Aku hanya bisa tercenung melihat Disty menata makanan di atas meja tamu yang tersedia di ruanganku. Senyuman manis tak henti menghiasi wajah itu selagi dia asyik dengan aktivitasnya di sana.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku.
Dia menegakkan tubuhnya untuk menatapku.
"Keliatannya apa, mas? Aku menyiapkan makan siang untuk mas Al," jawabnya, sembari menuangkan jus ke dalam gelas.
"Aku tidak menggajimu untuk ini..." ucapku.
Dia terkekeh pelan dan berjalan menghampiriku.
"Mas Al hampir nggak pernah meninggalkan ruang kerja. Kalo mau makan pun selalu minta dibeliin sama OB. Sedangkan aku selalu makan sendiri di depan. Jadi nggak ada salahnya kalau kita makan bareng aja di sini, kan, mas? Nggak keberatan, kan?" tanyanya.
Aku menggeleng pelan.
"Bukankah ini merepotkanmu?" tanyaku, beranjak dari meja kerja menuju sofa.
"Sama sekali enggak. Aku suka memasak..." jawabnya sambil berjalan di belakangku, kemudian mengambil duduk di hadapanku.
"Kapan tepatnya kamu memasak? Kamu selalu sudah ada di kantor setiap aku tiba," tanyaku saat dia mulai menyendokkan nasi dan lauk-pauknya ke piringku.
"Anggaplah aku wanita yang suka bangun pagi..." jawabnya dengan senyuman yang tampak memperindah wajah cantiknya.
Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya.
"Kamu selalu berbuat baik pada siapa saja, ya?" tanyaku.
"Hanya pada orang-orang yang membuatku tertarik..." jawabnya, dengan senyuman yang tiba-tiba membuat jantungku terasa aneh. Tapi, cobalah untuk mengabaikannya.
Aku menghela napas perlahan sebelum menyuap makanan yang dihidangkannya ke dalam mulutku.
"Enak, nggak, mas?"
Aku tersenyum dan mulai mengunyah.
"Aku belum pernah memakan masakanmu yang terasa tidak enak..." jawabku.
"Itu karena aku selalu memasak dengan sepenuh hati kalo buat mas Al..." jawabnya.
Entah apapun itu yang meluncur dari mulut gadis muda di hadapanku ini, selalu terdengar tulus dan manis.
"Kok senyum aja, mas?" tanyanya.
Apakah aku masih tersenyum?
"Apa masakanku mulai bisa menyentuh hati mas Al?" tanyanya.
"Makanan itu masuknya ke lambung dan terus ke usus, Disty. Bukan ke hati..."
"Tapi bisa aja memberikan efek tertentu kepada hati, mas..."
Aku menghela napas. Kurasa aku tak bisa menang jika berdebat dengan dia.
"Setelah ini, apa pekerjaanku masih banyak?" tanyaku saat kulihat dia mulai mengunyah makanan.
Menyelesaikan kunyahannya terlebih dahulu, dan dia menjawab.
"Ada dua berkas yang perlu mas tanda tangani. Setelah itu, free. Dan meeting dengan klien hari Senin..." jawabnya lalu kembali melanjutkan aktivitas makannya.
Aku mengangguk dan melanjutkan makan.
"Apa rencana mas Al untuk besok?"
"Besok?" tanyaku.
"Besok kan Sabtu alias libur. Biasanya mas Al ngapain?" tanyanya.
Aku berpikir sejenak, kemudian menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Match!
RomanceKetika Rivaldo Diwangkara -CEO tampan yang masih gagal move on dari adik iparnya sendiri- bertemu dengan Kania Radisty, gadis muda yang gigih mengejar cintanya.