Empat

1.5K 97 4
                                    

—Orion William

Ibu tampak lebih kurus dari sejak hampir empat tahun kami tidak bertemu. Dia tetap tersenyum lembut padaku, seperti dulu. Seperti saat dia pergi meninggalkan rumah karena ayah membawa wanita lain. Wanita kedua masuk ke rumah kami bersama seorang putra ayah yang berusia dua tahun di bawahku.

Walau aku tahu ibu sangat terluka, tapi senyum itu tetap tidak sirna dari wajahnya ketika dulu ibu berpamitan padaku dan memintaku untuk tetap tinggal mengawasi ayah dan menjadi putranya yang membanggakan. Dan sekarang, aku tidak tahan untuk tidak mengingat kenangan buruk itu saat melihat lagi senyum ibu saat ini.

“Makanlah yang banyak. Kudengar dari ayahmu, kau sangat sibuk mengurus perusahaan bersamanya.” Garpu yang menusuk daging kini beralih ke piringku melalui tangan ibu yang terjulur.

“Bu … selama ini aku makan dengan baik. Semua berada dalam kendaliku, seperti biasa.” Perkataan sombongku membuat ibu tertawa. Aku membalasnya dengan senyum lebar. Apa selama hampir empat tahun ini dia hidup dengan layak? Apa dia juga makan dengan baik?

“Bagus, bagus. Ibu bangga padamu.” Senyum itu lagi. Selalu lembut, hangat.

Ketika aku teringat akan hal ini, aku selalu ingin menanyakannya pada ibu jika kami bertemu. Tapi hari ini, rasanya aku enggan bertanya. Aku akan meyakinkan diriku bahwa selama ini ibu hidup dengan bahagia.

Sekarang aku sedikit teringat pada sesuatu. Apa si pesuruh baik-baik saja? Aku berharap dia sudah bangun berkat July Meyer. Dan mendadak aku teringat pada jarak dua meter di antara kami yang sengaja kubentang. Memang gila, tapi aku menyukai hal itu.

Kulirik Victor yang duduk di meja sejauh hampir sepuluh meter dariku. Kupikir dia coba menatap ibu, ternyata dia lebih memilih untuk memperhatikanku. Ah, apa-apaan itu? Menggelikan!

“Apa yang sedang kau pikirkan, Nak? Tampilan hidangan penutup yang tidak rapi?” Ibu tersenyum dan aku tertawa canggung. Bukan itu, tentu saja.

Tapi setelah mataku turun ke piring hidangannya, bisa kuperhatikan dengan jelas ternyata itu memang benar. Tampilan hidangan penutupnya sedikit berantakan. Jika tidak sedang bertemu dengan ibu seperti ini, aku pasti akan memprotes koki, bahkan pelayan yang menghidangkannya ke hadapanku.

Menggosok dagu sekilas, aku tertawa lagi. Merasa senang bahwa ibu tidak pernah melupakan kebiasaan kecilku meski kami lama tidak bertemu. “Ibu akan menetap berapa lama?”

“Mungkin agak lama.” Tersenyum, ibu kemudian memajukan sedikit  wajahnya ke arahku dari seberang mejanya tanpa bangkit dari sana. “Ibu dengar kau menerima permintaan ayahmu untuk bertunangan bisnis dengan Yeslin Hwani. Benarkah itu?”

Ah, aku benar-benar bosan dengan kenyataan yang diciptakan oleh tuan Oliver William untukku. Ayahku itu memang hampir setiap saat membuatku kesal. Entah karena nasihatnya tentang aku yang terlalu keras pada Lea—si pesuruhku—atau tentang Yeslin Hwani yang terlalu sering kuabaikan keberadaannya. Ayah memperumit hidupku.

Aku mengangguk setelah berpikir sedikit lama dan membuat ibuku menunggu hampir tanpa gerakan. “Apa menurut Ibu aku bisa menjalaninya?”

Ibu tidak langsung menjawab. Tangannya bergerak untuk mengaduk sup sayur dan hanya memberiku sebuah senyuman yang tidak dapat kuartikan. Apa jangan-jangan ibu menyukai wanita manja menjengkelkan seperti Yeslin Hwani?

“Ibu tidak memintamu menuruti semua keinginan ayahmu. Selama perusahaan bukan jatuh ke adikmu itu, Ibu tidak masalah jika sesekali kau menolak perintah ayahmu. Atau … jika ternyata kau ingin mencoba menjalin hubungan dengan seseorang, kau bisa memulainya dengan Yeslin. Tidak ada salahnya, Nak.”

Bukan itu masalahnya. Yeslin berantakan dan jauh dari kata rapi. Aku tidak menyukainya, meski dia cantik dan seksi. Kuku-kuku jarinya selalu berwarna-warni dan memanjang seperti vampir. Rambutnya yang sudah panjang, tetap disambung dengan rambut lainnya—aku tidak tahu apa sebutan untuk hal seperti itu—dan banyak hal pada dirinya yang sangat tidak rapi di mataku.

