Saya datang ke Rumah Sakit ini saat berumur 10 tahun.
Dari kecil saya memang memiliki kecacatan. Saya tidak memiliki kaki. Meskipun begitu, keluarga saya membelikan kaki palsu dan saya diminta untuk rutin mengikuti terapi di rumah sakit. Saya rasa itu bentuk atensi dan kasih sayang dari mereka kepada saya yang cacat ini.
Saya sangat suka buku bergambar.
Ayah biasanya yang membelikan buku-buku bergambar itu kepada saya. Lalu Ibu membacakannya kepada saya. Saya sangat suka dengan buku-buku itu bahkan ketika saya sudah menjadi Pasien di rumah sakit khusus ini.
Saya sudah sering bergonta-ganti kamar karena keadaan saya. Kadang ada yang tidak nyaman sekamar dengan seorang gadis tanpa kaki. Kadang saya yang tidak nyaman karena harus sekamar dengan orang yang tidak bisa menghargai cerita serta buku-buku bergambar saya. Semua orang yang pernah sekamar dengan saya menganggap saya orang aneh. Orang aneh tanpa kaki dengan fantasi liarnya.
Saat saya diberi tahu untuk pindah ke kamar Crysanthemum nomor empat saya sempat melihat wajah Ibu dan Ayah memucat. Mereka seperti mengetahui sesuatu tapi tidak mau memberitahu saya. Saya pun memaksa mereka dan akhirnya mereka mau memberitahu.
Kamar Chrysanthemum adalah kamar unik dan khusus. Kamar yang dibangun oleh pendiri Rumah Sakit untuk para pasien yang akan segera mati. Atau lebih tepatnya, sebuah kompetisi dan taruhan untuk melihat siapa yang akan mati.Saya tidak pernah mengira manusia bisa sekejam ini.
Malam itu, Ayah menceritakan semuanya kepada saya.
Yang saya tempati selama ini bukan Rumah Sakit. Ini adalah bagian khusus dari Rumah Sakit. Sebuah lab. Lab yang dibangun oleh para pendiri Rumah Sakit. Lab yang dibuat khusus untuk meneliti orang-orang dengan penyakit aneh mereka. Setiap Pasien yang ada di Lab ini sudah dibeli secara hukum dan disetujui oleh keluarga mereka yang artinya Ayah serta Ibu menjual saya ke Lab ini. Mereka mengatakan semuanya. Saya bukan cacat. Yang saya hadapi sekarang ini adalah penyakit.
Sebuah parasit yang tidak diketahui namanya menggerogoti kaki saya. Karena itu kaki saya selalu mengeluarkan cairan basah dan darah. Kaki saya tidak bisa disembuhkan. Parasit yang menggerogoti saya adalah sesuatu yang tidak biasa. Karena putus harapan akhirnya saya dijual ke Lab ini
Semua Pasien di Lab ini menderita penyakit yang tidak biasa. Dan mereka semua diteliti dan dijual alih-alih disembuhkan.
Saya merasakan perut saya seperti diputar-putar. Ayah berkali-kali meminta maaf, namun saya yang tidak tahu harus bagaimana tidak menanggapi ucapannya. Saya meminta Akane untuk menolak kunjungan mereka. Saya membenci mereka. Saya juga membenci fakta bahwa saya tidak tahu apa-apa selama ini. Selama berhari-hari sebelum saya pindah ke kamar Chrysanthemum saya hanya tidur, tidur, tidur, dan tidur. Berharap saya bangun di rumah dan sarapan bersama Ayah dan Ibu seperti biasa.
Sayangnya saya selalu bangun di kasur dengan warna putih yang memuakkan.
Akane beberapa kali menyemangati saya. Berkata saya harus rajin-rajin minum obat agar cepat sembuh dan semacamnya. Saya pun hanya bisa menatap obat berbagai warna di tangan saya dengan ragu. Saya bertanya-tanya apakah ini benar obat atau sesuatu yang sama kejamnya dengan Lab ini?
"Akane-Chan, saya bisa mempercayaimu kan?"
Akane terdiam.
"Maafkan aku Yashiro-Chan."
Tidak ada yang bisa saya percaya. Jadi saya hanya tertawa saat Akane menjawabnya seperti itu.
Hari di saat saya pindah ke kamar Chrysanthemum pun tiba. Akane mendorong kursi roda saya menuju kamar dengan pintu yang dilengkapi sensor khusus sehingga menimbulkan bunyi ngilu. Saya sendiri di kamar itu sampai minggu ketiga, dimana Amane-San muncul.
Saat saya melihatnya, muncul rasa kasihan. Dari pandangan mata Ambernya yang indah saya bisa tahu kalau Amane-san tidak tahu apa-apa soal kamar ini. Pertemuan pertama saya dengannya adalah sesuatu yang tidak biasa.
Amane-san yang malang.
Dari yang Akane katakan, jarak waktu hidup Amane-san sama dengan saya, kisaran 1 tahun. Artinya saat jam menunjukan pukul 12 malam di tanggal 31 Desember nanti, para Psikopat yang menonton dari kamera CCTV tinggal menunggu siapa yang akan mati duluan.
Jika saya mati, Amane-san akan diselamatkan. Jika Amane-san yang mati maka saya yang akan diselamatkan. Kata Akane, 4 dari 6 pendiri memilih saya sebagai pasien yang akan diselamatkan. Artinya hari-hari saya dan Amane-san disini hanya sebagai tontonan kebosanan mereka.
Permainan ini gila. Permainan ini kejam. Tidak manusiawi. Saya bahkan tidak tahu apakah orang-orang itu manusia atau bukan.Saya pernah membaca kalau ilmu pengetahuan bisa membuat seseorang lupa akan posisi mereka sebagai manusia. Manusia hanya mengetahui setetes air dari seluruh lautan. Tapi nafsu manusia ingin mengetahui segelas air dari seluruh lautan. Akhirnya menimbulkan kegilaan dan kekejaman. Mungkin saya akhirnya mengerti arti dari hal itu.
Saat Tsukasa-san datang, dia membawa Amane-san pergi ke taman. Jujur di dalam hati saya takut. Saya takut Amane-san akan mengetahui hal yang sebenarnya. Atau mungkin Tsukasa-san akan memberitahu yang sebenarnya. Saya takut. Saya takut.
Saya takut Amane-san tidak mempercayai saya lagi.
Di satu Rumah Sakit ini, hanya Amane-san yang bisa saya percaya. Hari itu saya tumben-tumbennya mengepalkan tangan dan berdoa kepada Tuhan yang sebenarnya saya ragukan keberadaannya. Saya berdoa semoga Amane-san dan saya bisa tetap berteman seperti biasa.
Tapi doa saya sepertinya tidak terkabul. Amane-san kembali ke kamar dengan pandangan kosong. Tsukasa-san pun diam dan keluar kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setelah saya keluar dari kamar mandi, Amane-san mengucapkan kata yang tidak ingin saya dengar.
Saya tidak tahu apa yang harus saya jawab.
Saya takut. Saya takut. Saya takut. Saya takut. Saya sangat takut.
Kemudian Amane-san tertawa. Saya kenal tawa itu. Tawa yang sama dengan tawa saya ketika Akane menjawab pertanyaan dari saya soal kepercayaan. Tawa yang sama. Tawa yang dipenuhi putus asa dan kesedihan. Amane-san memuntahkan isi perutnya yang perlahan-lahan diiringi dengan darah berwarna kehitaman. Gumpalan berwarna hitam yang saya percayai sebagai parasit turut ikut serta di muntahannya.
Saya tidak suka ini.
Saya ingin berteriak, memeluk Amane-san atau memegang tangannya dan berkata bahwa kita akan baik-baik saja.
Saya ingin kita baik-baik saja.
Tapi yang bisa saya lakukan hanya memencet tombol untuk memanggil suster. Akane dan Mitsuba datang, kemudian Suster Senior Yoko dan Dokter Tsuchigomori. Akane menarik saya keluar kamar. Suara orang-orang seperti menggema.
Beberapa pasien melongok keluar dari pintu kamar mereka, penasaran dengan apa yang terjadi. Saya menarik nafas dalam-dalam. Pintu kamar ditutup. Saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam.
Saya menutupi wajah saya dengan kedua telapak tangan saya. Saya tidak tahu apa yang saya rasakan. Ketakutan, kesedihan, kecemasan, keputus asaan, kesakitan, semuanya tercampur aduk menjadi satu.
Tatapan itu.
Sebelum pintu kamar tertutup, saya bisa melihat tatapan Amane-san. Tatapan yang sama dengan saya. Tatapan keputus asaan. Tatapan hampa. Sama seperti saya. Sama persis seperti saya. Seperti diri saya yang sangat amat saya benci. Saya menundukan kepala saya dan menjerit. Saya menjerit, membuka mata saya lebar-lebar, mengeluarkan seluruh air mata dan liur yang tertahan. Saya menjerit kencang, saking kencangnya Akane memanggil beberapa suster yang berjaga.
Saya menarik nafas
Ah, saya ingin mati.
Kemudian saya kembali menjerit. Ditemani dengan suara alarm rumah sakit yang menandakan Code black. Saya menjerit dan menangis.
†††
KAMU SEDANG MEMBACA
𝕆 ℕ 𝕀 𝕊 𝕄 『 Aᴍᴀɴᴇ Yᴜɢɪ X Yᴀsʜɪʀᴏ Nᴇɴᴇ 』[✓]
Fanfiction[ 𝑛𝑜𝑢𝑛 ] 𝑇ℎ𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑟𝑒𝑛𝑒𝑠𝑠 𝑜𝑓 ℎ𝑜𝑤 𝑙𝑖𝑡𝑡𝑙𝑒 𝑡ℎ𝑒 𝑤𝑜𝑟𝑙𝑑 𝑦𝑜𝑢'𝑙𝑙 𝑒𝑥𝑝𝑒𝑟𝑖𝑒𝑛𝑐𝑒. _________ "I want to die, but i have to Live." "I want to Live, but i have to die." Dua orang dengan sifat yang bertolak belakang bertem...