Hinata menatap Naruto yang keluar dari kamar mandi, pria itu hanya mengenakan handuk putih sebatas lutut. Ia hanya mengedikkan bahu kemudian melanjutkan acara membacanya. Pemandangan seperti ini sudah ia saksikan setiap hari semenjak tiga tahun yang lalu. Seharusnya ia tak terkejut, bukan?
"Kau memakai shampoo ku?" Naruto mengacak surainya yang basah dengan cepat, membuat bulir-bulir airnya berjatuhan menimpa buku Hinata. "Pantas saja habis."
"Iya dan berhenti membuat air itu menghujaniku." Buku itu ditutupnya. "Kau keramas tapi tidak memakai shampoo? Rambutmu akan bau, Naruto. Dasar jorok!"
Naruto memutar bola matanya, ia melangkah kedapur kemudian mengambil sebotol air dingin dan meneguknya. Hari ini benar-benar melelahkan, ia belum minum sama sekali. Bahkan saat dikamar mandi tadi, air shower itu hampir di minumnya jika ia tak menahan diri.
"Lebih baik berpakaianlah dulu, kau mau aku memotret tubuh telanjangmu dan menyebarkannya di sosial media?" Hinata mengancam, mulai risih melihat Naruto yang begitu tenang kesana-kemari hanya menggunakan handuk. "Oh tidak, sebaiknya aku menjualnya agar aku menjadi kaya!"
"Ide yang bagus. Kita bisa membagi keuntungan jika benar laku." Ia menutup pintu kulkas, lantas perlahan mendekat pada Hinata. Ia berdiri di hadapannya dengan berpose. "Kau mau aku berpose seperti apa? Seperti ini? Begini?"
Hinata menutupi wajahnya dengan lengan, bagaimanapun enam pahatan di perut Naruto membuatnya tersipu. Demi Tuhan, apa pria itu tidak memiliki malu?
"Atau seperti in—"
"Naruto!" Hinata memekik ketika handuk yang melindungi harta berharga seorang pria terjatuh dilantai. Berulang kali ia bersyukur sebab matanya belum menangkap apapun. "C-cepat pakai handukmu!" teriaknya cepat sembari menutup matanya rapat-rapat.
"Tidak mau," ucap Naruto kurang ajar lalu merebahkan dirinya disamping Hinata. Pria itu justru menyandarkan kepala di bahunya.
"N-naruto pakai handukmu! Apa kau tak punya malu?" Sebisa mungkin ia mengeratkan pejaman matanya agar tak mengintip 'apa' yang ada disana.
"Oh ayolah, tak ada apapun. Buka matamu sekarang." Naruto tetap mempertahankan posisinya.
Perlahan, Hinata membuka mata—menyipit untuk memastikan bahwa Naruto telah memakai handuk. Namun ia melihat jika handuk putih itu masih ada dilantai.
Sungguh, ia ingin mengumpat pada kepalanya sendiri. Berani-beraninya buntalan tengkorak itu melirik, atau lebih tepatnya menatap pada selangkangan Naruto.
Hinata berteriak keras.
"Kenapa kau tak bilang jika sudah memakai celana?!" pekiknya dengan wajah merah padam. Bukan malu, tapi sebab marah. "Apa gunanya memakai handuk jika kau sudah menutupinya?!"
"Hanya ingin mengerjaimu," sahut Naruto ringan lalu memungut handuknya. Digunakannya benda persegi panjang itu untuk mengeringkan rambut. Ia memang sudah memakai celana pendek rumahan sejak dari dalam kamar mandi tadi. Tak ada salahnya juga kan bila ia memakai handuk lagi?
Hinata menjauh, masuk kedalam kamarnya dengan wajah memerah. "Kau benar-benar menyebalkan, Naruto!"
Sementara Naruto tertawa puas, tak mengira jika Hinata akan marah karena kejahilan kecilnya barusan. Namun secara bertahap tawanya sirna, terganti oleh helaan napas yang sarat akan rasa bersalah. Ia tahu, dengan Hinata yang terus tinggal bersamanya hanya akan menyakiti gadis itu, secara perlahan. Cinta tulusnya ... tak bisa ia balas mau sekeras apapun ia berusaha.
"Hinata, jika ada yang mengajakmu berkencan lagi, jangan lupa memberitahuku!" teriaknya kencang. Sekedar ini saja yang bisa ia lakukan. Tentunya dengan memilih pria yang tepat untuk Hinata, ia bisa melindungi gadis itu bukan? Sekalipun bukan dari dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Friend? [END]
FanficCinta sepihak apalagi didalam belenggu persahabatan memang terasa cukup menyiksa. Hinata berulang kali meneriakkan suara hatinya, namun berulang kali pula Naruto menolaknya dengan alasan mereka bersahabat. "Tidak, kau tidak boleh berkencan dengan p...