Menanggapi ucapan ibu, aku hanya tersenyum. Sebaiknya aku tidak membicarakannya di sini, atau suasana hatiku bisa hancur seketika. “Ibu tidak ingin jalan-jalan atau berbelanja dulu denganku?” Kulihat jam tanganku, dan merasa lega karena masih ada sekitar enam puluh dua menit lagi waktu untuk kami bersama.

Ibu tertawa. Di telingaku itu terdengar geli sampai ibu meraih serbet dan menutup mulutnya. Apa yang lucu dari ajakanku? Bukankah wanita tua maupun muda sangat suka jalan-jalan serta belanja?

“Ibu tidak menginginkan keduanya, Rion.” Setelah berhenti tertawa, ibu meletakkan serbet di sisi piringnya dan kembali tersenyum lembut padaku.

Entahlah, bagiku, kandidat wanita terlembut itu jatuh pada Hanny Quenna, ibu sekaligus wanita hebat yang telah melahirkanku dua puluh sembilan tahun yang lalu. Tidak peduli pada para ibu lain yang pasti dijadikan nomor satu di hati masing-masing anak-anak mereka. Ini versiku.

“Lalu apa yang Ibu inginkan?” Aku tersenyum, tapi ponselku berdering. “Bu … maaf, boleh aku jawab panggilannya sebentar?”

Ibu mengangguk, arah pandangannya berpaling pada Victor. Aku bergegas pergi utuk mencari tempat yang sedikit pribadi agar dapat menjawab panggilan yang ternyata dari July Meyer.

“Ya, halo—”

“Orion! Apa selama ini aku bersalah pada pelayanmu?”

Aku mengernyit. Dia sudah menyelaku, sekarang ingin menyalahkanku pada masalah yang bahkan belum aku ketahui? “Aku hanya memintamu memeriksa kondisi Lea. Mana mungkin aku tahu tentang hal yang kau tanyakan padaku ini. Memangnya apa yang dia lakukan padamu?”

Terdengar suara napasnya yang tertahan, tertarik, dan kemudian diembuskan. Apa semua wanita akan bersikap seperti July saat mereka sedang kesal?

“Pelayanmu itu menarik rambutku, menampar, dan mengusirku dari kantormu setelah aku memastikan bahwa ternyata dia menipumu.”

Kedua aliskut terangkat. Apa? Lea, menipuku? Rasanya aku harus tertawa keras untuk hal itu. Sejak kapan Fiorenza Maylea menyimpan keberanian sebesar itu di dalam dirinya? Tidak akan pernah. Dalam mimpi pun dia pasti tidak akan berani mengambil risiko untuk menipuku.

“Menipu apa, July?” tanyaku santai. Aku bahkan tertawa pelan, meski sebenarnya aku ingin tertawa keras, tapi kupilih tidak, karena merasa perlu menghargai pengabdian July Meyer pada keluargaku. Dia sudah menjadi dokter keluarga William bahkan sejak dia menyelesaikan pendidikan kedokteran di tahun terakhirnya.

Ayah sengaja melakukannya. Bukan demi aku, tapi ya, tujuh puluh persennya karena ayah ingin bermenantukan seorang dokter. Berharap jika July sering menangani keluarga kami, maka dia akan sering bertemu denganku.

Ah, persetan dengan hal itu. Aku tahu jika berani bermain api, maka bersiaplah terbakar. Ketika aku menjalin hubungan dengan seseorang, maka dengan segala cara dia akan berusaha untuk merangkak naik, menuju tingkatan tertinggi berkat nama keluargaku, melalui sebuah usaha yang keras. Melewati malam panas berulang kali, dan dia akan mengandung bayi yang akan dengan senang hati dijadikan penerus setelah aku menua oleh ayah.

Tidak, tidak dengan wanita seperti July atau Yeslin. Lalu siapa?

“Orion? Rion! Kau tidak mendengarkanku, ya?” Nada panggilan serta kekesalan melebur dalam suara July di seberang, dan itu mengejutkanku yang tadi sempat melarikan pikiranku entah ke mana.

Sejak tadi suara July memang samar tertangkap oleh telingaku. “Apa? Apa yang kau katakan?” Maksudnya, aku ingin dia mengulangi perkataannya tentang Lea.

July menggerutu dengan ucapan yang tidak jelas bagiku. Aku merasa lelah. Memang menyusahkan saja! July selalu menyembunyikan rasa tidak sukanya pada Lea. Itu seperti sebuah persaingan yang tidak tampak. Tapi aku ragu Lea menganggap July sebagai rivalnya. Wanita itu terlalu tidak pernah tampak benar-benar peduli pada siapapun, kecuali padaku. Aku serius!

“Fiorenza sama sekali tidak sakit. Dia sedang menipumu, Orion. Apa kau tidak menyadari hal itu?”

𝐎𝐡, 𝐌𝐲 𝐌𝐚𝐢𝐝! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang