Hanya dibutuhkan waktu 10 menit untuk berjalan menuju sekolah, tetapi Karin selalu memilih berangkat pagi-pagi. Alasannya cuma satu: Mencari keramaian. Suasana perumahan terlalu senyap baginya yang biasa berada di tengah-tengah gemuruh tepuk tangan.
Melewati toko elektronik di pinggir jalan, hati Karin mencelus. Berita tentang mundurnya dari dunia tari masih disiarkan melalui televisi yang dijajarkan dibalik kaca toko, padahal kejadiannya terjadi 4 bulan yang lalu.
Meski tak terdengar suaranya, Karin tahu apa yang disampaikan si penyiar. Sebentar lagi dirinya akan tampak keluar dari Gedung Youth Square, lalu video menarinya di panggung akan diputar. Si penyiar akan mewawancarainya sebelum gadis itu masuk ke mobil dan melesat ke hotel.
Karin sudah hafal urutannya. Bahkan seekor cecak yang baru saja merayap pun pasti mengerti—dan bosan karena beritanya selalu ditayangkan untuk sampel.
Karin berjalan lagi menyusuri trotoar. Dihirupnya setiap wewangian yang muncul—bau roti panas dari toko roti di dekat pertigaan yang berpadu dengan partikel-partikel asap mobil dan motor. Sedikit bau rokok dari preman-preman di mulut gang—beruntung mereka membiarkan Karin lewat pagi ini.
Melewati gang selanjutnya yang lokasinya beberapa meter dari sekolah, langkah Karin berhenti. Seorang bocah lelaki berbaju compang-camping mengadahkan tangan ke arah Karin. Karin menggeleng pelan dengan wajah malas, lantas bocah itu berjalan menghampiri orang lain.
Awal tahun kali ini nggak ada bedanya dengan tahun kemarin, batin Karin.
Begitu matanya menatap gedung sekolah di seberang jalan, hati Karin kembali terasa hampa. Mobil-mobil mewah masuk dan keluar, motor-motor berharga fantastis kebanyakan membawa 2 orang—laki-laki yang mengemudi dengan perempuan yang memeluk pinggang orang di depannya. Banyak yang jalan kaki dan turun dari bus. Semuanya memakai seragam yang tampak baru. SMA Mayapada selalu jadi sekolah elit yang punya citra mengesankan.
Tidak ada lagi wartawan, tidak ada lagi bunyi derapan langkah terburu-buru, tidak ada lagi cegatan. Barangkali hanya inilah yang menandakan awal tahun. Atau ... ada lainnya? Semoga saja ada kejutan lain yang menunggu setelah bel berdering. Karin tak terlalu suka hidup yang mulus.
Namun, tak ada yang spesial tatkala Karin memasuki kelas 12 IPA 2. Kawan-kawannya melakukan aktivitas yang sama seperti tahun lalu—ada yang bermain gim di pojok ruangan, ada yang mengobrol di depan kelas, ada yang belajar.
Karin berjalan ke bangku paling belakang, di samping jendela besar yang menampilkan suasana koridor yang ramai. Tidak ada tas di sana. Karin yakin, teman-temannya selalu memilih tempat duduk yang sama selama 3 tahun.
"Karin!"
Untuk kesekian kalinya, Karin melonjak ketika nada familier itu terdengar. Dia menoleh ke arah jendela yang kini terbuka. Ochi menjulurkan kepalanya. Adi meringis di belakangnya, menunjukkan ekspresi minta maaf ke seluruh penghuni kelas yang terlihat terganggu.
"Gendang telingaku bisa robek kalau kamu selalu begini." Karin menggerutu, kemudian mengerling ke Adi. "Lain kali cegah pacarmu teriak-teriak di kelasku."
Ochi memonyongkan bibir. "Kita lama nggak ketemu, Rin. Wajar kalau aku terlalu semangat."
Padahal kita nonton konser bareng 3 hari yang lalu. Lama dari mananya?
"Katanya kelas 12 IPA bakal ada anak baru, Rin." Adi bersandar ke dinding. "Kalau dia masuk kelasmu, paling nanti kamu disuruh muter-muter sekolah."
Karin mengernyit. "Tahu dari mana?"
"Tadi ada anak masuk Gedung Guru. Dia pakai jaket, tapi sudah kelihatan kalau seragamnya beda. Di kelasku banyak cewek yang muji-muji. Kata mereka: Ada cogan IPA baru. Ganteng." Adi lalu memberikan cengiran. "Hati-hati kepincuk, Rin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seharusnya Kita Tak Pernah Bersua
RomantizmSeharusnya Karin tak perlu memenangkan Asian Grand Prix beberapa bulan yang lalu, agar Aksa tak mengenalnya dan memintanya masuk ke Madera, sanggar menari milik orang tua Aksa. Seharusnya kantor pusat Madera tak perlu pindah ke Yogyakarta, agar Aksa...