{2} Sang Pianis

6 4 1
                                    

"Karin. Kamu dipanggil Pak Aminin di ruangannya."

Karin mendengus. Anak yang menyampaikan berita itu langsung berlalu tanpa memberikan keterangan mengapa Karin dan Pak Aminin harus bertemu.

Sambil membereskan meja, Karin berkata pada Aksa, "Aku harus pergi sekarang."

"Terus tur-ku?" Aksa melirik sinis.

"Minta tolong ke ...." Karin mengedarkan mata dan ibu jarinya. "Satria!"

Laki-laki berambut kribo di sisi lain kelas, menoleh. "Apa?"

"Temani Aksa keliling, ya."

"Aku masih mabar, Rin." Satria menjatuhkan pandangan, kembali ke ponselnya. "Kecuali kalau dia mau tunggu lima belas menit."

"Nah, sabar, ya, Sa." Karin meringis, menepuk-nepuk pundak Aksa. "Dia wakil ketua kelas yang bertanggung jawab. Kalau lima belas menit belum selesai, tendang saja mukanya. Atau minimal tumpahkan air ke ponselnya."

Aksa melongo. "Si kribo itu wakilnya?"

Tiba-tiba, sebuah sepatu terlempar, kemudian jatuh di meja Aksa.

"Hatiku tertohok, Sa!" Satria memasang tampang tersakiti. Dia lalu berdiri. "Ayo. Kita berangkat sekarang."

Selepas keduanya meninggalkan kelas, Karin termangu, mengingat-ingat apa masalahnya dengan Pak Aminin, guru kesiswaan SMA Mayapada.

***

Ternyata lebih buruk.

Karin memang tidak memiliki masalah apa pun, tetapi perkataan Pak Aminin barusan berhasil merobohkan seluruh sendi tulang Karin.

"Saya tunggu jawabanmu hari Senin. Sekarang, kamu pulang dan pikirkan baik-baik."

Karin tak memberi respons. Dia langsung berjalan menuju kelasnya di Gedung IPA.

Baru kali ini kepalanya terasa seolah mengangkat berton-ton beton. Beton-beton itu mengimpit sel-sel otaknya hingga Karin tak bisa berpikir jernih.

Kalau saja aku nggak melakukan—

Dengan cepat Karin menggeleng, mengenyahkan pemikiran itu. Membuangnya jauh-jauh.

Nggak. Apa pun yang terjadi, aku harus menolaknya. Lantas, dia menampar pipinya keras. Tapi ini kesempatan emas sekaligus yang terakhir.

Nggak. Kondisimu belum stabil untuk berpikir. Mari kita pulang, istirahat sejenak, memakan beberapa cemilan, menonton film, mendengarkan musik—

Bertepatan dengan itu, alunan piano memasuki sistem pendengarannya.

Karin menjengit. Belum pernah dia mendengar nada sehalus ini. Tiap-tiap tutsnya ditekan tanpa celah. Runtut. Tidak menyayat, namun terdengar sedih, sekaligus memberi semangat. Karin bersumpah, kalau saja tidak ada orang yang bersantai di kantin, maka dirinya akan hanyut dalam harmoni dan menari indah saat ini juga.

Penasaran siapa orang di balik lagu ini, Karin mulai mendekati sumber suara. Hanya ada satu ruangan berpiano sekolah. Ruang Musik.

Makin dekat, suaa itu makin keras. Lebih bagus pula ritmenya.

Tatkala membuka pintu ruangan, Karin tercengang.

Entah sepelan apa Karin menggeser pintu hingga laki-laki itu tak acuh. Jemari-jemari Aksa lincah menari di atas tuts, selincah tupai yang melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Yang paling membuat Karin salut adalah: Aksa memejam, kepalanya mengadah, dan dia membiarkan tangannya yang beraksi. Tidak ada buku panduan atau apa pun itu yang memandunya. Herannya lagi, Karin merasa tak ada satu pun not yang terlewat, padahal Karin pun jarang memainkan alat musik sejenis piano.

Tak mau mengganggu, Karin memutuskan duduk di kursi guru.

Aksa tetap terdiam. Dan—Karin tahu—Aksa mulai mengembangkan senyum. Mungkin dia mulai merasakan hawa kedatangan seorang Karin Laksita.

Bagaimana dia bisa setenang itu? Aku bahkan merinding mendengar permainan pianonya, batin Karin.

Beberapa menit berselang, musik itu memelan, kemudian not terakhir ditekan.

Spontan Karin bertepuk tangan sambil menggeleng kecil. "Menakjubkan."

Aksa tersenyum. "Aku tersanjung. Terima kasih pujiannya."

Karin berjalan mendekat, kemudian besandar ke piano. "Mana Satria? Agenda kelilingmu sudah selesai?"

"Tinggal sedikit, tapi aku ditinggal. Dia diajak main basket." Aksa mengambil tasnya. "Gara-gara malas pulang dan mumpung ada piano di sini," laki-laki itu menekan beberapa not acak sekaligus, "kuputuskan buat main setengah lagu. Eh, ternyata keterusan."

"Hebat." Karin bedecak kagum. "Dengan kemampuan sebagus itu, aku yakin seratus persen kamu bisa tampil di prom."

Aksa tersipu. Dia menggaruk tengkuknya. "Aku yakin banyak yang lebih bagus—"

"Tiga tahun sekolah di SMA Mayapada, aku nggak pernah ketemu pianis seperti kamu."

"Prom masih lama. Masih bisa dipikir masak-masak—"

"Kata siapa?" Karin menyela. Gadis itu menyondongkan tubuhnya ke arah lawan bicaranya. Mimiknya berubah menjadi serius. "Ini sekolah elit, Sa. Semuanya disiapkan matang-matang, dan selalu jauh-jauh hari." Lalu dia memonyongkan bibir. "Kutebak, kamu belum lihat papan mading di dekat aula."

Aksa menggeleng. "Kenapa memangnya?"

Sedikit kesal, Karin memukul piano pelan. "Pendaftaran audisi penampil prom dibuka mulai besok, Sa. Pecuma kamu punya bakat tapi nggak ditunjukkan. Ini tahun terakhir kita jadi murid SMA, lho!"

Pemuda itu terkekeh. "Kenapa kamu nggak daftar juga? Jadi penari solo?"

"Itu ...." Karin kehilangan kata-kata. "Kusarankan kamu mendaftar besok."

Lagi-lagi Aksa menggeleng sambil tertawa kecil. "Pengalihan topikmu mulus juga." Gumamnya.

Sebuah lampu kuning muncul di kepala Karin. "Kamu bisa duet bareng Ochi. Suara dia bagus bukan main!"

"Ochi?" Aksa mengernyit. Satu tangannya menunjuk pintu, tanda dia ingin kembali ke kelas dan mengambil tas. "Ochilda Vivian maksudmu? Dia bisa nyanyi?"

"Jangan meremehkan sahabatku." Karin mulai melangkah. Aksa mengikuti. "Dia juara lomba menyanyi sewaktu classmeeting akhir tahun."

"Bisa bahaya kalau Adi cemburu." Aksa bergidik. "Aku nggak mau jadi orang ketiga. Apalagi Adi teman pertamaku di sini."

"Adi nggak bakal cemburu. Berani taruhan, dia juga pengin lihat kalian duet kalau tahu kamu bisa main piano."

Aksa menimang-nimang lama sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum. "Kita tanyakan ke Ochi besok. Kalau dia mau, aku juga mau. Tapi, kalau dia menolak ...." Aksa mengulurkan tangannya, "aku juga nggak bakal mau tampil di prom."

Karin langsung menjabat tangan Aksa. "Oke. Setuju."

Keduanya kemudian terbahak.

Sejenak, Karin melupakan masalahnya dengan Pak Aminin.[]

Seharusnya Kita Tak Pernah BersuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang