Sepi sekali.
Saya menatap keluar jendela. Salju sudah tidak turun lagi, artinya hari ini mungkin sekali lagi para Pasien dari kamar tertentu diperbolehkan untuk bermain di taman.
Harusnya kemarin giliran saya dan Amane-san yang turun. Saya sudah sangat menantikannya. Bermain dengan Amane-san yang unik dan berisik. Katanya Tsuchigomori-Sensei juga akan ikut menemani, jadi saya sangat amat menantikannya hingga tidak bisa tidur di malam hari.
Kasur di depan saya sekarang kosong seperti dulu. Kamar ini pun rasanya menjadi sangat luas dan sepi. Selama Amane-san menjadi pasien di kamar ini, saya sebenarnya terhibur dengan kehadirannya. Dia baik. Amane-san orang yang baik. Hanya saja dia agak sedikit konyol dan keras kepala. Tapi saya sangat suka dengan sosoknya yang hangat. Sayangnya karena kegilaan orang-orang, Amane-san yang tidak pantas mati akhirnya harus menanggung takdir yang pahit.
Pintu kamar yang berdecit di buka. Dari ujung mata saya melihat Tsukasa-San berjalan masuk ke dalam kamar dengan tatapan kosong. Saya menundukan wajah, tidak berani menatapnya.
"Halo Yashiro-chan."
Ah, dia menyapa saya.
Saya akhirnya mengangkat kepala saya. Iris coklat yang serupa dengan Amane-san menatap saya dengan ramah. Meskipun begitu saya tahu pasti Tsukasa-san menangis semalaman penuh ketika dia mengetahui kejadian pahit yang menimpa saudara kembarnya. Sebenarnya saya bertanya-tanya, kenapa dia menangis ketika sebenarnya tahu Amane-san akan mati?
"Bagaimana kabarmu?"
Saya menganggukkan kepala tanda kabar saya baik-baik saja. Tsukasa-san tersenyum lega.
"Terima kasih sudah menjadi Pasien sekamar Amane selama ini. Hari ini aku datang untuk menyampaikannya. Awalnya mau bersama ibu, tapi Ibu masih sedih sepertinya. Jadi aku datang sendiri."
"Bukan apa-apa. Saya senang kok ditemani dengan Amane-san."
Tsukasa-san tertawa. Tawanya terdengar patah-patah dan dipaksakan. Tapi saya tetap menganggapnya sebagai tawa. Iris ambernya yang serupa dengan Amane menatap saya dengan lurus. Meskipun begitu, saya tahu betul kesedihan yang ia simpan dalam tatapannya. Tsukasa-San pandai menyembunyikan emosinya dengan tawa, tidak seperti Amane-san. Amane-san selalu terang-terangan menunjukan ketidak sukaannya.
Tapi kali ini, kali ini pertama kalinya saya bisa membaca sorot mata Tsukasa-san yang biasanya seperti ditutupi oleh kabut. Sorot kesedihan dan kehilangan tidak bisa lepas dari tatapannya meskipun dia sudah berkali-kali meyakinkan saya bahwa dia tidak apa-apa.Saya ditawari Wagashi yang Tsukasa-san bawa sebagai wejangan untuk saya. Dengan sopan saya menolak manisan berbentuk kelinci yang terlihat lucu dan menarik tersebut. Nafsu makan saya turun belakangan ini, dan sepertinya Tsukasa-san sadar akan hal itu. Wagashi berbentuk kelinci ia letakan di meja kecil di dekat kasur saya. Topi baseball di kepalanya ia lepas. Tsukasa-san kembali mendudukan bokongnya di ujung kasur saya.
"Amane.... Orang yang menyenangkan ya?" Ia berujar pelan
Saya mengangguk sebagai jawaban. Tsukasa-san tersenyum lebar, terlihat senang akan jawaban yang saya berikan dalam diam. Ia memainkan topi berwarna biru di tangannya sambil tertawa. Namun tawa itu tidak berlangsung lama. Bahu Tsukasa-san bergetar setelah ia mengakhiri tawanya. Air mata turun dari iris ambernya. Kesedihannya seolah menular sehingga saya, tanpa sadar, ikut meneteskan air mata.
Sepertinya baik Amane-San dan Tsukasa-San sama-sama peka. Saat menyadari saya menangis Tsukasa-san memeluk saya lemah. Kini saya bisa mendengarkan isakannya dengan jelas. Mulut saya pun ikut mengeluarkan suara isakannya yang terdengar sangat jelek. Air mata kembali menemukan jalan keluarnya dari mata saya, dan mungkin ingus menjijikan yang bisa membuat hidung saya merah ikut keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝕆 ℕ 𝕀 𝕊 𝕄 『 Aᴍᴀɴᴇ Yᴜɢɪ X Yᴀsʜɪʀᴏ Nᴇɴᴇ 』[✓]
Fanfiction[ 𝑛𝑜𝑢𝑛 ] 𝑇ℎ𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑟𝑒𝑛𝑒𝑠𝑠 𝑜𝑓 ℎ𝑜𝑤 𝑙𝑖𝑡𝑡𝑙𝑒 𝑡ℎ𝑒 𝑤𝑜𝑟𝑙𝑑 𝑦𝑜𝑢'𝑙𝑙 𝑒𝑥𝑝𝑒𝑟𝑖𝑒𝑛𝑐𝑒. _________ "I want to die, but i have to Live." "I want to Live, but i have to die." Dua orang dengan sifat yang bertolak belakang bertem...