Tengah malam itu, kembang api memang masih memercik. Suara musik memang masih mengiringi langkah kaki tergesa para wartawan. Bahkan beberapa kamera masih menyorot dan dengungan percakapan dalam berbagai bahasa terdengar susul-menyusul.
Tapi, tak ada seorang pun yang menyadari seorang Karin Laksita menyingkir dari keramaian dan meninggalkan sang manajer—yang baru saja gelarnya turun menjadi 'mantan manajer'.
Semburat merah yang melingkari mata Karin kini tertutup tudung jaket. Kepalanya menunduk seiring langkah buru-burunya berderap menuju ruang pribadinya.
Usai mengunci pintu, dia bersandar di baliknya. Ruangan itu begitu hening, begitu terasa sempit dan kecil, sampai-sampai tegukan salivanya terdengar jelas. Hampir saja dia menitikkan air mata yang sempat ditahannya apabila dua ketuk pintu dan suara halus yang familier tidak mendatanginya.
Netra Karin menangkap seorang gadis dan seorang lelaki sesaat setelah pintu terbuka. Gadis berambut terurai itu langsung memeluk Karin erat, seolah menyiratkan salam perpisahan. Karin sedikit terhuyung ke belakang.
Barangkali gadis itu memang mengucapkan salam perpisahan yang mendalam. Mau tidak mau, dua perempuan itu meneteskan kristal bening, hingga seluruh riasan wajah luntur.
Kejadian itu tak berjalan terlalu lama. Seorang laki-laki berkacamata yang terlihat tersisihkan menginterupsi, "Lega, Rin?"
Karin melepaskan pelukan sambil mengangguk kecil. "Sudah selesai. Aku bisa fokus belajar sekarang."
Gadis di sebelah Karin langsung mengembuskan napas berat. "Aku bakalan kesepian di sanggar balet."
"Mana mungkin kesepian?" Karin sedikit terkekeh, mengerling ke lelaki berkacamata. "Setiap latihan ditunggu Adi, kan?"
"Tapi dia nggak ikut menari. Seorang Adimas Bayu nggak bisa masuk hitungan."
Adi meringis. "Tapi kamu tetap butuh aku, Ochilda Vivian."
Dari matanya yang sembab, Karin tahu Ochi memaksakan tawa. "Kita lihat nanti—"
"Ochilda. Giliran kita diwawancarai."
Ketiganya menoleh ke sumber suara. Karin spontan menundukkan kepala. Itu koreografernya. Karin bisa merasa bersalah lagi bila berpapasan dengannya.
Seolah tahu maksud gelagat Karin, Ochi dengan cepat mengikuti wanita itu.
"Aku harus tunggu dia di ruangannya." Adi tersenyum. "Omong-omong, ada seseorang yang kurang diperhatikan di sini," dia menoleh ke kiri, "orang Indonesia. Dari sanggar Madera."
Karin melangkah ke luar. Seorang laki-laki asing berdiri di hadapannya. Dalam penerangan minim pun Karin tahu pesonanya bukan main. Rambut hitam berombak rapinya serta-merta membuat Karin mengelus hidungnya sendiri; selalu begitu ketika grogi. Sejak kecil, Karin selalu menyukai gaya rambut pria semacam itu. "Maaf. Ochi terlalu ekspresif tadi."
"Santai." Dia mengulurkan tangan. "Aksa Megantara."
Karin membalas jabatan itu. Tangan Aksa begitu mantap. "Karin Laksita."
"Sebenarnya kamu nggak perlu mengenalkan diri. Kamu makin tenar sekarang. Mana mungkin ada yang nggak kenal?"
Ingin rasanya Karin menangis lagi sekarang. Baru saja dia melupakan pengumuman kemenangannya di Asian Grand Prix tahun ini yang disambung dengan pernyataan bahwa dirinya akan meninggalkan dunia tari dan fokus sekolah.
"Aku duluan, ya." Adi menepuk pundak Karin dan Aksa bersamaan sebelum pergi.
Adi sialan! Karin memaki. Dia tahu betul kalau aku sulit cari topik pembicaraan.
"Jadi ...." Nada suara Aksa gampang ditebak Karin. Ciri-ciri orang yang punya banyak pertanyaan dan sedang sibuk memilah-milah mana yang ditanyakan terlebih dahulu. "Cuma karena ingin fokus sekolah, kamu sampai mengorbankan usahamu bertahun-tahun?"
Meskipun sudah menyiapkan jawaban jauh-jauh hari, pertanyaan itu terlalu menyakitkan untuk diabaikan. Karin menggeleng. "Saya ingin masuk Fakultas Kedokteran. Harus rajin belajar untuk itu, Mas—"
"Tunggu. Jangan panggil Mas." Kata Aksa. "Kita satu angkatan."
Karin tercengang selama beberapa saat. Jas yang Aksa gunakan mengesensikan kesan dewasa. Ditambah keterangan Adi yang menyebutkan kalau Aksa berasal dari sanggar Madera, salah satu dari 20 sanggar menari terbaik di Indonesia. Karin kira Aksa sudah bekerja, atau minimal sedang kuliah di semester akhir. "Maaf. Aku kira kamu manajer atau orang-orang tinggi di Madera."
Karin merasa salah ucap ketika air muka Aksa berubah. "Memang manajer di Madera, kok." Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu. "Ini kartu namaku."
Karin bisa saja mati karena terlalu malu saat ini juga. "Maaf."
"Kita baru ketemu tapi kamu sudah bilang maaf tiga kali." Ucap Aksa setengah berbisik. "Ada masalah?"
"Oh, nggak," Karin melambaikan tangannya. "Heran saja. Kamu sudah kenal Adi mulai lama? Adi nggak pernah cerita apa-apa tentang kamu."
Aksa menahan tawa. "Kami barusan kenalan di bangku penonton. Waktu sama-sama sadar kalau satu negara dan punya jagoan yang sama, kami langsung cocok."
"Adi selalu begitu." Gumam Karin. Matanya kemudian bertemu dengan mata cokelat teh milik Aksa yang tajam, dibingkai alis tebal. Sejenak, dia amat kagum pada lelaki itu. Bagaimana mungkin remaja kelas 12 bisa menjadi manajer di sanggar ternama?
"Aku lupa," Aksa menjulurkan tangannya lagi. "Selamat. Kamu pantas dapat medali emas—"
Begitu tangan kanan Karin hendak menjemput tangan Aksa, nada dering panggilan telepon menginterupsi. Milik Aksa. Dia segera menjauh beberapa langkah dan mengangkat teleponnya.
Sementara menunggu Aksa selesai, Karin melesat ke dalam dan becermin. Wajah cantiknya kini berantakan—Karin sudah tahu kejadian ini sedari tadi, tapi dia membiarkannya. Kulit putihnya memunculkan jejak air mata berwarna hitam. Dengan cekatan, Karin membersihkannya hingga tak ada lagi yang tersisa.
"Rin?" Aksa memasuki ruangan. "Ayahku sudah menunggu. Bawa saja kartu namaku. Siapa tahu nanti kamu minat balik lagi ke dunia tari tapi nggak tahu harus ke mana."
Dia bilang 'siapa tahu', batin Karin. Dia terlihat yakin kalau aku bakal kembali menari.
"Sampai nanti, Rin. Mungkin kalau kamu ke Jakarta bisa mampir ke Madera."
Kikuk, Karin membalas lambaian tangan Aksa, kemudian melirik kartu nama tadi. Baru kali ini dia berkenalan dengan orang-orang selain wartawan di ajang perlombaan. Baru kali ini pula dia berbicara 4 mata dengan orang yang baru dikenal—biasanya bersama Adi atau Ochi atau keduanya.
Belum sempat Karin memasukkan kartu itu ke tas, pintu kembali diketuk.
Sedetik ketika Karin membukanya, seorang pria tua berjanggut lebat terlihat terkejut. "Lho, ini ruangan kamu?"
Karin menaikkan alis, lantas menunjuk pintu. Tertera namanya dalam huruf kapital dan dicetak tebal. "Mungkin Bapak sudah lelah sampai salah ketuk pintu." Sedikit terpaksa, Karin meringis. Dia sudah lelah juga. "Memangnya cari ruangannya siapa, Pak?"
"Oh, nggak. Saya cuma cari orang." Orang itu memainkan ponselnya. "Maaf mengganggu, ya."
Setelah pria berjenggot itu berlalu, Karin mengembuskan napasnya. Semoga nggak ada lagi yang datang.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Seharusnya Kita Tak Pernah Bersua
Lãng mạnSeharusnya Karin tak perlu memenangkan Asian Grand Prix beberapa bulan yang lalu, agar Aksa tak mengenalnya dan memintanya masuk ke Madera, sanggar menari milik orang tua Aksa. Seharusnya kantor pusat Madera tak perlu pindah ke Yogyakarta, agar Aksa...