08 | As Black as Obsidian

716 160 11
                                    

"Keluarga He adalah keluarga konglomerat yang mendirikan Grup He. Kini dipimpin generasi keempat yang menikahi seorang Baronetess Eropa," Eleanor menjelaskan sembari memilah sesuatu dalam box kayu, "So, kita akan menghadapi seorang Lady yang menyukai dansa Waltz." ia berdiri, mengeluarkan piringan hitam dari wadahnya dan meletakkannya pada turn table yang terletak tidak jauh dari grand piano. "Dansa Waltz dengan gaya Eropa tentunya."

Jong Gun yang masih duduk pada sofa, memandang Eleanor. "Apa itu Baronetess?"

"Gelar kebangsawanan Eropa," jawab Eleanor singkat. "Tanyakan yang tidak kau ketahui, sebelum aku menjelaskan yang lain."

"Wanita itu seorang bangsawan? Seperti yang ada di buku sejarah?" tanya Jong Gun tidak percaya, karena kalau memang seperti itu, berarti ini akan menjadi kali pertama dirinya bertemu seorang bangsawan.

Eleanor menganggukkan kepala. "Yah, singkatnya seperti itu. Tapi, tidak perlu terlalu menyanjungnya," Eleanor meminum kopinya yang tersisa setengah gelas, menaruhnya lagi di atas coffee table. "Ada pertanyaan lain?"

"Aku tidak peduli dengan Waltz itu, jadi lanjutkan." Jong Gun menyilang kedua tangan di depan dada.

Menghela napas. Eleanor yang kini memakai sweat pants hitam dengan kaos putih kedodorannya, berbalik untuk menyalakan turntable, dan musik klasik mengalun memenuhi ruangan. Mengecilkan volume. Beralih ke dapur dan mengambil lilin juga pematik dari dalam laci.

Jong Gun mengerutkan dahi.

"Dansa Waltz, bukan dansa yang rumit," katanya sambil menyalakan lilin itu dan menaruh pematik di atas coffee table. "Wanita berdiri di sebelah kiri pria, enam langkah dasar, itu saja."

"Lalu untuk apa lilin itu, nak?"

"Waltz tidak rumit. Kesulitannya terletak pada gerakannya yang cepat namun lembut dan halus," jeda, ia melirik Jong Gun yang masih memerhatikannya, "sehingga api lilin takkan padam di tangan pemimpin dansa." Kali ini Eleanor menghadap Jong Gun. Menatapnya. "Kemari. Kenapa kau duduk terus?"

Tanpa mengatakan apapun, Jong Gun berdiri, mendekati Eleanor.

"Genggam tanganku," perintahnya, merentangkan tangan yang memegang lilin.

Menghela napas, Jong Gun lebih memangkas jarak di antara mereka, ia menggenggam tangan Eleanor.

"Letakkan tanganmu yang lain di sini." Eleanor mengarahkan tangan Jong Gun yang bebas, menuju pinggang rampingnya. "Lebih naik, dekat tulang belikatku. Dan aku memengang lenganmu," katanya sembari merapatkan tubuh mereka. "Sekarang ikuti langkahku."

Canggung dan dengan sangat kaku Jong Gun mengikuti langkah Eleanor. Satu, dua, tiga, dan berulang. Rasanya aneh, tentu, karena dirinya tidak pernah belajar menari sebelumnya, dan tidak pernah terpikir olehnya untuk belajar.

"Aww! Jangan injak kakiku!" seru Eleanor, setiap kali Jong Gun tidak sengaja menginjak kakinya, dan wajah kecilnya bertubrukan dengan dada bidang Jong Gun.

"Pelankan sedikit langkahmu," balas Jong Gun dengan nada kesal. Dia tidak pernah menyukai hal-hal seperti ini, sama halnya dengan pelajaran di sekolah.

Eleanor kembali menuntun langkah Jong Gun. Mendorong kaki pemuda itu dengan ujung kakinya. "Rasakan musiknya dan hafalkan langkahnya."

Tidak ada yang berbicara setelahnya. Hanya ada alunan musik dan langkah kaki yang menyeret–menghafal.

"Aww! Kau berat dan kau menginjak kakiku dengan penuh tenaga," gerutunya, namun masih menuntun Jong Gun.

"Aku bahkan tidak bisa melihat kakimu, nak!"

[LOOKISM] IF WE WERE VILLAINS | IND Ver.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang