Sudah hampir tiga jam ia mencari keberadaan Hinata, gadis itu tidak pulang bersamanya sore tadi. Pun saat bertanya pada Ino, katanya Hinata tak ikut bersamanya. Lalu gadis itu pulang bersama siapa? Sungguh, ia ingin segera tahu jawabannya. Kekhawatirannya semakin memuncak kala menyadari sudah pukul delapan malam.
Sialan, apa Hinata berkencan dengan Kiba tanpa ia ketahui?
Suara pintu yang terbuka membuat pikirannya terombang-ambing. Kakinya dengan cepat melangkah mendekati asal suara guna memastikan jika orang itu benar Hinata.
"Apa yang terjadi padamu?!" Nada suaranya yang terlalu keras menyentak pendengaran gadis didepannya. Kepala Hinata mendongak, menatapnya dengan mata sembab. "Siapa yang membuatmu menangis?" Ia memeluknya, melupakan tentang apa yang terjadi di kampus tadi.
'Kau,' batin Hinata lalu membalas pelukan Naruto. Rasanya pelukan Neji tadi belum cukup untuk membuat semua bebannya menghilang.
"Kau dari mana saja? Aku mencarimu ke rumah Ino tapi kau tak ada disana. Kau pergi dengan Kiba?"
Tak ada nada marah, menuntut atau sarkas yang biasanya ia tunjukkan ketika ada pria yang mendekati Hinata. Ia benar-benar khawatir atas apa yang terjadi pada sahabatnya. "Ini ulah Shion?"
"Tidak." Pelukannya mengerat seiring air matanya yang kembali meleleh. "Aku dari rumah kak Neji, maaf tak memberitahumu lebih dulu."
Naruto menarik napas lega. "Kenapa kau menangis? Neji memarahimu?" Tak mendapatkan sahutan dari gadis di dekapannya membuatnya paham jika suasana hati Hinata sedang memburuk. Namun, satu hal yang tak dipahaminya adalah penyebab tangis Hinata.
Yang tak lain adalah dirinya sendiri.
Menuntun Hinata hingga duduk diatas sofa, ia langsung mengambilkan segelas air. Tak mau memaksanya untuk bercerita, Naruto lebih memilih untuk diam seraya memperhatikan tangis yang perlahan berhenti. Televisi didepannya langsung ia hidupkan, mungkin dengan menonton film yang bagus, kondisi hati Hinata akan membaik.
"Kau sudah makan?" Naruto menggeleng pelan mendengar pertanyaannya. "Aku akan memasak sebentar, tunggulah disini." Hinata segera berdiri, berjalan kearah dapur dengan tangan sibuk mengusap air mata. Ia tak mau Naruto jadi kelaparan karena ia tak memasak.
Lihat sendiri bukan? Naruto masih bergantung padanya. Ia tak mungkin berpisah tempat tinggal dengan pria itu.
Namun belum sempat langkah pertamanya berpijak, Naruto menarik tangannya dengan cepat. Membuat tubuhnya limbung hingga menduduki paha pria itu. Posisi mereka berdua terlalu intim, ia berada diatas pangkuan Naruto dengan tangan berada di dada pria itu, menahan tubuhnya agar tidak menempel.
"Aku tak mau kau kelelahan. Maaf mempermalukanmu atas apa yang kulakukan siang tadi," sesalnya teringat pada ucapan Ino. Ia kembali memeluk gadis itu lantas menumpukan dagunya pada bahu Hinata. Rasanya, ia memiliki dosa yang amat besar pada sahabatnya.
Hinata menggeleng kecil, ia menepuk pelan punggung Naruto. "Kau tidak mempermalukanku, seharusnya aku memang menuruti perkataanmu." Suaranya melirih. "Maaf membangkang. Aku tak akan menerima tawaran Kiba ataupun berkencan dengannya."
Naruto diam. Dibandingkan berlibur seminggu penuh di luar negeri, bahu Hinata berjuta-juta kali lipat lebih efektif untuk membuatnya tenang.
Samar-samar ia kembali mengingat perkataan Ino, apa sebaiknya ia berhenti mengekang kebebasan Hinata? Mengizinkannya untuk menjalin hubungan dengan pria lain? Meskipun otaknya berulang kali mengatakan untuk membebaskan, namun hatinya kembali melarang. Ia tak rela Hinata menjalin hubungan dengan pria lain.
"Jika kau mau berkencan katakan padaku, aku akan mengizinkannya tapi tidak dengan Kiba," ucapnya lembut membuat Hinata tersenyum ambigu. Haruskah ia senang atau sedih? Apa Naruto benar-benar tidak mencintainya hingga kini melepasnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Friend? [END]
FanficCinta sepihak apalagi didalam belenggu persahabatan memang terasa cukup menyiksa. Hinata berulang kali meneriakkan suara hatinya, namun berulang kali pula Naruto menolaknya dengan alasan mereka bersahabat. "Tidak, kau tidak boleh berkencan dengan p...