3: PERTENGKARAN

21.7K 2.3K 145
                                    

PART 3

Suara tangis Ara menggelegar di dalam kelas. Semua bermula saat Ara di dorong oleh teman satu kelasnya.

Berawal dari Ara yang tidak sengaja menjatuhkan kotak pensil milik Juniar dan Juniar yang kesal memukul kepala Ara dan mendorongnya hingga jatuh.

"Sudah ya, Ara, jangan nangis. Maafkan Juniar, ya?" bujuk sang guru. "Juniar, minta maaf sama Ara." Sang guru bernama Indah menatap Juniar dan memintanya untuk meminta maaf pada Ara yang masih tak berhenti menangis.

"Aku enggak mau." Bukannya meminta maaf, Juniar justru melipat tangannya di dada. "Ara yang salah. Dia yang udah bikin jatuh kotak pensil aku," tambahnya.

"Ara 'kan enggak sengaja jatuhin kotak pensil kamu. Jadi, Juniar harus minta maaf, ya?" bujuk Bu Indah.

"Enggak."

Tak lama setelah mengatakan kalimat barusan, Ana yang baru tiba di kelas Ara melangkah masuk kemudian tanpa berkata-kata, gadis kecil itu menarik rambut Juniar sedikit menjauh dari kerumunan dan mendorongnya hingga jatuh terjengkang ke lantai.

Aksi yang dilakukan Ana sontak saja membuat teman-teman sekelas Ara dan juga Bu Indah terkejut bukan main. Pasalnya aksi Ana barusan sungguh brutal.

"Astaga, Juniar!" seru sang Bu Indah kaget. Segera, ia menghampiri Juniar dan membantunya berdiri.

Tidak terima diperlakukan seperti itu oleh Ana, Juniar menepis tangan Bu Indah dan menerjang ke arah Ana. Ana tentu saja sigap dan dengan tanpa ragu, ia mengulurkan kaki kecilnya ke arah perut Juniar hingga membuat gadis itu tersungkur lagi.

"Ayo, maju, sini. Kamu kira aku bakalan takut? Enggak sama sekali!" kata Ana diakhiri dengan teriakan.

"Kamu-- huaaa!" Juniar berteriak dan menangis memegangi perutnya yang terasa sakit. Gadis itu juga memegang kepalanya bekas tarikan Ana tadi.

"Astaga," gumam Bu Indah frustrasi.

"Nangis 'kan? Dasar lemah," ejek Ana.
"Makanya jangan ganggu adikku. Sekali lagi kamu ganggu adikku, aku pukul kamu sampai bengkak," ancamnya menatap tajam Juniar.

Setelah itu, Ana menghampiri Ara dan mengusap wajah adiknya dengan sayang. "Cup, cup. Udah, ya jangan nangis. Kakak Ana udah balas anak jahat itu. Ara berhenti nangis, oke?" bujuknya mengusap kepala Ara dengan sayang. Mama mereka sering melakukan hal ini jika salah satu dari mereka menangis.

"Ara, Ana, dan juga Juniar, kalian ikut ibu ke ruang kepala sekolah sekarang," kata Bu Indah dalam posisi berdiri. "Ayo, semuanya," ajaknya, segera mendapat anggukan dari ketiganya.

Ana dan Juniar dinyatakan bersalah dan keduanya ditugaskan untuk merapikan buku di perpustakaan. Sementara untuk Ara, dia dinyatakan tidak bersalah karena dia adalah korban. Ana tidak masalah mendapat hukuman dari sang guru karena yang terpenting untuknya adalah ia sudah membalas apa yang dilakukan Juniar pada adiknya.

"Kak Ara, Kak Ana katanya di hukum? Kenapa?" Alfa yang baru tiba dari kantin segera menghampiri kakak nomor duanya yang berdiri di depan perpustakaan. Bocah laki-laki itu baru saja dari kantin membeli makanan untuk kedua kakak perempuannya.

"Kak Ana di hukum gara-gara belain aku." Bibir Ara tertarik ke bawah bersiap untuk menangis. Ara kemudian menceritakan kejadian yang terjadi di kelas tadi.

"Udah, ya, kakak enggak boleh nangis. Nanti Juniar aku pukul. Pulang sekolah kita hadang dia di gang." Alfa menatap kakaknya dengan serius. Hal yang diucapkan sontak membuat Ara menepuk pelan adiknya.

"Kamu diajari siapa buat hadang orang di gang? Itu enggak baik," katanya memperingati Alfa.

"Dari Kak Ana. Kata Kak Ana kalau di lingkungan sekolah kita enggak boleh berbuat anarkis. Tapi, di luar sekolah tentu saja boleh."

"Ih, Alfa. Enggak boleh dengarin saran Kak Ana. Kak Ana sesat."

*

Dinara menunggu di depan rumah mobil yang biasa mengantar jemput putra-putrinya. Mobil tersebut sudah menjadi langganan anak-anaknya sejak TK hingga sekarang.

Dinara baru saja menyelesaikan satu part cerita yang ia tulis sejak tadi siang. Rencananya ia akan mengeluarkan buku ke empat miliknya bulan ini.

Tak lama sebuah mobil memasuki pekarangan rumah, Dinara bergegas ke arah pintu. Dinara tahu mobil siapa itu. Itu adalah mobil milik David Mahendara yang tak lain tetangga sebelah rumahnya.

"Dave, kamu kok pulang hari ini? Bukannya hari ini sampai besok kamu ada jadwal kuliah?" sapa Dinara saat David sudah berdiri di depan pintu.

"Ya Tuhan, Kak. Sapa dulu kek, tanya kabar dulu kek. Ini aku tiba-tiba di serang dengan pertanyaan." David Mahendra, pemuda itu mengeluh menatap wanita yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri.

Sementara Dinara hanya terkekeh singkat dan menuntun David masuk ke dalam rumah.

"Gimana-gimana?" tanya Dinara langsung.

"Aku libur karena dosen enggak masuk beberapa hari ini. Jadi, mending pulang dulu. Kangen aku sama tiga bocah kembar itu."

"Uluh, kangen sama si kembar apa sama Sika, huh?" goda Dinara disambut dengkusan David.

"Sika siapa ya? Sikampret?"

"Sok nolak kamu." Dinara menatap David dengan senyum menggoda. "Kamu tahu enggak, beberapa hari lalu, aku lihat ada cowok ganteng gitu ke rumah Sika," kata Dinara mulai menghasut. "Dari pakaiannya kayak anak kuliahan gitu. Keren banget pokoknya," lanjutnya.

"Apa peduliku? Mau dia sama cowok lain juga, enggak ada urusannya sama aku." David bangkit dari duduknya. "Aku ke rumah Bang Kevin dulu. Kangen aku sama anaknya," pamitnya buru-buru pergi.

Dinara yang ditinggal begitu saja terkekeh di tempatnya duduk. Dinara tahu, David tidak pergi ke rumah Kevin yang terletak tepat di samping kanannya. Pemuda itu pasti langsung menuju rumah Sikayla Maharani yang terletak tepat di samping kirinya.

Cinta dan benci memang beda tipis menurut Dinara. Buktinya saja David selalu berkata jika ia membenci Sika tapi kenyataannya, pemuda itu diam-diam selalu memmerhatikan Sika.

Tak berapa lama suara mesin mobil berhenti di pinggir jalan terdengar. Segera, Dinara dengan kaki pincangnya berjalan ke arah pintu dan menemukan keberadaan seorang pria paruh baya sedang membuka pintu samping. Tak lama, satu-persatu anak-anaknya turun dari mobil. Mereka sempat mengucapkan terima kasih pada sang sopir sebelum dengan ceria melangkah masuk ke dalam rumah.

"Mama!"

"Kami pulang!"

Dinara tersenyum lembut. Segera, ia merangkul ketiganya masuk ke dalam pelukannya. Tinggi anak-anaknya sudah sesampai dadanya dan hal tersebut membuat Dinara berpikir jika anak-anaknya semakin tumbuh besar dan dewasa.

Dinara bertanya apa kegiatan di sekolah dan menanyakan nilai mereka. Hal yang biasa ia lakukan saat anak-anak pulang dari sekolah seperti sekarang.

Ana, Ara, dan Alfa bercerita dengan senang apa yang mereaka lakukan di sekolah. Hanya saja, mereka melewati bagian Ara dan Ana yang bertengkar dengan murid lain, serta Ana yang mendapat hukuman dari guru. Mereka tidak ingin membuat mama mereka khawatir dan cemas dengan apa yang mereka alami di sekolah.

Anak-anak masih kecil tapi mereka selalu khawatir dengan keadaan mama mereka.

"Sudah kalian mendingan ganti pakaian dan makan siang. Om Avid udah pulang," kata Dinara disambut pekikan bahagia anak-anaknya.

"Om Avid udah pulang, Ma?" Ara menatap Dinara dengan mata bersinar pelan. Pertanyaan yang tidak perlu menunggu jawaban karena anak-anak sudah berseru heboh dengan kehadiran om mereka.

Tentu saja rencana jalan-jalan akan dilaksanakan dengan lancar tanpa hambatan jika om mereka ada di sini.







I GOT YOU [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang