Aku hanya bisa menatap horror pada tumpukan berkas yang bertengger dengan rapi di atas mejaku, yang baru saja ditata oleh Stefan, dengan senyuman menjengkelkan yang menghiasi wajahnya.
"Lo mau gue mati bosan?" tanyaku.
Dia terkekeh pelan. "Bapak tau sendiri berapa lama bapak mangkir dari pekerjaan bapak, kan?" suaranya terdengar menyindir.
Aku hanya bisa mendecak sebal. Kenapa aku punya asisten tak tau hormat begini? Kenapa aku tidak diberi sekretaris cantik saja untuk sekedar menghibur mataku saat pekerjaan membuatku menderita?
"Gue pikir Ando yang bakal handle ini semua sementara gue meng-handle masalah dia. Ternyata semuanya tetep jadi urusan gue. Gue memang malang. Sedikitpun dia nggak menginjakkan kaki tak sopannya itu di sini, ya?" tanyaku.
"Pak Ando mampir satu kali.." jawab Stefan, masih berdiri tegak di hadapan meja kerjaku.
"Apa yang dilakukannya?" tanyaku penasaran.
Stefan tampak berfikir. "Saya rasa tidak ada. Hanya menyapa saya, dan entah kenapa mengucapkan terima kasih kepada saya.." jawabnya, tampak ragu.
"Terima kasih?"
Dia mengangguk. "Sepertinya beliau mengatakan sesuatu semacam 'ternyata menjadi asisten itu tidak mudah' dan 'aku berhutang banyak padamu', seperti itu."
Aku tercenung. Ando berbicara seperti itu? Sepertinya dia banyak berubah, ya?
Aku menghela napas. "Ternyata dia merindukan lo, ya.." gumamku.
"Mulai hari ini beliau bertugas di lantai 5, pak.." sambung Stefan.
"Ya, gue udah dengar dari papa," jawabku, dan mulai mengambil berkas di tumpukan teratas untuk mulai kupelajari.
"Saya rasa sebaiknya saya meninggalkan bapak untuk berkonsentrasi dengan pekerjaan bapak. Dan saya bisa mulai mengatur jadwal meeting bapak dengan klien.." Stefan mengangguk hormat, sebelum beranjak meninggalkan ruangan.
"Fan!" panggilku, membuatnya menghentikan langkah, dan berbalik menghadapku.
"Berapa kali harus gue bilang untuk jangan terlalu formal sama gue? Lo udah jadi temen gue sekarang!" tukasku, menatapnya lurus.
Entah kenapa pria muda itu tak bisa berhenti bersikap kaku dan formal pada siapa saja.
Dia menyunggingkan senyuman kecil di bibirnya.
"Saya sangat merasa terhormat, pak. Tapi saya tetap ingin menjaga profesionalitas saya. Dan seperti yang selalu dipesankan oleh ayah anda, saya harus mengingatkan anda untuk tidak ber-elo-gue dalam rapat.." ucapnya, dengan nada menyebalkan yang sudah sangat kumaklumi.
"Terserahlah!" aku mengibaskan tangan dengan tak peduli. "Tolong minta OB membuatkan secangkir kopi susu untuk-KU!" lanjutku, menekankan kata 'ku' di akhir kalimat.
Stefan tersenyum miring, dan mengangguk paham sebelum berlalu ke ruangannya.
Baiklah, saatnya berperang melawan semua berkas yang akan menyakitkan mataku ini!
*
"Kelihatannya lo sibuk banget sampai nggak sempat keluar makan siang?" suara seseorang yang terdengar bersamaan dengan suara pintu ruangan yang terbuka membuatku menoleh, dan menemukan Ando sedang bersandar di salah satu sisi dinding di dekat pintu.
Aku melirik arlojiku yang ternyata sudah menunjukkan pukul 1, kemudian mendengus pada Ando yang sekarang sudah berdiri di depan mejaku.
"Bukankah elo yang menyebabkan gue mesti kerja keras menyelesaikan pekerjaan gue?" tanyaku sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Match!
RomansaKetika Rivaldo Diwangkara -CEO tampan yang masih gagal move on dari adik iparnya sendiri- bertemu dengan Kania Radisty, gadis muda yang gigih mengejar cintanya.