Happy reading.
“S..siapa Om?” tanya Zoya.
Bagai di sambar petir, Ia masih tak percaya dengan yang di katakan Om ferry. Kenapa Ayahnya tega melakukan ini? Dan kenapa? Seakan-akan Ayah memiliki dendam kepada Bi Eci.
“Adriyan Dabith, seorang pengusaha kaya di kota ini. Aneh, kenapa dia mengincar seorang pembantu? Kamu kenal Zoya?”
Zoya terdiam. “Ya? Lo kenal?” tanya Yeo.
“Dia Ayahku,” jawab Zoya.
Yeo dan Om Ferry sangat terkejut, Zoya bingung harus bagaimana sekarang. Badanya terasa lemas mengetahui bahwa Ayahnya sendiri yang dalang dari semua ini.
“Tenang dulu Ya, jangan nething dulu.” kata Yeo.
“Om juga sudah temuin tempat dimana Bi Eci disekap, kita bisa menyelinap ke sana malam nanti. Om akan hubungin temen Om dari pihak kepolisian, kita harus jaga-jaga. Karena di sana area jauh dari penduduk.”
“Kenapa gak sekarang aja Om? Aku gak bisa jamin keadaan Bi Eci, aku tau bagaimana Ayah. Dia tak akan segan melukai siapapun yang mengusik ketenanganya,” ucap Zoya.
“Kita tidak bisa gegabah dulu Zoya, kalo kita sekarang ke sana kemungkinan rencana nya akan gagal. Peluang lebih banyak, jika kita pergi menyelinap malam nanti,”
“Zoya, lo tenang dulu oke? Nanti malam gue jemput ke rumah Lo,” ujar Yeo.
Setelah semua rencana tersusun, Yeo dan Zoya langsung pulang. Yeo mengantarkan Zoya.
“Sampai sini aja,” ujar Zoya.
“Kenapa?”
Zoya tak menjawab, ia langsung membuka pintu mobil dan berjalan keluar. Yeo mengela nafas, Zoya sedang tidak baik-baik saja. Ia harus sabar, sabar mengahadapi cewek seperti Zoya.
Yeo memandangi kepergian Zoya, ia beranjak saat Zoya sudah benar-benar masuk ke dalam gerbang rumahnya. Setelah itu Yeo menancapkan gas nya pulang.
Zoya masuk dengan keadaan yang sangat hancur, ia merebahkan tubuhnya ke sofa rumahnya. Kenapa rumah sepi? Saat asyik dalam pikiranya, tiba-tiba Zela berdiri di hadapan Zoya dengan bersidekap dada.
“Ada apa?” tanya Zoya.
“Bikinin gue makanan,”
“Lo bisa bikin sendiri,” ujar Zoya.
“Kalo ada lo kenapa harus gue? Cepet bikinin! Gue laper,”
Sabar, hanya itu yang sekarang dipikiran Zoya. Ia berjalan ke dapur tanpa mengganti bajunya terlebih dahulu. Saat membuka kulkas tidak ada bahan makanan satu pun, ia pun mencari sesuatu di laci. Ada mie instan, ia pun segera memasaknya.
Selesai memasak, Zoya mengantarkan makanan ke kamar Zela. Zela sedang bermain handphone meja belajarnya. Zela meletakkannya di meja samping Zela.
“Apa an nih! Masa Cuma mie instan?”
“Di kulkas gak ada bahan makanan lain, terpaksa Kakak masak itu.”
Praangg
“Gue gak mau makan itu!!”
Zoya tidak bisa menahan amarahnya lagi, ia rela memasakkan makanan untuk Zela walaupun ia sangat lelah. Semua itu semata-mata tau bahwa ia sangat sayang terhapada Zela, tapi kenapa semua terasa sia-sia seperti ini?
“Kakak udah cukup sabar menghadapi kamu Zel, aku ini Kakak kamu loh. Gak seharusnya kamu bersikap seperti ini,”
“Kata siapa? Lo bukan Kakak gue inget. Lo cuman anaknya Ibu bukan Ayah, jadi gak harus ya gue anggep lo Kakak. Lo Cuma saudara tiri!”
Cukup! Zoya sangat hancur, berkali-kali ia mendengar itu. Ia tak mau membahasnya lagi hari ini. Serpihan kaca bekas piring di lantai ia bereskan, jari nya berdarah tak sengaja terkena serpihan tersebut.
Ia menahan untuk tidak menangia di depan Zela, biar bagaimanapun ia tak mau terlihat lemah di hadapan orang yang membencinya. Zoya harus kuat!
Saat membersihkan lukanya di ruang tamu, ia melihat kedatangan Ayahnya. Ia terlihat begitu sibuk, dengan handphone yang menempel di telinganya.
Seketika rasa marah menghampiri ku, sebenarnya aku sangat ingin menghampirinya dan menamparnya sekuat tenagaku. Tapi aku harua bisa menahannya sekarang, semua akan kulakukan nanti saat waktunya tiba.
“Zoya!!” panggil Adriyan dengan suara lantang.
Zoya menghampiri Ayahnya di dapur “Iya yah?”
“Ini kenapa gak ada makanan? Saya pulang kerja, lelah!! Seharusnya kamu harus bisa mengambil tindakan jika tidak ada Bi Eci ataupun Ibumu!!”
“Sebe-“
“Ahh sudahlah!! Dasar anak tak berguna!!”
Benar kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonya. Sama persis seperti Zela, tidak mau tau dan tak mau mendengarkan terlebih dahulu apa yang Zoya bicarakan.
Adriyan pergi ke ruang kerjanya, Zoya bingung harus bagaimana? Apa membuatkan mie instan? Tapi apa Ayahnya mau? Zela saja tidak mau apalagi Ayahnya.
Lebih baik diam. Ia kembali merebahkan tubuhnya di sofa, menatap langit-langit ruang tamunya. Semua yang Zoya lakukan selalu salah, tidak ada pembenaran sedikit pun di mata semua orang.
Bayangan untuk menyerah kembali menyerang pikiranya. Kadang kala ia merasa sangat lelah untuk kembali berjuang, semua tak akan semudah membalik kan telapak tangan. Tapi Zoya yakin, jika ia terus berjuang dan berdoa. Semua senantiasa ada jalanya.
Lama terdiam di sofa, Zoya merasa tubuhnya sangat lengket. Ia pun segera menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Selesai mandi, ia menuju balkon kamarnya. Disana, dia bisa melihat jelas bintang-bintang diatas sana.
Bisakah Ayah Leo melihatnya sekarang? Hancurnya hati Zoya, sulitnya hidup Zoya.
“Andaikan Ayah masih ada, mungkin Zoya tak sehancur ini. Pasti Ayah akan selalu menyayangi Zoya, tidak seperti mereka.”
“Ayah... Zoya ingin ikut Ayah,” perlahan air matanya luruh.
“Di sini tak ada yang menyayangi Zoya,”
Mungkin air mata memang sudah menjadi teman dalam kehidupanya. Selalu menetes, Zoya sebenarnya tak ingin terlihat lemah seperti ini. Tapi bagaimana? Posisi ini sangat menyiksa nya.
“Tapi... Masih ada tugas Zoya yang belum terselesaikan Yah, jika suatu saat nanti semuanya sudah selesai. Mungkin Zoya akan segera ikut Ayah Leo.”

KAMU SEDANG MEMBACA
ANDAI
Dla nastolatków[ FOLLOW DULU SEBELUM BACA ] [ JANGAN LUPA VOTE & KOMEN JIKA KALIAN TERTARIK DENGAN CERITA INI ] Zoya Mecca Talhisa Si pecinta senja dan pembaca novel cinta. Mungkin hidup nya tak seindah senja, dan mungkin serumit novel cinta yang ia baca. Tapi, bu...