Sekolah

19 8 6
                                    

"Hidup memang rumit. Apalagi jika harus dijalani oleh orang abnormal yang sering dipandang sebelah mata."

.
.
.
.
.

Langkah kaki seorang gadis berambut hitam terhenti tepat di depan gerbang sekolah berwarna biru dan hijau. Sangat ceria, tetapi itu tetap bukan hal yang bisa Silla sukai. Mengingat entah ada berapa banyak hal baru yang akan ia temui nantinya. Belum tahu hal baru itu baik atau tidak. Semua begitu sulit untuk diterima.

Mengingat takdir yang membuat Silla hanya bisa bertumpu pada Debby, cukup menyadarkan Silla akan posisinya. Hanya mereka yang ia punya, dan apa yang sudah Debby—Aji lakukan untuknya ia merasa sangat berhutang budi. Suatu hari, ia akan membahagiakan mereka, begitulah tekad dari gadis berpipi tembam itu. Namun, jika ingin membahagiakan mereka, maka ia harus terbiasa juga dengan dunia luar. Sebenarnya, pilihan untuk bersekolah ini tidak sepenuhnya buruk.

Sudah dua belas tahun terkurung, mungkin ini menyebabkan pola pikir Silla sangat lugu. Beruntung tetuah yang diberikan oleh Debby tadi saat sarapan, mampu menyihir sedikit sisi kelam Silla. Gadis itu sekarang mulai berusaha menerima dunia yang kejam ini.

"Siap?" tanya Debby dengan nada ceria. Cukup membangun semangat Silla, walau sedikit.

Silla mengangguk singkat. Jika boleh jujur, ini pertama kali ia berseragam, dan pertama kali ia berbaur dengan anak seusianya. Tidak tahu bagaimana jadinya. Jantung Silla berdegup kencang tatkala ia mulai melangkah memasuki area sekolah.

Tubuhnya menegang seketika waktu mendapati banyak sekali sosok yang ia hindari selama ini. belasan tahun. Sosok makhluk yang hanya bisa dilihat sebagian orang. Langkah Silla kaku saat seorang anak kecil berbaju tidur biru muda penuh darah berjalan ke arahnya. Tidak, anak itu belum sadar tentang Silla yang bisa melihatnya. Sampai saat mereka hampir menabrak satu lama lain, gadis itu refleks berhenti.

Hal ini mengalihkan atensi seorang Debby yang ada di samping Silla. Serta makhluk kasat mata lainnya. Seolah mendapatkan makanan baru semua makhluk itu menyeringai ke arahnya. Gadis itu sontak meremas tangan Debby yang sejak tadi ia genggam. Membuat wanita berkepala empat itu meringis kesakitan. Ia menoleh mendapati Silla yang mengedarkan pandangannya dengan netra yang bergetar hebat. Gadis ini ketakutan.

Debby sadar akan perubahan sikap keponakannya. Lantas wanita itu mencondongkan tubuhnya mendekati Silla. "Apa pun yang Silla lihat sekarang, jangan pedulikan, tetap fokus. Karena semua murid ngeliatin kita," bisik Debby yang mampu menyadarkan Silla dari ketakutannya.

Mereka kembali melanjutkan langkah. Menuju kantor kepala sekolah untuk menyerahkan formulir yang kemarin diserahkan kepada Debby untuk diisi. Semua pandangan mata menangkap presensi Silla dan Debby yang berjalan menyisiri koridor. Tatapan itu menuai banyak pendapat, ada yang menatap penasaran, kagum, serta sedikit iri, walau Silla sendiri tidak tahu kenapa mereka menatapnya begitu.

Perpaduan warna biru muda dan hijau pupus, mewarnai masa remaja yang indah. Sekolah ini memang cocok untuk membangkitkan Silla dari keterpurukan. Sepanjang ia berjalan melintasi koridor, Silla dibuai oleh warna seragam hijau pupus—biru muda yang indah. Rok—celana berwarna cerah yang sangat memanjakan mata.

Langkah Silla kembali tercekat saat melihat sesosok wanita berambut panjang dengan tubuh kurus berkulit hitam yang gosong terbakar, wajahnya juga hitam, mata merah serta gigi yang tajam, membuatnya semakin seram jika menyeringai. Sosok itu terlihat merangkak di jalan koridor yang sedang Silla lewati.

Dua DuniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang