Hening.
Tak ada suara apapun selain deru napas Naruto yang memberat. Hinata bukannya tidak bisa menjawab, tapi enggan. Membuat penyangkalan jika cintanya masih tersemat untuk pria itu hanya akan menimbulkan keraguan. Ia tak mau kembali ragu untuk melupakan Naruto.
Hinata sangat lelah.
"Segera beristirahatlah setelah menyelesaikan makanmu." Hinata berdiri, membuat kursi yang semua didudukinya bergeser mundur. Setelah melirik Naruto yang terdiam, ia segera melangkah.
"Kau tidak mencintaiku lagi?"
Bibirnya ia gigit pelan, mengapa Naruto menanyakan pertanyaan itu lagi? Apa pria itu tak tahu jika menjawab bahkan hanya satu kata rasanya sulit? Berada diantara tebing kebimbangan, rasanya gamang untuk memilih 'tidak' atau 'iya'.
Meski sejujurnya, cintanya tidak pernah lenyap.
"Tidak," sahutnya lirih. Berbohong adalah satu-satunya cara agar ia bisa segera keluar dari situasi menyeramkan ini.
Naruto secara spontan kelabakan, pria itu berdiri dari duduknya. "Kau bercanda?" ujarnya tiba-tiba membuat Hinata langsung membalikkan badan.
"Bukankah ini yang kau inginkan, Naruto? Aku tidak akan pernah mengganggu hidupmu lagi, kita akan menjadi seorang sahabat tanpa ada rasa cinta!"
Naruto diam, mematung. Ini memang hal yang diinginkannya sejak dulu. Perasaan Hinata padanya menghilang dan ia bisa hidup tanpa rasa bersalah pada gadis itu. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tak rela, dadanya terasa sesak tanpa sebab.
Ia sama sekali tak menyukai perasaan ini.
"Aku hanya ingin bahagia, jangan pernah mengekangku lagi."
Dan pada malam itu, perselisihan untuk yang kesekian kalinya kembali terulang.
•••
Wajahnya menunduk, benar-benar selaras dengan suasana hatinya yang cenderung abu. Suram.
Ia bahkan melupakan niat awalnya berada disini, duduk dihadapan sang ayah yang sedari tadi menatapnya penuh tanya. Benar, mengapa ia pergi kesini tadi? Ke rumah sang ayah yang berjarak 15 kilometer dari apartemennya.
"Ada apa, Naruto? Kau terlihat ...," ucapannya terjeda, Minato memiringkan kepala. "Berbeda."
Bibirnya masih mengatup, tidak terbuka sedikitpun walau hanya sekedar menghembuskan napas. Terlalu bingung untuk mengutarakan maksud kedatangannya kemari. Terlebih ini sudah malam, ayahnya pasti semakin bingung.
Jarang-jarang ia pulang ke rumah, bukannya durhaka, tapi kesehariannya sebagai mahasiswa membuatnya tak memiliki waktu senggang untuk mengunjungi orang tua tercinta. Bahkan bila dihitung rata-rata, ia pulang bersama Hinata dalam waktu sebulan sekali. Namun juga belum pasti.
Minato menghela napas, sungguh bingung atas sikap putranya yang berbeda. Biasanya saat Naruto pulang, anaknya itu akan menceritakan segala sesuatu mengenai tingkah Hinata, bukan diam seperti ini. Apalagi Hinata tak ikut datang kemari, hal ini membuatnya makin curiga.
"Kau memperlakukan Hinata dengan baik, bukan? Jika memang begitu, Ayah akan bersyukur karena tidak perlu memberimu nasehat lagi," pancingnya berusaha membuat Naruto bicara.
Ia tahu jika putranya pasti memiliki masalah dengan Hinata.
Naruto mengacak rambutnya frustasi. "Ayah, mengapa saat itu kau dan paman Hiashi menyetujui permintaan Neji?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Friend? [END]
FanfictionCinta sepihak apalagi didalam belenggu persahabatan memang terasa cukup menyiksa. Hinata berulang kali meneriakkan suara hatinya, namun berulang kali pula Naruto menolaknya dengan alasan mereka bersahabat. "Tidak, kau tidak boleh berkencan dengan p...