𝑪𝒉𝒓𝒚𝒔𝒂𝒏𝒕𝒉𝒆𝒎𝒖𝒎 𝑹𝒐𝒐𝒎 • 𝑫𝒂𝒚 00 : A Girl named Nene Yashiro

273 24 6
                                    

"Amane Yugi, Amane Yugi dari Kamar Peony 018 silahkan pindah ke kamar Chrysanthemum 004. Sekali lagi, Amane Yugi, Amane Yugi dari kamar Peony 018 Silahkan pindah ke kamar Chrysanthemum 004."

Aku menghela nafas.

Novel bersampul hitam ku tutup begitu mendengar Pengumuman pemindahan kamar. Aku melirik ke Pintu geser yang masih diam di tempat. Jika kuhitung mundur, Perawatnya akan datang dalam waktu dua menit. Dua menit waktu yang cukup bagiku untuk Pergi ke kamar kecil, atau mengemasi beberapa kudapan dari Saudara dan Ibuku. Tapi Aku lebih memilih mengeluarkan benda kotak pipih dari bawa bantal. Ponsel berwarna Space Gray kesayanganku. Benda ini berhasil aku selipkan ketika penjengukan pekan ketiga. Setelah menghasut saudaraku untuk membawakannya karena bosan.

Aku mengetik pesan singkat ke Ibu mengenai pemindahan kamar. Sebenarnya aku yakin mereka pasti sudah diberi tahu lebih dulu. Aku hanya ingin mengingatkan kembali. Apalagi mengingat Saudara kembarku yang ceroboh dan mudah lupa sampai kadang muncul hasrat ingin menjitak kepalanya. Sayangnya setiap kali hasrat itu muncul, dia pasti akan peka lalu meminta maaf. Alhasil keinginanku menjitak pun tertunda sampai sekarang.

"Hei, bukannya Peraturan Rumah Sakit sudah bilang tidak boleh mengirim pesan melalui Ponsel di ruangan Gedung Utama?"

Aku mendecak pelan menatap Perawat di ambang pintu. Seorang Mahasiswa magang, Minamoto Teru. Dengar-dengar sih dia dari Universitas Medis Ternama di sini. Orang-orang juga sering berkata bahwa Teru orang baik dan sopan, tapi, entah kenapa aku tidak pernah bisa akur dengannya. Perawatku sebelum Teru rasanya lebih menyenangkan. Kodama-San yang sudah Pensiun 5 tahun lalu saat diriku menginjak usia genap 16 tahun.

"Mau aku pakai di gedung utama atau tidak, kau juga pasti akan menegurku." Aku ngeyel, melempar ponsel milikku ke tangan Teru.

"Hahaha, jangan menilaiku jelek seperti itu," Teru tersenyum kecil

Kembali lagi aku mendengus kesal. Mataku menatap Teru dengan sengit, berharap tatapanku bisa membuat orang-orang ketakutan seperti para tokoh utama di buku cerita Tsukasa

"Aku berbicara kenyataan."

Teru tertawa pelan. Ponsel kesayanganku ia masuk kan ke tas khusus. Iris hijaunya menatapku, yang lebih muda 2 tahun darinya kesusahan untuk turun dari kasur rumah sakit. Teru menggeleng pelan. Tangannya kembali mendorong kursi roda menuju kasurku.
Dengan perlahan, Teru menarik tubuh ringkihku dari kasur. Membantuku untuk duduk di Kursi Roda. Kemudian dengan cekatan ia melepas semua peralatan medis yang tidak aku hafal namanya. Kantung infus, suntikan obat, botol minum, apalagi?

Aku hanya bisa melihat punggungnya bergerak kesana-kemari dengan cekatan seolah dikejar waktu. Mungkin Pasien yang akan ditempatkan di kamar ini sudah datang?

"Baiklah, ayo pergi,"

Aku mengangguk, membiarkan Teru mendorongnya keluar kamar. Seketika cahaya lampu menusuk mataku. Ringisan pelan aku keluarkan sambil mengusak iris coklat. Perih sekali. Apa ini artinya aku sudah terlalu lama diam di dalam kamar dengan lampu pencahayaan remang? Atau ini hanya pikiranku saja karena sebenarnya aku sangat amat ogah untuk pindah kamar.

Sekilas terlihat orang-orang di ruang tunggu Rumah Sakit. Perawat-perawat Senior yang sudah ku hafal wajah, umur serta namanya hilir mudik sambil membawa berbagai macam peralatan medis. Ada juga Perawat-perawat lain secara bersamaan mendorong kasur dengan noda darah. Aku yakin itu pasti satu dari sekian Pasien yang meninggal hari ini. Bukan hal aneh jika mendapati 15-20 orang Pasien meninggal di hari yang sama.

𝕆 ℕ 𝕀 𝕊 𝕄 『 Aᴍᴀɴᴇ Yᴜɢɪ X Yᴀsʜɪʀᴏ Nᴇɴᴇ 』[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang