prolog

1.9K 49 0
                                    


❄️❄️☃️☃️❄️❄️

Ezard.

Ia menyibak masalalunya yang ungu. Perlahan album-album gelap itu memperlihatkan satu per satu bayangan yang dulu hampir tak terlihat.

Aku pernah menduga bahwa hal ini akan terjadi padaku, ia dengan masalalu yang begitu kelam akan menjadi bencana di kemudian hari. Sekarang aku tidak yakin bahwa akulah tulang rusuknya yang hilang dan dicarinya selama ini.

Dengan lancang dan tak merasa berdosa ia mencium dahi perempuan itu tepat di depan mataku.

Aku melihat semuanya, saat ia menggenggam tangan perempuan itu sangat erat, saat ia membelainya lembut, saat mereka berciuman atau saat mereka saling mengisi. Hatiku hancur seperti gelas pecah yang berserakan di lantai, tak sisakan satu kepingan pun. Itu benar-benar tak tersisa. Terdapat lebam yang begitu biru di hatiku. Hingga membusuk dan menyengat sekitarnya.

Aku kalah.

Aku hancur.

Dan pernikahan ini sungguh tidak bisa diselamatkan lagi. Aku kehilangan suamiku sebagai orang yang sangat aku percayai.

Ia memperlakukan perempuan itu dengan baik dan orang seperti Ezard seharusnya dari awal tak pernah aku percayai. Aku seharusnya meninggalkannya saat itu. Aku seharusnya tidak pernah ada di sini. Aku seharusnya tidak menjadi bagian dari hidupnya.

Benar apa yang dikatakan orang-orang; jangan terlalu yakin dengan kekuatan hati, kita mesti tahu diri. Walau aku selalu melukis sketsa rumah kaca dengan sekat dari keping mimpi, hampir setiap senja. Tetapi semua itu tidak ada gunanya, Ezard menggambar masa depannya dengan perempuan lain. Perempuan dari masalalunya.

Jika orang lain menyebut ini sebagai pengkhianatan, maka biarkan aku yang menyebutnya sebagai takdir. Aku menyerah. Hari ini jika ia ingin lepas, maka dengan lapang kubiarkan ia terbang bebas.

"Aidan adalah putramu Ezard. Anak kau. Anak kita."  Ucap perempuan itu.

"Jika ditanya siapa yang pertama kali mengisi ruang kosong di hatiku. Itu adalah gadis kecil yang selalu berlari ke arahku dengan wajah ceria sehingga membuat seluruh hatiku menghangat."

"Maafkan aku Catie, maafkan aku karena membiarkanmu pergi begitu saja. Maafkan aku karena tidak bertanggung jawab atas dirimu dan anak kita. Maafkan aku untuk semua perbuatanku yang sungguh tak bisa ditoleransi. Kau boleh membenciku, tetapi kau dan anak kita tidak boleh jauh lagi dariku. Aku akan selalu ada untukmu. Apapun akan aku lakukan agar kau mau memaafkan aku."

Aku mengusap wajahku, memejamkan mata dan menutup telinga, berharap suara-suara itu berhenti berbisik.

Kemudian bayangan lain mengusikku lebih keras, saat Ezard membawa perempuan itu ke pangkuannya, menanggalkan satu persatu pakaiannya. Tiba-tiba saja aku ingin muntah ketika semua hal menjijikan itu berputar di kepalaku. Perutku seperti dihimpit batu besar. Aku menutup mulut sangat kuat. Berharap isi perutku tidak keluar disaat seperti ini.

Adakah yang lebih hancur dari ini? Aku harus apa? Menyambut Aidan dengan tangan terbuka lalu menjadi perempuan bodoh yang melupakan segalanya dan menerima Ezard kembali.

Sial!

Itu tidak adil.

Aku seharusnya tidak heran, aku seharusnya sudah terbiasa, karena pada kenyatannya dari awal luka memang milikku dan bahagia adalah miliknya. Mencintainya adalah rasa sakit yang tak berujung. Ia menjadi sesuatu yang tak ingin aku harapkan lagi.

Seketika ruang di hatiku menjadi hampa. Kepingan kekecewaan berserak di sana. Aku tak menemukan diriku dalam bayangan yang dipantulkan cermin. Bahkan diriku sudah sangat asing dilihat.

Ezard, seandainya ia tahu betapa hatiku sangat hancur. 

Ia membohongiku. Mengkhianatiku tanpa berpikir panjang. Dan membuang tiga tahun yang kami miliki kedalam tong sampah. Betapa hebat, aku dicampakkan dengan begitu mudah seperti tak ada harganya sama sekali. Sekali lagi aku seharusnya tidak heran, ia bersama Caterina hampir seumur hidupnya, sementara aku hanya mengisinya selama tiga tahun. Bukan hal yang mengejutkan ketika ia dengan mudah membuang tiga tiga tahun kebersamaan kami dan memilih perempuan cerdas yang selalu dibicarakannya akhir-akhir ini.

Cinta adalah sebuah kepercayaan besar yang tak bisa ia berikan pada sembarangan orang. Hari ini Ezard mengkhianati kepercayaan yang aku berikan padanya, jadi aku simpulkan ia tidak benar-benar mencintaiku. Rumah tangga tidak bisa dibangun atas dasar kebohongan. Selama ia menyembunyikan kebohongan yang satu, maka akan ada kebohongan-kebohongan lainnya.

Ciuman itu.

Sentuhan itu.

Saat mereka menyatu.

Saat Caterina meneriaki nama Ezard.

Demi Tuhan mereka seharusnya sudah dikirim ke neraka! Bisakah mereka mati saja? Aku sudah tidak sudi melihatnya.

"Nai? Ada apa?"

Aku melirik pemilik suara. Mobil sudah terparkir di depan rumah. Ezard berdiri menatapku dengan hati-hati. Pandangannya kali ini menyapu bubur yang sudah berserakan di atas lantai.

Aku tersenyum sinis dan memandangnya linglung. Aku terlalu kacau untuk terlihat baik-baik saja. Tidak, aku tidak bisa baik-baik saja disaat seperti ini, mereka membohongiku dan bisa saja itu bukan yang pertama. Betapa menyedihkan, ia berdiri di hadapanku seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Bajingan! Mereka bercinta dan aku menyaksikannya sendiri! Brengsek! Seharusnya Ezard tidak memperlakukanku seperti ini dan mengubah hidupku sepenuhnya menjadi seperti di neraka! Dan seterusnya. Lagi dan lagi. Akulah yang menderita.

Aku memejamkan mata dan meremas dadaku, rasanya lebih sakit dari yang pernah kubayangkan di dalam mimpi ketika ia berselingkuh. Aku tidak sanggup melihat rambutnya yang berantakan, kemejanya yang tidak dikancing dengan benar, sisa-sisa lipstik perempuan sialan itu di bibirnya yang merona sehabis bercinta atau bahkan jejak ciuman di lehernya, mereka bahkan tidak berusaha menghapus jejak untuk menghindariku. Aku merasa sesak untuk semua hal yang kurasakan saat ini.

"Apa yang terjadi?" Ezard mendekat dan hampir menyentuh tanganku. Akan tetapi sebelum ia sempat untuk itu, aku berteriak histeris. Terlampau tidak sudi jika bajingan itu menyentuhku ketika sisa-sisa keringat hasil mereka bercinta masih terlihat kentara di sekitar wajahnya.

"JANGAN SENTUH AKU!" Aku bahkan membelalakkan mataku. Nada suaraku meninggi. Selama ini, tidak pernah aku berbicara pada Ezard dengan intonasi setinggi itu.

Ia tampak kecewa dengan tatapanku saat memandangnya jijik, benci, muak, dan marah. Aku tidak bisa menghentikan jutaan ekspresi yang tercipta akibat kekecewaan ini.

"Nai?"

"AKU MEMBENCIMU, PERGI!!! AKU INGIN KAU MATI!" Aku hancur. Aku tidak ingin peduli tentang perasaan Ezard lagi. Apa yang ia lakukan selama ini sudah lebih dari cukup.

"Apa yang kamu katakan?" Berpura-pura bodoh dan tidak tahu apapun adalah kebiasaan menjijikan para pelaku.

"Besok aku akan pulang ke Indonesia. Terserah apa katamu! Aku sudah tidak peduli lagi. Setelah sampai, aku akan langsung ke pengadilan untuk mengurus perceraian kita."

...

Season Without You || Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang