Chap 3 - Jealous?

2.6K 361 101
                                    

Pakaiannya basah kuyup, senada dengan surainya yang lepek. Wajahnya terlihat sayu seiring sorot maniknya yang meredup. Langkahnya terlihat gontai kala berpijak di tempat yang amat sangat ia benci detik ini.

Selesai menekan password sebagai akses masuk, ia segera melenggang. Mengabaikan bisikan para staf maupun tetangga apartemen yang bingung dengan penampilannya. Ia tertawa, tentu saja mereka bertanya-tanya. Seorang gadis yang biasanya tampak manis kini terlihat seperti seekor kucing liar yang terjerembab masuk ke dalam parit. Kotor, kumuh—

—menjijikkan. Ia tak menyangkal akan hinaan yang banyak orang berikan di sepanjang jalan. Kondisinya memang seperti itu.

Lantai berwarna krem itu ditimpa tetes air mata, lalu dipijak oleh telapak yang senantiasa melangkah. Kepalanya menunduk, membuat helaian biru kelamnya terjuntai kebawah. Ia yakin siapapun yang melihatnya akan menyangka jika ia adalah hantu, arwah penasaran yang bersiap mengamuk.

Hinata mengusap matanya yang memerah, rasanya sangat melelahkan namun ia tak bisa berhenti menangis. Semua ini, tak bisa disia-siakan dengan tak adanya isakan. Lucu, benar-benar lucu.

Sudut matanya menemukan Naruto diambang pintu kamar, menatapnya dengan pandangan yang ia benci. Sahabatnya itu seolah mengkhawatirkannya setelah ia pulang dalam keadaan seperti ini.

Ia melewatinya begitu saja, mengabaikan kehadiran Naruto persis seperti apa yang dilakukan pria itu padanya sore tadi. Hinata tak mau berdebat. Fisik dan mentalnya berada di kondisi yang menyedihkan.

Di titik yang paling rendah.

Blam

Suara pintu kamarnya yang tertutup terdengar lemah, selemah raganya yang serasa dihujam palu bertalu-talu. Tak ada niatan sedikitpun untuk membanting pintu secara kasar agar Naruto tahu bahwa ia sedang marah. Tidak, ia tidak mau melakukannya.

"Hinata," gumamnya lirih dengan bibir berdarah, digigit terlalu kuat dengan sengaja. Naruto membenturkan kepalanya ke dinding, berkali-kali dengan tempo lambat. Rasanya memang sakit, namun ia tahu jika Hinata mengalami lebih dari sekedar dari rasa sakit.

Diabaikan seorang sahabat saat dimintai pertolongan. Sangat menyakitkan.

"Di depan sana ada Hinata bersama Shion dan Saara, kuharap kau tidak membantunya jika masih berharap hubungan kita berlanjut, Naruto."

Masih terngiang jelas bagaimana penekanan yang Sakura berikan padanya. Kekasihnya itu tak mau ia terlalu peduli pada Hinata dengan alasan "aku cemburu". Dan bodohnya ia menuruti perkataan Sakura, apalagi jika bukan berdasarkan rasa sayang? Ia tak mau hubungannya dengan Sakura berakhir.

Tapi ia tak bisa menyalahkan Sakura begitu saja. Ini juga sebab emosinya yang memuncak tadi, melihat Hinata berduaan dengan seorang pria membuatnya enggan menolong gadis itu. Ia mengakui jika dirinya memang pria keparat. Bersikap protektif pada Hinata dengan tameng kata 'melindungi' dan pada akhirnya ia membiarkan Hinata dibully oleh dua jalang kampus. Sungguh, ia benar-benar seorang keparat.

Naruto membenturkan kepala untuk yang terakhir kalinya, memilih mengambil napas lalu berteriak dalam benak. Penampilan Hinata yang kacau membuatnya turut kacau.

Sakit, tersiksa, iba.

Ia melangkah kecil ke depan. Dapur menjadi satu-satunya tempat agar Hinata mau memaafkannya, mungkin? Ia bisa memasak makanan hangat lalu meminta maaf atas segala yang telah terjadi. Pun untuk meminta penjelasan tentang siapa pria yang berada di taman bersama gadis itu tadi. Ia akan melakukan segala hal, termasuk bersujud memohon maaf agar Hinata memaafkannya.

Satu mangkuk sup ayam hangat tersedia diatas meja, asapnya mengepul dengan aroma yang menggoda. Meskipun ia tak pandai memasak, namun setidaknya ia bisa membuat sup disaat stok ramen habis. Hinata yang mengajarkannya memasak agar tidak menjadi pecandu ramen seumur hidup.

Just A Friend? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang