Sudah lama Jong Gun tidak memerhatikan langit senja dengan tanpa kacamata hitamnya yang kini entah hilang kemana. Sampai-sampai ia tidak menyadari warna jingga yang berbaur dengan lembayung biru tua di minggu terakhir bulan November tampak sangat indah.
Angin yang membawa hawa dingin mengigit kulit-kulit tubuh bagian atasnya yang tidak tertutupi helai kain. Kemejanya robek tertarik lalu terlepas dan hilang begitu saja, sedangkan trouser hitamnya basah hingga lutut dan pasir-pasir pun menempel. Napas pendeknya membentuk gelungan-gelungan asap tipis di udara, dirinya kelelahan juga kedinginan.
Suara deburan ombak yang menyapu pasir-pasir pada bibir pantai, meninggalkan buih-buih yang menghilang begitu cepat. Saat itu tentu pantai lebih sepi dari bulan-bulan lainnya, dan walau memang samar di kejauhan dirinya masih dapat mendengar suara kendaraan atau derit roda besi kereta di stasiun setelah lampu merah terdekat.
Jong Gun memejamkan mata. Seharusnya, ini salah satu suasana yang ia sukai. Seharusnya. Kalau saja saat ia mengambil napas dalam untuk mengisi paru-parunya, tidak malah timbul sensasi denyut nyeri menjalari tulang-tulang rusuknya.
Babak belur.
Tidak. Sebenarnya tidak separah itu sampai dikatakan babak belur, hanya lecet sana-sini dan sedikit memar keungu-unguan. Yang seharusnya dikatakan babak belur adalah tiga puluhan orang-orang yang kini tergeletak, tersungkur, dan juga terombang-ambing di pinggir laut.
Meski begitu, satu sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyum miring. Bangga atas pencapaian sore itu yang dikiranya kemampuannya telah melempem, karena bahkan dirinya lupa kapan terakhir kali ia melayangkan tinju dan bertarung.
Tapi, meski begitu juga bukan berarti dirinya dalam standar kemampuan orang-orang biasa. Sebab, Jong Gun memang lebih kuat dari orang-orang yang kuat, bukan orang biasa lagi yang bisa disamakan dengan pemuda ini.
Luka-luka yang didapat kali inipun, karena lawannya berbeda dari biasanya. Orang-orang yang terkapar itu berusia dua kali lipat lebih tua darinya, lebih profesional, dan mereka semua adalah mafia–benar-benar mafia yang membawa senjata tajam!
Sedangkan Jong Gun bertarung dengan dua tangan kosong dan sendirian.
Lalu terdengar suara tepuk tangan yang dibuat-buat, menyebalkan.
"Ow, sayang sekali aku melewatkan pesta di sini."
Jong Gun menoleh ke belakang, dan menemukan sosok Joon Goo duduk pada beton pembatas antara daerah berpasir dengan aspal, menyunggingkan senyum lebar.
"Sialan, kemana saja kau?" desis Jong Gun, kesal.
Benar, mereka sedang menjalankan tugas bersama di daerah pesisir yang jauh dari pusat kota. Namun, setelah mereka keluar dari dalam mobil dan berpisah untuk mencari tempat si pembelot yang merugikan perusahaan HNH. Jalan yang dipilih Jong Gun sedari awal adalah perangkap yang telah direncanakan dan malah menarik perhatian sebagian besar pria-pria yang sudah ia kalahkan itu.
Sedangkan Joon Goo, setibanya ia di depan markas, malah tidak ada siapapun yang berjaga, padahal ia sangat menantikan untuk bertarung.
Joon Goo membenarkan letak kacamatanya. Mengangkat tangan yang membawa sebuah kotak besar. "Aku mengumpulkan dokumen-dokumen penting mereka," ia tertawa, "dan tidak lupa sejumlah uang."
Menghela napas panjang. Jong Gun menahan diri untuk tidak memijat pangkal hidungnya. Setidaknya, rekan kerjanya yang satu ini menghasilkan sesuatu. Ia beranjak. "Kita kembali sekarang," ucapnya, melompati pagar beton.
Joon Goo bersiul santai, mengekori rekan kerjanya. "Omong-omong, kenapa aku belum melihat perempuan yang katamu dipekerjakan CEO Choi?"
Mendengarnya, Jong Gun memincingkan mata. Menyisir ke belakang helaian rambut yang menjuntai berantakan menutupi sebagian dahinya dengan jemari tangan. Ia mengedikkan bahu. "Entahlah," jawabnya enggan. Yang direspon dengan decakan oleh si rambut pirang. Mempercepat langkahnya dan masuk ke dalam mobil, ia segera memakai long coat cadangan di kursi belakang dan menyalakan penghangat.
![](https://img.wattpad.com/cover/238969951-288-k532299.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[LOOKISM] IF WE WERE VILLAINS | IND Ver.
FanficPark Jong Gun adalah sebuah ketakutan yang terbentuk dari gemerlap kota Seoul. Diusianya yang baru menginjak sembilan belas tahun, dirinya memiliki segalanya. Menjadi otak di balik pendanaan yang di dapat dari dunia gelap untuk Perusahaan HNH, dan t...