"Tampil di prom?" Ochi menimang-nimang.
Raut muka Adi terlihat menyetujui. Aksa mengusap-usap dagunya seperti kakek-kakek mengusap janggutnya. Karin berharap Ochi bisa menerima permintaannya tersebut.
"Boleh." Ochi tersenyum lebar.
Meski dugaannya benar, Karin tetap terkejut. "Serius?"
"Katamu, permainan Aksa terlalu baik untuk dilewatkan." Ochi mengacungkan jempolnya. "Kami pasti jadi perpaduan sempurna." Kemudian, dia melirik takut-takut ke Adi.
"Santai. Hanya Aksa." Adi tergelak. Tangannya merangkul Ochi. "Kapan audisinya?"
"Masih lama." Jawab Karin cepat. "Tapi, kita harus mendaftar sepulang sekolah. Hari ini tenggat terakhir pendaftaran."
Bertepatan dengan itu, bel berakhirnya istirahat berbunyi nyaring.
"Kita langsung kumpul di stan OSIS nanti." Karin melambaikan tangan ke Adi dan Ochi. Bersama Aksa, dia berjalan menuju Gedung IPA.
"Sudah kubilang, Ochi pasti menerimanya." Karin tak bisa menyembunyikan cengirannya. "Betapa hebatnya kalian di panggung nanti."
Aksa terkekeh. "Dia bahkan belum pernah melihatku bermain piano. Apa yang membuatnya pasrah begitu saja?"
"Itu bukan pasrah namanya." Karin masuk terlebih dahulu, lalu berjalan mundur ke bangkunya. "Itu insting seorang wanita."
"Insting wanita, ya?" Aksa memutar bola matanya. "Nggak mungkin. Kamu pasti memaksanya," Mereka duduk di kursi masing-masing, kemudian Aksa melanjutkan ucapannya, "jujur saja."
"Rupanya kamu tipe orang yang tidak mudah percaya." Karin mencibir.
"Ini insting seorang manajer." Aksa mengetuk pelipisnya. "Aku harus punya mindset seperti itu biar nggak mudah ditipu jika ada pihak yang ingin bekerja sama."
Karin masih saja mencibir. "Kalau itu benar, aku sangat membenci insting manajer milikmu."
"Terkadang, kita nggak tahu siapa saja yang berbohong, Rin." Aksa mengeluarkan buku pelajarannya dari tas. "Saat itulah kita harus memakai insting sebelum memutuskan."
"Sekarang, aku nggak hanya membenci instingmu." Karin tertawa kecil. Tangannya ikut mengeluarkan buku. "Kamu juga menyebalkan, Aksa. Baru kali ini aku kalah berdebat dengan laki-laki selain ayahku dan Adi."
***
Apabila bel istirahat adalah kebun ajaib, maka bel pulang sekolah terasa seperti surga. Baik bagi para siswa, maupun para guru.
Karin dan Aksa segera melesat menuju stan OSIS yang berada di teras aula. Ochi dan Adi berjanji akan segera menyusul setelah mengumpulkan tugas di ruang guru.
Teras aula tampak ramai. Barisan panjang melintang, terlihat menyesakkan.
Melihatnya, Aksa tergagap. "Mereka ...?"
"Setiap tahun selalu begini." Karin menyeret jaket Aksa untuk segera berbaris. "Banyak yang ingin tampil, Aksa. Selain bisa meningkatkan popularitas, gaji penampil itu luar biasa banyaknya."
"Tunggu. Apa?" Aksa memelotot. "Jadi, kamu memintaku ikut seleksi cuma buat dapat uangnya?"
"Aku nggak bakal minta sepersen pun honormu." Sedikit kesal, Karin meninju lengan Aksa. "Janji. Aku cuma nggak mau menyia-nyiakan bakatmu, padahal aku tahu kamu punya potensi."
Aksa menahan tawa. "Terima kasih sudah memuji." Sedetik kemudian, wajahnya kembali menegang. "Kamu bilang kalau hari ini hari terakhir pendaftaran, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seharusnya Kita Tak Pernah Bersua
RomanceSeharusnya Karin tak perlu memenangkan Asian Grand Prix beberapa bulan yang lalu, agar Aksa tak mengenalnya dan memintanya masuk ke Madera, sanggar menari milik orang tua Aksa. Seharusnya kantor pusat Madera tak perlu pindah ke Yogyakarta, agar Aksa...