12 | Prelude of Doubt

568 120 9
                                    

Jong Gun mengerjap beberapa kali, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam indera penglihatannya. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit dengan struktur baja terekspos. Jelas dirinya bukan berada di kamarnya, tapi Jong Gun cukup mengenali tempat yang akhir-akhir ini sering ia kunjungi. 

Menarik napas dalam-dalam, namun sesaat kemudian ia menggeram, merasakan nyeri yang menjalari tubuhnya. Kemudian ia menoleh ke samping, dimana masih terdapat space kosong pada ranjang yang tampaknya memang tidak disentuh si pemilik–tapi, hei, bukan berarti Jong Gun ingin tidur bersama Eleanor!

Pemuda itu bangkit, duduk di bibir ranjang. Mengumpulkan kesadarannya. Menelusuri setiap sudut ruang yang tidak ia rasakan kehadiran sosok lain di dalamnya. "Nak?" panggilnya, dengan suara parau, dehidrasi. Namun tidak ada jawaban yang ia dapat. 

Berdiri, Jong Gun mencari sesuatu yang dapat menyegarkan tenggorokan keringnya. Ketika ia melewati tengah ruang dan menoleh ke arah entrance, dirinya tetap tidak menemukan sosok Eleanor. 

"Dia pergi kemana?" gumamnya pada diri sendiri yang beberapa saat kemudian ia temukan jawabannya di atas meja makan. 

Jong Gun mengambil selembar kertas di atas meja makan yang di dalamnya terdapat pesan dari Eleanor. Perempuan itu menuliskan beberapa hal; yang pertama adalah Eleanor yang harus berangkat ke sekolah lebih awal pagi itu, lalu meminta maaf kalau sepanjang hari dirinya tidak bisa mengajarkan fine dining dan menyuruh Jong Gun untuk melihat video di internet saja, pada baris ke tiga terdapat nomor teleponnya, dan yang terakhir tidak lupa menyuruh Jong Gun menghabiskan sarapan yang telah disiapkan.

Menghela napas, ia kembalikan lembar kertas itu di atas meja, lalu menatap sarapan yang tampak masih hangat. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Rasanya aneh–dan asing–karena tidak biasanya seseorang menyiapkan sarapan untuknya. 

Ketika dirinya hendak menarik kursi untuk duduk, Jong Gun menemukan tas kertas yang ditaruh pada kursi itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika dirinya hendak menarik kursi untuk duduk, Jong Gun menemukan tas kertas yang ditaruh pada kursi itu. Melihat isinya dan mendapati pakaiannya yang kemarin baru dicuci telah terlipat rapi, dengan selembar kertas lain di dalamnya. Ia mengambil kertas itu dan membaca isinya, yang langsung membuatnya tersedak oleh ludahnya sendiri.

Aku tidak menyangka kau mesum,  Tidak ada kemeja atau kaos, dan langsung memakai coat, huh?   

.

IF WE WERE VILLAINS

.

"Apa yang kau lakukan akhir-akhir ini, Eleanor?"

Alih-alih menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya, si pemilik nama malah memindahkan sebidak pada papan shogi, mulai memberikan perlawanan. Ia membuang napas, lalu mendongakkan kepalanya untuk menatap seorang pemuda di hadapannya. "Mengerjakan sesuatu yang menarik," jawabnya.

Ada jeda singkat ketika dua pasang mata berbeda warna saling bersitatap. Ada yang janggal dari lawan bicara ketika menjawab pertanyaan dari dirinya, seperti bagaimana seseorang mengatakan sesuatu yang menarik untuknya tetapi dengan tanpa sinar mata yang menggambarkan ketertarikan itu sendiri? Maka ia menghela napas, lalu kembali bertanya, "Apakah hal menarik itu adalah menjadi relawan untuk kesuksesan perusahaan HNH?"

"Kalau sudah tahu jawabannya kenapa bertanya, Takashi?" kali ini Eleanor menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lainnya. Memandang lurus ke arah teman satu sekolahnya–Takashi, si kapten klub basket, putra kedua dari Todo Grup. 

"Aku, hanya tidak mengerti," suara pemuda itu setelah memindahkan posisi bidaknya menjadi bertahan. Kerutan pada dahinya tidak mengurangi ketampanan pada wajah itu.

"Apanya?" tanyanya dengan suara sedikit jengkel, karena mau bagaimana pun, dirinya tidak habis pikir dengan Takashi yang menyuruhnya datang ke sekolah lebih pagi hanya untuk mengajaknya bermain shogi dan menanyakan sesuatu yang tidak penting. 

"Sejak kapan kau melakukan sesuatu tanpa pamrih," ujar Takashi dengan suara baritonnya, "sejak kapan kau membantu orang lain?"

"Aku membantu orang tanpa pamrih," Eleanor tergelak di tengah-tengah kalimatnya, ia memindahkan bidak lain, "membantu kalian memenangkan winter cup, contohnya."

"Winter cup menjadi salah satu ajang bergengsi untuk sekolah menengah atas dan kau—" Takashi menghalangi bidak Eleanor yang telah siap memangsa jendral miliknya, menggagalkan usaha perempuan itu, "—memanfaatkan itu untuk mempublikasikan dirimu kan."

Kalimat itu lebih terdengar seperti pernyataan dibanding pertanyaan. Eleanor memilih untuk diam.

Namun, dalam beberapa hal, diam berarti membenarkan.

Dalam ruang berukuran empat kali lima itu, hanya terdengar bunyi 'ctak' setiap kali bidak-bidak pada papan dipindahkan. Takashi menyilangkan kakinya, kemudian ia kembali bersuara, "Apa kau menyukai orang-orang itu?"

Eleanor menggeleng pelan. "Tidak, tidak sama sekali," suaranya tenang.

"Kenapa?"

"Mereka, hanya sekumpulan orang-orang serakah."

Takashi menggulirkan matanya, melirik lawan bicara. Meminta penjelasan lebih.

"Yang menginginkan kekuasaan dan uang."

Kali ini Takashi menganggukkan kepalanya, memahami mengapa Eleanor berkata demikian. Setidaknya dua tahun dirinya mengenali perempuan itu, ia dapat mengerti bagaimana jalan pikir si lawan bicara.

"Lalu apa yang membuatmu tertarik?"

Eleanor menunjukkan raut berpikir yang jarang sekali terlihat. "Entahlah," katanya setelah terdiam beberapa saat.

"Tidak biasanya kau, tidak mengetahui sesuatu." Takashi memandang lawan bicara dengan heran. Namun tidak ada respon apapun hingga beberapa detik ke depan. "Aku tidak tahu apa tujuanmu kali ini. Tapi," jeda, terdengar helaan napas kasar, "Aku harap kau benar-benar tahu apa yang kau hadapi."

"Kau tetap akan berada di sisiku apapun yang terjadi," ujar Eleanor pelan tanpa memandang lawan bicara.

"Tentu," jawab pemuda itu tanpa keraguan dalam katanya.

Ctak, adalah bunyi terakhir dalam permainan pagi itu. Sebab, Eleanor menerima kemenangan sebagai haknya, yang mirip seperti bernapas. Tanpa bereaksi banyak selain sebuah senyuman puas yang sempurna tidak menggapai mata.

Meski demikian, untuk pertama kalinya dalam enam belas tahun hidupnya, Eleanor mempertanyakan tindakannya yang bahkan tidak ia ketahui dengan pasti jawabannya.

.

To Be Continued

.

Author Note:

Halo halo, selamat malam (❁'◡'❁) first things first, aku sangat-sangat berterima kasih kepada kalian yang telah meluangkan waktu membaca ini dan aku senang bila kalian menikmatinya. Tetapi, maafkan aku yang baru up setelah sekian purnama, karena ke-hetic-an dunia nyata, and it really makes me exhausted, once again i'm really sorry. Kedepannya, aku akan berusaha meluangkan waktu untuk menyelesaikan cerita ini, *tentu saja harus selese, cause I really am simping harder for Jong Gun*

Dan aku selalu berharap, semoga cerita ini dapat menghibur di waktu luang kalian.


Much Love

monoexcro

[LOOKISM] IF WE WERE VILLAINS | IND Ver.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang