{4} Merenung

6 3 3
                                    

Dalam kegelapan, Karin merenung di kamarnya, mengingat kembali kata-kata guru kesiswaan dua hari yang lalu. Jendelanya terbuka lebar, tetapi tidak ada satu pun bagian kulitnya yang kedinginan, padahal angin malam hari itu benar-benar menggigilkan. Suara cecak-cecak di dinding turut menyuramkan putaran kalimat demi kalimat Pak Aminin dalam benaknya.

"Saya ingin mengajukan kamu untuk menjadi perwakilan SMA Mayapada di kontes menari tahun ini."

Bulu kuduk Karin seketika meremang. Alisnya terangkat. Pak Aminin juga pernah memintanya mengikuti lomba di akhir tahun lalu. Dan, tentu saja, Karin menolaknya mentah-mentah.

Tahun ini, sepertinya kejadian yang sama akan terulang. Kali ini harusnya lebih tegas.

Sebelum Karin sempat membuka mulut, Pak Aminin berkata, "Ini salah satu dari lima kontes menari terbesar di Yogyakarta, Karin. Lagipula, kamu juga bisa mendapat tambahan sertifikat. Banyak anak di luar sana yang ingin bernasib sama sepertimu."

Mata itu menyiratkan harapan. Senyum Pak Aminin terlihat tulus.

Asian Grand Prix kemarin sudah cukup untukku, batin Karin. "Lalu, kenapa tidak mereka saja yang mendapat kesempatan tahun ini? Saya sudah memenangkannya saat kelas sepuluh."

Tanpa Pak Aminin menjawab pun, Karin sudah mengetahui alasannya.

Pak Aminin membenarkan letak kacamatanya. Tatapannya berubah pias. "Kamu yang terbaik di sekolah ini."

Dan, juri-juri sudah jelas menjadikan aku juara. Siapa yang tidak mengenalku? Karin membatin lagi. Bukankah itu yang hampir semua sekolah cari; popularitas, dengan sedikit memaksa muridnya?

"Bisa beri saya waktu untuk berpikir, Pak?" Karin pura-pura meringis. "Tarian tradisional-modern, bukan? Saya harus banyak menonton tarian di internet terlebih dulu."

Pak Aminin mengembuskan napasnya. "Baik. Saya tunggu jawabanmu hari Senin. Sekarang, kamu pulang dan pikirkan baik-baik."

Mengingat kejadian itu, Karin membalik tubuhnya, membenamkan kepala ke bantal. Seharusnya ini menjadi persoalan yang mudah. Tetapi, entah mengapa, hatinya kini bergemuruh dan diliputi rasa gusar, tidak setegas tempo hari.

Gadis itu meremas seprainya, gemas.

Kenapa aku jadi begini?

Kemudian, ponselnya berdering. Karin segera menengoknya.

Dua pesan. Dari nomor tidak dikenal.


<Unknown>

| Hai!

| Betul ini nomornya Karin Laksita?


Karin tersentak. Jemarinya bergetar saat mengetik balasan.


<Karin Laksita>

Iya. |

Ini siapa? |

<Unknown>

| Oh, syukurlah.

| Aku Aksa. Simpan nomorku, ya:)


Karin langsung lega. Dia kira, ada wartawan lain yang lagi-lagi meminta kebenaran ucapannya di Asian Grand Prix, saat dia memutuskan untuk fokus ke cita-citanya menjadi dokter.

Seharusnya Kita Tak Pernah BersuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang