04. Salju Yang Jatuh

260 17 1
                                    


❄️❄️☃️☃️❄️❄️

"Ezard!!! Bantu aku!!!!" Naima berteriak memanggil suaminya yang berdiri tegak di teras rumah mereka. Ia berlari cepat ketika anjing kecil Maria mengejarnya karena membawa sepotong daging yang belum dimasak.

Siapa sangka kalau anak anjing itu tertarik padanya. Sejak pertama ia keluar dari rumah Maria, anak anjing sialan itu langsung mengikutinya seperti seorang penguntit. Sementara suaminya di kejauhan sana bukannya membantu tetapi malah menertawakan adegan dimana Naima dikejar anjing.

Oh sialan! Jika bukan karena menghargai pemberian Maria, Naima mungkin sudah melempar sepotong daging itu kepada anjing biadab itu bersama piringannya sekalian. Lalu berlari cepat-cepat meninggalkan halaman Maria, masuk ke dalam rumahnya dan mengunci pintunya rapat-rapat. Sebelum itu, tentu ia lebih dulu memukul kepala suaminya karena membiarkannya begitu saja melewati musibah sendirian. Ia tidak peduli lagi dengan menu makan malam ataupun perutnya yang kosong. Setidaknya, tidur sambil kelaparan jauh lebih baik ketimbang tidur sambil menangisi gigitan seekor anjing nakal di kakinya.

"Sialan!!!"

Naima mengumpat terlalu keras sehingga burung-burung di dahan berterbangan karena terkejut. Ia terjerembab, satu kakinya masuk ke dalam selokan yang dipenuhi salju di tepian jalan. Ia tidak melihat, terlalu tergesa-gesa untuk ukuran orang yang berhati-hati dengan langkah yang diambilnya. Pipinya memerah karena anak anjing itu langsung membawa daging yang diberikan Maria tadi padanya.

"Nai, kau terluka?" Itu suaminya. Pria itu berlari ke arahnya dengan wajah khwatiir dan langsung meraih ketiak Naima. Menggendongnya ala anak kecil.

"Kau terlambat. Sudah kukatakan tadi tolong aku, tapi kau malah sibuk menonton seakan-akan itu adalah adegan dalam film comedy! Lihat," jelas Naima sambil menunjuk anak anjing yang berlari menuju ke belakang rumah Maria. "Dia membawa daging itu pergi. Sekarang bagaimana dengan makan malam?" Naima melingkarkan kedua tangannya di leher Ezard dan menatap mata tajam pria itu.

"Kau begitu khawatir dengan makan malam rupanya." Ezard mengejek, kentara sekali dari nadanya. "Kita tidak akan mati hanya karena kehilangan sepotong daging, Nai." Oh, lihat sekarang ia melakukan pembelaan karena tadi tidak bisa menolong Naima.

"Ayolah, kita tidak bisa terus-terusan merepotkan Maria." Naima mengeluh. Jujur saja, meski baru sarapan dan makan siang sekali di rumah Maria, tetapi Naima merasa sangat bersalah dan berdosa.

Ia menyesal karena tidak meminta Ezard untuk menemani berbelanja kebutuhan dapur sewaktu perjalanan ke sini. Dan tadi saat ia meminta Ezard menemaninya berbelanja ke pasar, pria itu malah menolak dengan alasan malas berjalan kaki dan baru mau pergi kalau mobil yang disewanya sudah tiba. Alasan tidak masuk akal yang digunakan suaminya tercinta itu sudah pasti akan membuat mereka mati kelaparan.

"Kalau tau begini jadinya, seharusnya kemarin kau langsung bawa mobil saja kesini, tidak perlu susah-susah pakai taksi." Naima bersungut lagi bersamaan dengan Ezard yang setia mendengarkan.

Pria itu berjalan pelan menuju rumah mereka, menikmati butiran salju yang jatuh ke rambutnya. Ia beberapa kali menyingkirkan bongkahan bunga salju yang menempel di rambut Naima.

Naima tersenyum malu ketika Ezard menciumnya di berbagai bagian di wajahnya, katanya, "Biar hangat." Ouchh! Jika sekarang tidak berada di dalam pelukan suaminya yang hangat, ia mungkin sudah mati membeku.

Dan juga sekarang, Naima tidak butuh makan malam. Ia sudah kenyang hanya dengan perlakuan lembut suaminya tercinta.

"Azura tidur?" Naima bertanya ketika mereka sudah masuk ke dalam rumah. Ezard menurunkannya dari gendongan dan langsung mengunci pintu.

Season Without You || Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang