa dan sebuah televisi model lama yang menyiarkan berita siang. Si gadis yang dengan hati-hati membubuhkan obat itu tampak fokus dan tak berucap sepatah kata pun sejak sepuluh menit yang lalu. Membuat Neji heran dengan sikapnya yang bukan seperti Tenten biasanya ketika bersamanya dan Hinata. Cerewetnya Tenten seolah lenyap saat ini. Walau melakukan misi mengobati dirinya, Tenten biasanya akan mengoceh. Dia bisa melakukan dua pekerjaan sekaligus.

Neji jadi berpikir, apakah gadis itu menjaga jarak dengannya?

"Nah. Sudah selesai." Tenten meletakkan sisa plester ke dalam kotak semula dan merapikan beberapa obat yang tadi digunakannya. "Mungkin kau butuh obat pereda nyeri agar memarmu tak terasa berdenyut sakit. Kau mau meminumnya sekalian?"

"Boleh." Neji menerima sebuah obat pereda nyeri yang sudah dibuka bungkusnya.

"Sebentar, aku ambilkan minum." Tenten beranjak, menuju ke sudut ruangan lain yang ditempati beberapa perabotan dapur dan sebuah lemari es ukuran tanggung. Tenten kembali dengan gelas berisi air putih yang disodorkannya pada Neji. Lelaki itu memakan obatnya bersama air yang membasahi kerongkongannya. "Kau istirahat dulu saja di sini. Ayah pasti mencecarmu kalau kau pulang dalam keadaan jelek begitu." Ungkap Tenten seraya kembali ke dapur dan mulai mengeluarkan bahan-bahan dari lemari es? "Kau sudah makan?"

"Belum."

"Baiklah."

"Ten.."

"Hm?"

"Kenapa kau mengobatiku?"

"Karena kau kan saudaraku, walau bukan kandung. Aku membantumu sebagai adik. Melihat kau seperti itu, masa kubiarkan. Aku tahu itu terasa sakit." Tenten mencincang bawang bombai yang baru saja dia potong. Tak menghadap ke Neji sama sekali selagi dia fokus pada masakannya. Neji hanya pandangi punggung berbalut kaos lengan panjang berbahan tipis itu. "Masih suka Omurice?"

"Masih."

"Baiklah. Tunggu ya."

###

Sakura menjumpai Sasuke yang beberapa saat lalu meneleponnya. Lelaki itu mengatakan dia baru saja berkelahi dengan Neji. Membuat Sakura memekik dan berakhir memutus sambungan telepon sebelum akhirnya melesat menuju kedai makanan yang paling dibencinya tapi juga disukainya.

Dia mendengarkan Sasuke yang bercerita tentang kronologi bagaimana dia dan Neji bisa berkelahi dan berakhir babak belur. Tangan gadis pink itu membubuhkan obat merah pada beberapa luka yang bertengger di wajah Sasuke. Beberapa lebam sudah dia olesi dengan salep yang terdapat di kotak P3K yang tadi dibawa Sasuke.

"Maaf. Aku sangat berengsek ya karena menggoda kekasih orang. Aku tak tahu akan berakhir seperti ini. Padahal aku mau pergi ke London dengan tenang, tapi malah membuat orang lain sakit hati terhadapku."

"Sasu, itu bukan salahmu sepenuhnya. Ini salahku juga. Aku yang memutuskan Neji dan seharusnya dia marah kepadaku saja. Bukan kepadamu." Sakura menunduk sembari mengemasi peralatan medis ke dalam kotaknya.

"Padahal aku berjanji tak akan mengganggumu seminggu ini, tapi aku malah meneleponmu."

Sakura terkekeh. "Jangan menjauh dariku. Kau sudah membuat perasaanku berantakan, tapi malah mau menjauhiku."

"Aku hanya tak ingin kau sakit saat kepergianku nanti. Kau sudah bilang aku harus melanjutkan studiku ke London. Aku memintamu untuk mencegahku, tapi kau menyuruhku untuk lanjut. Dengan berada di sekitarmu, aku semakin tak ingin pergi dan melepasmu. Aku takut kau terluka, Sakura."

"Tapi, dengan kau menjauhiku juga membuatku sakit. Setidaknya, kita habiskan saja sisa hari sebelum kau berangkat ke London. Walau hanya berdiam diri di ruanganmu ini, atau berada di tepi sungai sambil menyaksikan penguasa siang perlahan menuju lelapnya. Apa aja, selama bersamamu sepertinya tak membosankan."

"Walau hanya berdiam diri, tak berbicara topik apapun?"

"Walau hanya diam, merasakan angin menyapu kulit kita, aku oke saja." Jawab Sakura.

Sasuke terkekeh. "Oke, mungkin sebaiknya memutar lagu saja daripada kita saling diam di pinggir sungai menunggu senja."

"Kurasa teriakan anak kecil sekitar sana lebih berkesan daripada sekadar musik yang nantinya malah nggak bikin kangen."

"Huh?" Sasuke mengerutkan dahinya, memproses perkataan Sakura.

"Ya. Kalau kita memutar lagu di saat seperti itu, lagu yang kita putar pastinya akan kita dengarkan lagi ketika rindu satu sama lain. Biarlah kita tak punya lagu khusus yang akan mengingatkan kenangan yang kita buat. Biarlah kita merindu."

"Kau kejam. Kau tak tahu rasanya kan ketika kau rindu dan menuntut temu? Ketika kau merindu setiap tawa, suara, atau makian dari orang terkasih, tapi tak bisa mewujudkan menatap satu sama lain. Kau tak tahu rasanya kan?"

"Memang seperti apa rasanya?"

Sasuke mendengus. "Benar-benar kau ini. Rasanya seperti kau tak akan pernah makan tomat lagi. Menyakitkan, menyeramkan, menyesakkan. Sungguh seperti itu rasanya."

Sakura tergelak. "Kau berlebihan."

"Kau rasakan saja sendiri nanti. Jangan meneleponku ketika kau rindu. Coba saja. Rasakan sensasinya."

"Tantangan diterima." Sakura bersedekap. "Kalau aku bisa tahan dan tidak menghubungimu dalam satu hari penuh, apa imbalannya?"

"Kupon makan gratis di kedaiku selama satu minggu?" Sasuke memberikan satu contoh kupon yang sering diberikannya pada rekan sejawat.

"Cih, kurang lama. Dua minggu, bagaimana?"

"Bos, aku sedang berjualan, kalau kau meminta gratis selama dua minggu, bisa bangkrut usahaku." Sakura tertawa. Merasa lucu dengan wajah Sasuke yang terlihat jengkel.

"Oke, oke, tuan penyuka tomat. Satu minggu makan gratis." Sakura menjabat tangan Sasuke yang terasa dingin karena pengaruh pendingin ruangan.

"Kenapa kita membuat kesepakatan yang konyol?" Kekeh Sasuke setelah menjabat tangan Sakura.

Sakura ikut terkekeh. "Hitung-hitung aku membiasakan diri menyukai okonomiyaki. Biasanya aku selalu mencaci kakakku jika dia membawa okonomiyaki pulang."

"Kau sebegitu tidak sukanya dengan okonomiyaki?"

"Dulu iya. Aku trauma dengan makanan itu karena mengingatkanku pada kenangan buruk di masa lalu. Tapi sekarang aku mau mencoba melupakan kenangan itu dan mau memakan okonomiyaki. Agar jika teman-temanku mengajakku makan bersama, aku tidak menolaknya. Kadang kan ke kedai okonomiyaki lebih baik daripada kedai lainnya. Kita bisa berbagi makanan."

"Aa, begitu. Kau bisa memesan sesukamu di kedaiku. Maksudku, kau bisa request isinya."

"Wah, aku merasa istimewa karena diberi kebebasan di kedaimu." Sakura berbinar seraya menatap Sasuke.

Sasuke kembali terkekeh. "Kau memang spesial." Hantarkan semburat merah di pipi sang gadis bersurai pink serupa permen itu. Sakura memalingkan wajahnya menghindari tatapan mata Sasuke yang tak lepas darinya.
.
.
.
To be continue

Sepotong Okonomiyaki CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang