Bohong bila Hinata berkata bahwa Naruto tak membuatnya takut. Pria itu marah besar padanya atas kesalahpahaman tak berdasar, dan ia terlalu takut untuk menjelaskan disituasi seperti ini.
Selepas turun dari mobil, Naruto langsung menariknya masuk, melewati staf serta tetangga apartemen yang menatapnya dengan tatapan penuh tanya. Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah menyesuaikan langkah terburu-buru Naruto hingga sampai di unit apartemen mereka.
Tubuh mungil Hinata menghantam ranjangnya yang empuk. Air matanya yang sempat mengering kini kembali mengalir. Helaian rambut birunya menempel di wajahnya yang basah.
Sementara pria yang memakai jas hitam disana mengetatkan rahang. Dasi berwarna merah yang sejak awal pesta mencekik lehernya kini telah lenyap, tertinggal di mobil karena ia menariknya tanpa peduli bila lehernya terluka.
Pintu kamar itu tertutup dengan satu tendangan, menimbulkan suara yang jelas menyakiti telinga siapapun yang mendengar. Mengabaikan bagaimana dua mata yang bergetar disana, pria itu duduk dipinggiran ranjang. "Hanya karena belakangan ini kita sering bertengkar, kau berani melewati batas?"
Hinata menggigit bibir, tidak kuasa menjelaskan bahkan bila hanya satu kata. Naruto memang tak membentaknya lagi, namun wajah pria itu sudah cukup untuk memberitahu pada dunia betapa marahnya dia. "Kau tidak memiliki hak untuk membatasiku," ujarnya setengah takut, ia bergeser menjauh ketika melihat Naruto menatapnya geram. "Bahkan bila disini ada batas, aku sama sekali tidak melewatinya."
Naruto diam, ekspresinya lebih menjelaskan segalanya.
"Jikapun kami berciuman, apa masalahnya untukmu, ha?"
Gadis itu kehilangan kontrol mulut. Membuat sulung Namikaze dihadapannya kian dilahap amarah.
"Kau sudah memiliki kekasih dan selalu memintaku berhenti berharap! Lantas apa masalahnya jika kami-"
"Apa, ha?" Naruto melepas jas yang membungkus perawakannya, membebaskan tubuhnya dari gerah disituasi yang membakar amarah. Ikat pinggang yang menjerat pinggangnya turut terlepas, suaranya yang bergesekan dengan celana membuat Hinata meringis ngilu. "Apa aku pernah memintamu berhenti, Hinata?"
Nada tajam penuh penekanan itu sukses membuat Hinata ketakutan.
Pria itu merangkak naik keatas ranjang mendekati Hinata, lantas menarik lengan kurusnya hingga tubuh mereka merapat. Matanya yang setajam elang menyapu penampilan sahabatnya dari atas hingga bawah. Alis tebalnya saling bertautan. "Kau senang memakai pakaian terbuka seperti ini?"
"N-naruto, kumohon menyingkirlah," pintanya parau. Sekuat tenaga ia mendorong dada Naruto, memaksanya menjauh, namun hasilnya tetap sia-sia.
"Tidakkah kau berpikir aku seorang pria normal?"
Cekalan itu perlahan berubah menjadi usapan, menyebabkan tingkat ketakutan Hinata naik hingga titik maksimal. Naruto--pria itu memeluk Hinata sekuat tenaga, menumpukan dagunya di bahu mungil yang terekspos bebas. Rasa geram, marah, serta kecemburuannya menyatu hingga membentuk sebuah perasaan bernamakan nafsu.
"Alasan mengapa aku selalu melarangmu memakai pakaian terbuka ketika kita bersama, tidakkah kau penasaran, Hinata?" ujarnya, lantas mendorong gadis itu untuk berbaring dibawahnya. Menjadikan dirinya sebagai pengendali penuh atas pergerakan Hinata. "Aku ... ingin menyentuhmu."
•••
Lanjutan Chapter 9 - End bisa kalian baca di akun KaryaKarsa saya, ya. Aksesnya seumur hidup, harganya juga terjangkau untuk jumlah word yang mencapai 24.500 word.
Sudah saya revisi habis-habisan. Ada alur yang berubah tapi tidak melenceng dari alur utama. Karakter mereka juga sudah saya kembangkan. Semoga kalian puas.
Maaf jika keputusan saya mengecewakan kalian. Dan terima kasih bagi yang sudah mendukung saya di karya sebelumnya! Dukungan dari kalian adalah penyemangat saya (◍•ᴗ•◍)!
Akun saya : ↓↓↓
https://karyakarsa.com/Allayanaaa atau kalian bisa cek di bio saya
See u soon!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Friend? [END]
FanficCinta sepihak apalagi didalam belenggu persahabatan memang terasa cukup menyiksa. Hinata berulang kali meneriakkan suara hatinya, namun berulang kali pula Naruto menolaknya dengan alasan mereka bersahabat. "Tidak, kau tidak boleh berkencan dengan p...