Chap 4

5.4K 555 237
                                    

Tubuh mungil itu jatuh terduduk diatas permukaan lantai yang dingin. Dengan wajah yang sudah mendongak, tatapannya terkunci pada beberapa anak kecil yang sedang berdiri sembari tertawa dan melemparkan ejekan terhadapnya.

"Hahahah! Lihat matanya aneh!"

"Iya matanya aneh! Mata putihnya persis seperti mata Kakek penjaga toko diseberang jalan!"

"Jangan-jangan dia buta? Uwaaah, hebat!"

"Kalau dia buta, dia tidak akan sekolah 'kan? Dia pasti katarak!"

"Ahahahahh!"

Ejekan itu selalu didapatnya saat berada di Sekolah. Entah apa yang sudah dilakukannya, tapi anak-anak itu selalu saja mengganggu dan mengatainya. Padahal ia tidak pernah berbuat salah pada mereka.

"Isshin." sebuah bola menghantam wajah bulatnya yang terlihat meringis. Dilihatnya sosok yang melemparinya bola itu ternyata sosok yang barusan ia coba panggil.

"Jangan panggil namaku, dasar mata aneh! Ayo teman-teman kita pergi!"

Lekas setelah itu, keempat bocah tersebut pergi meninggalkan sang bocah raven yang terlihat tertunduk di lantai. Bibirnya tergigit mencoba untuk menahan isakan yang semenjak tadi berusaha keluar dari celah bibirnya.

Keningnya memang sakit, tapi lebih sakit lagi dadanya yang semenjak tadi terus nerdenyut nyeri. Bahkan di Sekolah pun, Isshin saudaranya tidak pernah menganggap keberadaannya sama seperti ketika mereka berada di rumah.

Ada perih yang ia rasa ketika hinaan itu diterimanya, namun perihnya akan berkali lipat lebih terasa saat mereka yang menghinanya juga turut mengabaikan keberadaannya.

Dengan tubuh yang bergetar, bocah raven itu mencoba untuk berdiri. Ia tidak ingin terlambat masuk kelas karena jika ia terlambat, teman sekelasnya akan mengatainya dan semakin menjauhinya.


.....




Sakura menatap pemandangan melalui kaca jendela kamar mewahnya. Tatapannya kosong seolah raga itu tak berpenghuni. Mengedarkan pandangan, tatapan yang sebelumnya terlihat kosong itu berubah menyendu.

"Kamar ini terlalu dingin."

Gumaman itu dibarengi dengan hadirnya senyum kecut yang terpatri di wajah cantiknya. Entah sejak kapan, kamar yang seharusnya terasa hangat berubah menjadi sangat dingin. Padahal dulu, Sakura selalu menghabiskan waktu bersantainya di kamar bersama Sasuke. Mereka akan berbagi tawa dan kehangatan bersama namun sekarang?

Sasuke tidak pernah lagi menginjakkan kaki di kamar yang seharusnya menjadi kamar mereka.

Ya, Sasuke memutuskan untuk pindah ke kamar lain yang terhubung dengan kamar Hige putranya.

Mengingat nama Hige membuat Sakura merasa sakit. Sakura sudah berusaha untuk bersikap biasa pada bocah copyan sang suami. Ia sudah berusaha bersikap sebagaimana seorang Ibu terhadap anaknya tapi tak bisa. Setiap kali Sakura menatap Hige, ia selalu merasa diingatkan akan kegagalannya menjadi seorang wanita seutuhnya. Ia yang tidak bisa memberikan Sasuke keturunan harus rela mengurus anak yang bukan darah dagingnya, melainkan darah daging wanita asing yang beruntung bisa mengandung benih sang suami.

I LOVE ❤Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang