Delapan

704 59 2
                                    

—Orion William

Keluar dari kamar dengan bersamaan, entah bagaimana bisa. Aku melepas tangan dari gagang pintu, begitu juga yang kulihat dilakukan oleh Lea.

Perasaan canggung menyergap diriku. Berdeham, aku tidak melihat hal serupa dari Lea. Dia justru tampak berseri di wajahnya yang jelas terlihat kurang tidur.

Ada apa dengannya? Apa aku tidak salah lihat? Dia tampak bahagia. Apa? Begitukah? Ke mana wajah tertekannya setiap pagi sebelum menjelang sarapan?

“Tuan butuh sesuatu?”

Aih, sial! Sepertinya aku tertangkap basah sedang memperhatikannya tanpa berkedip. “Tidak ada. Aku hanya tidak suka dengan warna jam tanganmu. Sebelum kau tiba di meja makan, ganti dengan yang lain. Jam bertali kulit hitam yang kuberikan padamu itu lebih bagus.” Aku mengambil langkah lebih dulu. Menutupi gugupku lewat cara yang mendiktenya.

Aku sengaja menunggu Lea di lorong sebelum ruang makan. Jika tidak masuk bersama, Gistara akan membuat suasana sarapan semakin merusak pagiku dengan tatapannya yang sangat menghina Lea, dan aku sungguh tidak suka itu.

Tidak ada yang boleh memberikan tatapan seperti itu pada Lea selain aku. Jika dia mencoba ingin menyingkirkan Lea, hadapi aku dan seribu caraku yang akan menggagalkan niatnya.

Kuberitahu, sebenarnya, Gistara tidak pernah setuju bila Lea tinggal  di rumah ini, bahkan berada di satu meja makan dengan kami.

Otty Kamea. Dia yang pertama kali mengusulkan agar Lea tidak sarapan atau makan malam di dapur bersama pelayan lainnya. Karena bagi Otty, Lea adalah teman seumuran.

Gistara menolak dengan tegas dan keras. Wanita sinting itu baru berhenti ketika aku juga menyetujui usulan Otty dan ayah menganggukkan kepalanya dengan cepat saat itu, menyatakan dukungan. Kami menang, tentu saja.

Lea muncul, tampak tergesa ke arahku. Sepertinya dia juga tidak hanya mengganti jam tangannya sesuai perintahku, tapi ikut merapikan rambut panjangnya menjadi lebih cantik. Tampak segar dengan gaya rambut ekor kuda.

Aneh sekali melihatnya peduli pada penampilan ketika aku bahkan tidak memprotes apapun mengenai hal itu.

Apa sesuatu terjadi semalam setelah aku keluar dari kamarnya? Apa kepala elayan memberitahukan hal rahasia pada Lea mengenai aku? Ah, tidak, tidak. Kepala pelayan tidak mungkin berani mengambil risiko sebesar itu.

Lea tampak bersemangat dengan raut wajah ceria, meski aku tahu dia sedang menahan rasa kantuk.

Awas saja! Jika kutemukan sebab dia menjadi seperti ini, kupastikan dia akan mendapat hukuman yang setimpal di kantor nanti.

Ketika kakiku melangkah masuk ke ruang makan, suara seseorang yang bagiku tidak pernah berubah, menurunkan suasana hatiku menjadi buruk, sangat buruk. Hanya dalam sekejap.

Benar, dia kembali. Dia pulang ke tempat seharusnya dia berada. Adik laki-laki berbeda ibu denganku, Mallory William. Dia kakaknya Otty Kamea. Mereka berdua anak dari Gistara Gauri. Istri kedua ayahku.

Aku harus merasa bahagia karena kepulangannya? Tidak, tidak akan. Lalu apa aku harus menyambut kembalinya dia ke keluarga William? Oh, tentu tidak perlu. Aku tidak akan sudi melakukannya.

Jadi aku membencinya? Tidak. Tidak juga. Dia bahkan tak menyentuh apapun itu yang berkaitan dengan perusahaan.

Meski Otty menunjukkan ketertarikannya pada bisnis keluarga sejak tahun lalu, tapi aku tahu, dia tidak akan membahayakan posisiku sama sekali.

Aku melacak Otty lebih jauh dari siapapun yang bisa mengiranya. Adik perempuanku itu dapat dengan mudah ditebak. Dia juga setegar karang. Tidak akan mampu dihasut oleh Gistara. Sudah bertahun-tahun wanita sinting itu mencobanya, tapi tetap saja Otty mengabaikannya.

𝐎𝐡, 𝐌𝐲 𝐌𝐚𝐢𝐝! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang