Hati Naruto tak henti-hentinya bergedup kencang, nyaris meledak jika saja ia tak segera mendinginkannya. Rasa sakit yang tidak ia pahami tiba-tiba menghantuinya setiap detik, bahkan ketika ia memejamkan mata.
Ucapan Hiashi tempo hari seperti bayangan yang benar-benar tak melepaskannya barang sedetik saja. Seolah ia adalah inang yang cocok sebagai tempat benalu bertahan hidup. Semua ini membuatnya semakin sakit. Tidak, tapi hatinya yang terasa sakit.
Mengapa ia harus merasakannya?
Perkara itu kini membuatnya bertanya-tanya, menyapa hatinya harus merasakan hal menyakitkan yang sama sekali tak ia pahami? Maksudnya, mengapa ia merasa sangat membenci rencana perjodohan yang dikatakan ayah Hinata waktu lalu?
"Kau melamun." Lengannya disentak oleh Hinata, gadis itu menatapnya datar. "Kau baik-baik saja?"
Tersenyum kikuk, Naruto menggeleng lalu menepuk pelan puncak rambut Hinata. "Aku baik-baik saja," ucapnya. "Kau sudah menemukan apa yang ingin kau beli?"
"Belum, sangat sulit mencarinya disini." Hinata mengeluh, dengkusan kasar keluar dari hidungnya sembari mengangkat tangannya dari deretan rak toko.
Naruto terkekeh pelan mendapati wajah kesal Hinata, sangat menggemaskan baginya. Ia memegang pergelangan gadis itu lalu menariknya pergi. Tentunya dengan lembut. "Ayo mencarinya di tempat lain."
"Kau yakin tidak apa-apa? Ini sudah tempat ketiga, bagaimana jika ditempat selanjutnya juga tak ada?" Ia berucap takut bila Naruto bosan atau keberatan karena mengantarnya kemana-mana. "Waktumu terbuang sia-sia karena menemaniku."
Naruto menutup pintu mobil, ia memasangkan seatbelt milik Hinata meski gadis itu menolaknya. "Tidak sia-sia karena aku senang menemanimu."
Hinata menimpali dengan anggukan. "Kau tidak menemani Sakura di rumah sakit?"
"Aku sudah pergi ke sana pagi tadi, kondisinya sudah membaik. Beberapa hari lagi dia akan pulang."
Ia bergumam kecil. "Sebenarnya Sakura sakit apa? Aku melihat jika dia selalu tampak sehat."
Naruto memutar setir dengan perlahan saat jalan berbelok tepat didepan matanya. Pedal gas ia injak dengan kuat agar laju mobilnya menyamai kendaraan lain. "Asam lambung." Ia menjawab seadanya. "Sebenarnya apa yang ingin kau beli? Mungkin aku bisa membantumu agar lebih cepat mencarinya."
"Album foto."
Naruto mengangkat sebelah alisnya. "Untuk apa?"
"Tentu saja untuk hadiah pernikahan Kak Neji nanti, memangnya apalagi?"
"Kau tidak memberitahuku jika akan membelinya sekarang," ucap Naruto pura-pura kesal. Ia menginjak pedal rem saat mobilnya berada di pinggiran jalan yang sepi. Bagaimanapun, ia juga perlu menyiapkan kado pernikahan bagi kakak Hinata.
"Maaf, kurasa tak ada gunanya juga memberitahumu."
Senyum kecut hinggap dibibir Naruto, mengapa Hinata sangat kejam padanya? "Kau mau kita membelinya bersama-sama? Satu hadiah dan itu berasal dari kita berdua," tawarnya membuat Hinata berpikir.
Gadis itu mengulum bibir saat sadar usulan Naruto tidak buruk. "Baiklah. Kita akan memberikan hadiah apa? Usahakan sesuatu hal yang bisa membuat mereka berdua senang." Ia memberi pendapat lalu mendapat garukan kepala dari Naruto. Pria itu juga tak tahu menahu ingin memberi hadiah apa.
"Tiket bulan madu?" Pandangan mereka bersirobok, Hinata tampak tercengang seolah perkataan Naruto adalah oasis ditengah gurun pasir. "Bagaimana?"
Hinata berbinar senang, otak sahabatnya memang patut dibanggakan. Ia bahkan tak berpikir sampai kesitu, usulan Naruto terdengar sangat menakjubkan. "Ide bagus," pujinya. "Jika aku jadi pengantin, aku juga akan senang bila mendapatkan hadiah itu. Kau benar-benar membantu, Naruto."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Friend? [END]
FanfictionCinta sepihak apalagi didalam belenggu persahabatan memang terasa cukup menyiksa. Hinata berulang kali meneriakkan suara hatinya, namun berulang kali pula Naruto menolaknya dengan alasan mereka bersahabat. "Tidak, kau tidak boleh berkencan dengan p...